Dana Jampersal dipungli, ratusan Bidan di Garut mengeluh
A
A
A
Sindonews.com - Pungutan liar (Pungli) dalam dana Jaminan Persalinan (Jampersal) di Kabupaten Garut dikeluhkan ratusan bidan. Pasalnya, besaran potongan mencapai 30 persen dari dana yang diterima.
Seorang bidan yang enggan disebutkan identitasnya menuturkan, pemotongan dana dilakukan tanpa sepengetahuan para bidan. Tidak hanya itu, rincian potongan pun tidak dijelaskan.
“Kami menduga, pemotongan dana ini dilakukan oleh oknum petugas puskesmas tempat kami bekerja,” katanya Jumat (14/6/2013).
Dari informasi yang dia terima, dalih pemotongan tersebut sebagai pajak penghasilan dan uang lelah bagi para pegawai Dinas Kesehatan (Dinkes) Garut yang melakukan pendataan dan pengajuan klaim Jampersal ke pemerintah pusat. Selain itu, sisa potongan lainnya diperuntukan untuk menutupi kegiatan operasional puskesmas.
“Pada pencairan awal Juni kemarin itu, saya hanya mendapatkan dana sebesar Rp730 ribu dari yang seharusnya jasa medis Jampersal sebesar Rp1.125 juta. Selain dipotong, dana yang kami terima pun terlambat selama lima bulan lamanya. Padahal, dari ketentuan yang saya baca, semestinya dana tersebut kami terima per tiga bulan sekali. Bila protes risikonya klaim jampersal kita selanjutnya akan susah cair, apalagi honorer bisa langsung dipecat,” ujarnya.
Tidak hanya dia, sebagian besar rekan sejawatnya yang lain menginginkan agar dana Jampersal untuk dihapus. Alasannya, selain dianggap tidak efektif, para bidan pun tidak dapat menikmati hasil kerjanya selama bertugas.
“Akibatnya, banyak diantara bidan yang enggan melakukan pertolongan persalinan di tempat layanan kesehatan. Hanya sebagian kecil yang melakukannya karena alasan kemanusiaan. Sebagian besar lebih memilih untuk membawa pasien ke tempat praktek di rumah bidan. Alasannya karena lebih praktis dan tidak ribet karena pasien langsung bayar,” ungkapnya.
Ketua Komisi D DPRD Kabupaten Garut dr Helmi Budiman membenarkan adanya pungli dalam pencairan dana Jampersal. Informasi tersebut, ia terima langsung dari para bidan yang mengeluh kepadanya.
“Sudah berkali-kali saya tegur Dinkes Garut terkait pungli pada pencairan dana Jampersal ini. Jujur saya sangat kecewa. Semestinya, bidan itu mendapat insentif lebih karena merekalah garda terdepan dalam upaya penurunan angka kematian ibu dan bayi,” tegasnya.
Helmi menilai, progam Jampersal ini belum tersosialisasikan dengan baik. Sebab, hingga kini masih banyak di kalangan masyarakat yang belum mengetahui adanya layanan gratis dari program tersebut.
“Seringnya, terjadi double anggaran karena masyarakat harus membayar persalinannya kembali. Salah satu contoh, kondisi ini pernah terjadi di Kecamatan Pasirwangi,” ucapnya.
Dia mendesak agar pemerintah pusat untuk segera memperbaiki aturan pelaksanaan Jampersal. Program ini, semestinya dapat dinikmati oleh masyarakat dengan baik agar indeks kesehatan di daerah bisa meningkat.
Terpisah, Kadinkes Garut, Iman Firmanullah, membantah tudingan adanya pungli pada pencairan dana Jampersal. Menurut dia, setiap bidan memperoleh dana jampersal sesuai dengan klaim pertolongan persalinan yang telah dilakukannya.
“Akan tetapi memang, dana yang diterima para bidan tidak akan utuh sebesar Rp500 ribu. Alasannya karena untuk membiayai kegiatan lain, sesuai dengan petunjuk teknis dalam pelaksanaan jampersal,” katanya.
Lebih jauh Iman mengatakan, dari dana persalinan normal sebesar Rp500 ribu itu, para bidan hanya mendapatkan jasa medis sebesar 75 persen atau sebesar Rp375 ribu. Sedangkan sisanya sebesar 25 persen digunakan untuk pembelian obat sebesar 10 persen, kegiatan pelatihan 10 persen, managemen dan alat tulis kantor 5 persen, dan pengadaan alat kesehatan sebesar 5 persen.
“Semua dana yang kami cairkan sudah sesuai dengan ketentuan, tidak ada potongan lain,” imbuhnya.
Dia menyebutkan, selama ini jumlah dana Jampersal yang diluncurkan pemerintah pusat pada tahap pertama di tahun 2013 sebesar Rp8,5 miliar. Dana yang telah terserap sejak Januari hingga Maret lalu mencapai Rp4,2 miliar.
“Sedangkan sisanya masih disiman di kas Dinkes Garut yang berada di BRI Cabang Garut,” tandasnya.
Seorang bidan yang enggan disebutkan identitasnya menuturkan, pemotongan dana dilakukan tanpa sepengetahuan para bidan. Tidak hanya itu, rincian potongan pun tidak dijelaskan.
“Kami menduga, pemotongan dana ini dilakukan oleh oknum petugas puskesmas tempat kami bekerja,” katanya Jumat (14/6/2013).
Dari informasi yang dia terima, dalih pemotongan tersebut sebagai pajak penghasilan dan uang lelah bagi para pegawai Dinas Kesehatan (Dinkes) Garut yang melakukan pendataan dan pengajuan klaim Jampersal ke pemerintah pusat. Selain itu, sisa potongan lainnya diperuntukan untuk menutupi kegiatan operasional puskesmas.
“Pada pencairan awal Juni kemarin itu, saya hanya mendapatkan dana sebesar Rp730 ribu dari yang seharusnya jasa medis Jampersal sebesar Rp1.125 juta. Selain dipotong, dana yang kami terima pun terlambat selama lima bulan lamanya. Padahal, dari ketentuan yang saya baca, semestinya dana tersebut kami terima per tiga bulan sekali. Bila protes risikonya klaim jampersal kita selanjutnya akan susah cair, apalagi honorer bisa langsung dipecat,” ujarnya.
Tidak hanya dia, sebagian besar rekan sejawatnya yang lain menginginkan agar dana Jampersal untuk dihapus. Alasannya, selain dianggap tidak efektif, para bidan pun tidak dapat menikmati hasil kerjanya selama bertugas.
“Akibatnya, banyak diantara bidan yang enggan melakukan pertolongan persalinan di tempat layanan kesehatan. Hanya sebagian kecil yang melakukannya karena alasan kemanusiaan. Sebagian besar lebih memilih untuk membawa pasien ke tempat praktek di rumah bidan. Alasannya karena lebih praktis dan tidak ribet karena pasien langsung bayar,” ungkapnya.
Ketua Komisi D DPRD Kabupaten Garut dr Helmi Budiman membenarkan adanya pungli dalam pencairan dana Jampersal. Informasi tersebut, ia terima langsung dari para bidan yang mengeluh kepadanya.
“Sudah berkali-kali saya tegur Dinkes Garut terkait pungli pada pencairan dana Jampersal ini. Jujur saya sangat kecewa. Semestinya, bidan itu mendapat insentif lebih karena merekalah garda terdepan dalam upaya penurunan angka kematian ibu dan bayi,” tegasnya.
Helmi menilai, progam Jampersal ini belum tersosialisasikan dengan baik. Sebab, hingga kini masih banyak di kalangan masyarakat yang belum mengetahui adanya layanan gratis dari program tersebut.
“Seringnya, terjadi double anggaran karena masyarakat harus membayar persalinannya kembali. Salah satu contoh, kondisi ini pernah terjadi di Kecamatan Pasirwangi,” ucapnya.
Dia mendesak agar pemerintah pusat untuk segera memperbaiki aturan pelaksanaan Jampersal. Program ini, semestinya dapat dinikmati oleh masyarakat dengan baik agar indeks kesehatan di daerah bisa meningkat.
Terpisah, Kadinkes Garut, Iman Firmanullah, membantah tudingan adanya pungli pada pencairan dana Jampersal. Menurut dia, setiap bidan memperoleh dana jampersal sesuai dengan klaim pertolongan persalinan yang telah dilakukannya.
“Akan tetapi memang, dana yang diterima para bidan tidak akan utuh sebesar Rp500 ribu. Alasannya karena untuk membiayai kegiatan lain, sesuai dengan petunjuk teknis dalam pelaksanaan jampersal,” katanya.
Lebih jauh Iman mengatakan, dari dana persalinan normal sebesar Rp500 ribu itu, para bidan hanya mendapatkan jasa medis sebesar 75 persen atau sebesar Rp375 ribu. Sedangkan sisanya sebesar 25 persen digunakan untuk pembelian obat sebesar 10 persen, kegiatan pelatihan 10 persen, managemen dan alat tulis kantor 5 persen, dan pengadaan alat kesehatan sebesar 5 persen.
“Semua dana yang kami cairkan sudah sesuai dengan ketentuan, tidak ada potongan lain,” imbuhnya.
Dia menyebutkan, selama ini jumlah dana Jampersal yang diluncurkan pemerintah pusat pada tahap pertama di tahun 2013 sebesar Rp8,5 miliar. Dana yang telah terserap sejak Januari hingga Maret lalu mencapai Rp4,2 miliar.
“Sedangkan sisanya masih disiman di kas Dinkes Garut yang berada di BRI Cabang Garut,” tandasnya.
(rsa)