Kisah hidup 2 terduga teroris Tulungagung sebelum mati
A
A
A
Sindonews.com - Tiga bulan silam, Rizal datang seorang diri ke Desa Penjor, Kecamatan Pagerwojo. Sebuah desa yang berbatasan langsung dengan lereng Gunung Wilis, sebelah utara Kabupaten Tulungagung.
Sebagai orang asing yang baru pertama kali menginjakkan kaki, Rizal mengenalkan diri sebagai dai muda dari Gunung Kidul Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Pembawaan yang kalem, ramah, ditambah tutur kata yang santun, membuat pemuda berkulit bersih dan berjenggot tipis itu mudah diterima. Terbukti, ilmu komunikasi massa lelaki yang diperkirakan berusia 27 tahun, itu relatif bagus. Nyaris tidak ada interaksi yang kaku lazimnya orang asing pertama kali memasuki daerah baru. Semua berjalan lancar.
Dia juga menyampaikan niat, bahwa kehadiranya di Desa Penjor, untuk membawa misi mengamalkan ilmu (dakwah). Tidak hanya Sapari (40), kaur kesra (modin) setempat, mendengar itu sebagian warga lain juga terpikat.
“Suami saya (Sapari) yang pertama kali ditemui. Dan dari kesan awal, orangnya (Rizal) memang baik,“ tutur Sri Indartini (40), istri Sapari, kepada wartawan, Selasa (23/7/2013).
Selain baik, Rizal terlihat sebagai sosok yang pandai dan cerdas dalam menguasai ilmu agama. Dia piawai dalam baca tulis Alquran. Dalam waktu cepat, masyarakat memberinya beragam kemudahan. Rizal mendapat kesempatan menjadi pemimpin salat (Imam) di Masjid Al Jihad yang berada di desa setempat.
Dia juga dipercaya mengajar ilmu agama sekaligus diperbolehkan mengambil salah satu ruang di Taman Kanak-kanak (TK)/PAUD Aisyiah sebagai tempat tinggal. TK/Paud Aisyiah, merupakan lembaga pendidikan milik Muhammadiyah, yang berjarak sekitar satu kilometer dari masjid.
Pendek kata, selama tiga bulan di Desa Penjor, Rizal melakukan semua “pekerjaan” keagamaan yang biasa dilakukan oleh seorang ustadz atau pemuka agama.
“Namun isi dakwahnya juga tidak pernah ada yang menyangkut persoalan jihad atau teroris. Kami juga tidak melihat aktivitas yang mengarah pada pembuatan bom,“ terang Sri Indartini.
Karenanya, ibu dua anak ini nyaris tidak percaya jika Rizal dikatakan satu dari dua teroris jaringan Poso yang ditembak mati Detasemen Khusus (Densus) 88 anti teror, di Jalan Raya Pahlawan, Kecamatan Kedungwaru, Kota Tulungagung, pada Senin 22 Juli 2013 pagi.
Informasi yang berhasil dikumpulkan menyebutkan, saat tertembak bagian dada dan tewas, Rizal mengenakan kaos motif loreng dengan dominasi warna kuning. Terduga teroris yang menurut keterangan polisi berasal dari Medan, Sumatera Utara, itu memiliki ciri fisik pada punggung telapak tangan kanan terdapat bekas luka melepuh seperti tersiram air panas.
Sri juga tidak percaya jika suaminya, Sapari, disebut terlibat anggota jaringan teroris dan mengakibatkan ditembak sebelah kakinya. Selama ini, selain modin, Sapari dikenal sebagai penceramah agama sekaligus memangku jabatan takmir masjid Al Jihad.
Sikapnya yang ramah terhadap semua orang yang membuatnya selalu terbuka dengan orang asing. “Suami saya tidak tahu soal seperti itu (teroris). Hubunganya dengan Rizal baik, karena Rizal sendiri juga baik,“ jelasnya.
Sebelum penembakan terjadi, pada Jumat 19 Juli 2013 malam, sekitar pukul 22.00 Wib, Rizal mendatangi rumah Sapari. Dia mengatakan hendak pamit ke Bekasi, guna melanjutkan kuliah S2.
“Malam itu Rizal menjadi imam salat tarawih. Namun karena di rumah tidak bertemu suami saya (Sapari), dia langsung balik lagi ke Paud,“ terangnya.
Sabtunya 20 Juli 2013, Rizal kembali ke rumah Sapari bersama Dayat. Dia mengenalkan Dayat sebagai santri di salah satu pondok pesantren di Kediri. Dayat adalah terduga teroris yang juga ditembak mati. Saat tertembak pada tengkorak kepala sebelah kiri, Dayat mengenakan kaos berwarna kuning.
“Tampilan Dayat ini memang seram. Rambutnya gondrong dan gimbal. Dalam pertemuan itu, Rizal kembali menegaskan hendak ke Bekasi untuk melanjutkan kuliah S2 di sana,“ ungkapnya.
Kesan seram dan menakutkan juga diakui Suparti, adik kandung Sapari. Namun menurut Suparti, penampilan Dayat lebih menyerupai pemuda berandalan daripada seorang teroris.
“Meskipun seram, kami tidak berpikiran kalau yang bersangkutan sebagai teroris,“ terangnya menegaskan juga tidak percaya Sapari terlibat dalam jaringan teroris.
Yang terjadi, Sapari hanya berniat mengantarkan Rizal dan Dayat, di tempat pemberhentian bus. Karena sepeda motor tidak cukup, dia meminta pertolongan Mugi Hartanto, warga Desa Gambiran, Kecamatan Pagerwojo yang kebetulan melintas. Sebab motor yang ada hanya satu, sementara yang perlu diantar ke Tulungagung dua orang.
Sama dengan Sapari, Mugi yang bekerja sebagai tenaga honorer guru di desa setempat itu juga ditembak bagian kaki. Saat ini keduanya masih dalam interogasi aparat kepolisian, terkait keterlibatan serta hubungan dengan dua unit bom rakitan dan senpi revolver.
Sementara itu, Kapolda Jawa Timur Irjen Pol Unggung Wicaksono saat meninjau lokasi penembakan, mengatakan bahwa kedua teroris jaringan Poso tersebut berada di Jawa Timur selama tiga bulan. Untuk menyembuyikan diri, mereka memilih musala dan SPBU sebagai tempat menginap.
“Untuk sementara, dua orang warga sipil Tulungagung, perannya adalah menyembunyikan dan mengantarkan teroris itu kemana pergi,“ ujarnya.
Sebagai orang asing yang baru pertama kali menginjakkan kaki, Rizal mengenalkan diri sebagai dai muda dari Gunung Kidul Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Pembawaan yang kalem, ramah, ditambah tutur kata yang santun, membuat pemuda berkulit bersih dan berjenggot tipis itu mudah diterima. Terbukti, ilmu komunikasi massa lelaki yang diperkirakan berusia 27 tahun, itu relatif bagus. Nyaris tidak ada interaksi yang kaku lazimnya orang asing pertama kali memasuki daerah baru. Semua berjalan lancar.
Dia juga menyampaikan niat, bahwa kehadiranya di Desa Penjor, untuk membawa misi mengamalkan ilmu (dakwah). Tidak hanya Sapari (40), kaur kesra (modin) setempat, mendengar itu sebagian warga lain juga terpikat.
“Suami saya (Sapari) yang pertama kali ditemui. Dan dari kesan awal, orangnya (Rizal) memang baik,“ tutur Sri Indartini (40), istri Sapari, kepada wartawan, Selasa (23/7/2013).
Selain baik, Rizal terlihat sebagai sosok yang pandai dan cerdas dalam menguasai ilmu agama. Dia piawai dalam baca tulis Alquran. Dalam waktu cepat, masyarakat memberinya beragam kemudahan. Rizal mendapat kesempatan menjadi pemimpin salat (Imam) di Masjid Al Jihad yang berada di desa setempat.
Dia juga dipercaya mengajar ilmu agama sekaligus diperbolehkan mengambil salah satu ruang di Taman Kanak-kanak (TK)/PAUD Aisyiah sebagai tempat tinggal. TK/Paud Aisyiah, merupakan lembaga pendidikan milik Muhammadiyah, yang berjarak sekitar satu kilometer dari masjid.
Pendek kata, selama tiga bulan di Desa Penjor, Rizal melakukan semua “pekerjaan” keagamaan yang biasa dilakukan oleh seorang ustadz atau pemuka agama.
“Namun isi dakwahnya juga tidak pernah ada yang menyangkut persoalan jihad atau teroris. Kami juga tidak melihat aktivitas yang mengarah pada pembuatan bom,“ terang Sri Indartini.
Karenanya, ibu dua anak ini nyaris tidak percaya jika Rizal dikatakan satu dari dua teroris jaringan Poso yang ditembak mati Detasemen Khusus (Densus) 88 anti teror, di Jalan Raya Pahlawan, Kecamatan Kedungwaru, Kota Tulungagung, pada Senin 22 Juli 2013 pagi.
Informasi yang berhasil dikumpulkan menyebutkan, saat tertembak bagian dada dan tewas, Rizal mengenakan kaos motif loreng dengan dominasi warna kuning. Terduga teroris yang menurut keterangan polisi berasal dari Medan, Sumatera Utara, itu memiliki ciri fisik pada punggung telapak tangan kanan terdapat bekas luka melepuh seperti tersiram air panas.
Sri juga tidak percaya jika suaminya, Sapari, disebut terlibat anggota jaringan teroris dan mengakibatkan ditembak sebelah kakinya. Selama ini, selain modin, Sapari dikenal sebagai penceramah agama sekaligus memangku jabatan takmir masjid Al Jihad.
Sikapnya yang ramah terhadap semua orang yang membuatnya selalu terbuka dengan orang asing. “Suami saya tidak tahu soal seperti itu (teroris). Hubunganya dengan Rizal baik, karena Rizal sendiri juga baik,“ jelasnya.
Sebelum penembakan terjadi, pada Jumat 19 Juli 2013 malam, sekitar pukul 22.00 Wib, Rizal mendatangi rumah Sapari. Dia mengatakan hendak pamit ke Bekasi, guna melanjutkan kuliah S2.
“Malam itu Rizal menjadi imam salat tarawih. Namun karena di rumah tidak bertemu suami saya (Sapari), dia langsung balik lagi ke Paud,“ terangnya.
Sabtunya 20 Juli 2013, Rizal kembali ke rumah Sapari bersama Dayat. Dia mengenalkan Dayat sebagai santri di salah satu pondok pesantren di Kediri. Dayat adalah terduga teroris yang juga ditembak mati. Saat tertembak pada tengkorak kepala sebelah kiri, Dayat mengenakan kaos berwarna kuning.
“Tampilan Dayat ini memang seram. Rambutnya gondrong dan gimbal. Dalam pertemuan itu, Rizal kembali menegaskan hendak ke Bekasi untuk melanjutkan kuliah S2 di sana,“ ungkapnya.
Kesan seram dan menakutkan juga diakui Suparti, adik kandung Sapari. Namun menurut Suparti, penampilan Dayat lebih menyerupai pemuda berandalan daripada seorang teroris.
“Meskipun seram, kami tidak berpikiran kalau yang bersangkutan sebagai teroris,“ terangnya menegaskan juga tidak percaya Sapari terlibat dalam jaringan teroris.
Yang terjadi, Sapari hanya berniat mengantarkan Rizal dan Dayat, di tempat pemberhentian bus. Karena sepeda motor tidak cukup, dia meminta pertolongan Mugi Hartanto, warga Desa Gambiran, Kecamatan Pagerwojo yang kebetulan melintas. Sebab motor yang ada hanya satu, sementara yang perlu diantar ke Tulungagung dua orang.
Sama dengan Sapari, Mugi yang bekerja sebagai tenaga honorer guru di desa setempat itu juga ditembak bagian kaki. Saat ini keduanya masih dalam interogasi aparat kepolisian, terkait keterlibatan serta hubungan dengan dua unit bom rakitan dan senpi revolver.
Sementara itu, Kapolda Jawa Timur Irjen Pol Unggung Wicaksono saat meninjau lokasi penembakan, mengatakan bahwa kedua teroris jaringan Poso tersebut berada di Jawa Timur selama tiga bulan. Untuk menyembuyikan diri, mereka memilih musala dan SPBU sebagai tempat menginap.
“Untuk sementara, dua orang warga sipil Tulungagung, perannya adalah menyembunyikan dan mengantarkan teroris itu kemana pergi,“ ujarnya.
(san)