Sumir-nya Investigasi TNI
A
A
A
Sindonews.com - TNI sudah mengumumkan hasil investigasinya. 11 Oknum Group II Kopassus Kartasura, disebut menjadi dalang penyerbuan LP Cebongan, Sleman, 23 Maret 2013, lalu. Namun keraguan investigasi TNI mulai menyeruak setelah Komnas HAM mengumumkan hasil investigasi versi mereka.
Dalam temuan Komnas HAM, ternyata ada 14 oknum Kopassus yang terlibat. Hal itu disampaikan Ketua Komnas HAM Siti Noor Laila, saat jumpa pers di Kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, 12 April 2013, kemarin. "Dari hasil rekontruksi, para pelaku penyerangan LP diduga berjumlah sekira 14 orang," jelas Siti.
Tak hanya itu, masing-masing dari mereka disebutkan membawa senjata panjang berjenis AK 47. Senapan serbu itu digabung dengan dua AK-47 replika serta pistol sigsauer, juga replika. Masing-masing dari mereka juga membawa dua buah granat, di pinggang kiri dan kanan.
Dalam penjelasan Siti, keganasan Kopassus terjadi. Berbeda dengan cara Kopassus yang efisien dengan menembakkan satu peluru pada organ vital, seperti dada dan kepala, kali ini pelaku yang diketahui berpangkat Tamtama dan Bintara itu memuntahkan 31 peluru. Hal itu beralasan mengingat jiwa Korsa yang disebut mereka (Kopassus) sebagai upaya balas dendam atas terbunuhnya rekan mereka Serka Santoso yang notabene pernah menyelamatkan salahsatu dari mereka dalam sebuah peperangan.
"Di lokasi terdapat 21 proyektil dan 31 selongsong peluru. Satu diantaranya ditemukan oleh Komnas HAM dan telah diserahkan ke penyidik Polda DIY," ujar Siti.
Tak pelak jiwa Korsa kebablasan itupun melahirkan sebuah pelanggaran HAM berat. Ada beberapa pelanggaran HAM yang dilakukan aparat yang disebutkan banyak media sebagai tim pengamanan ketiga terbaik dunia itu. Untuk itulah Komnas HAM mencoba masuk ke ranah seragam loreng tersebut.
Tak tanggung-tanggung, empat pelanggaran sekaligus disematkan dalam kasus berdarah yang menyita perhatian dunia itu. Pelanggarannya, berupa perampasan hak hidup terhadap para korban. Lantaran hukum rimba telah terjadi di LP Cebongan. Dan ironisnya dilakukan aparat yang katanya pembela rakyat.
Dalam Pasal 4 dan Pasal 9 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, tertulis, setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya. Kedua, setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin. Berdasarkan pasal itulah sematan kesalahan dikira cocok dengan kesalahan mereka.
Pelanggaran HAM kedua, yakni intimidasi terhadap petugas sipir penjaga Lapas Cebongan. Karena saat kejadian, para pelaku penyerbuan LP melakukan ancaman terhadap sipir dengan menggunakan senjata dan granat. "Indikasi ketiga, insiden tersebut menimbulkan rasa tidak nyaman di masyarakat, warga Sleman khususnya, dan warga Yogyakarta pada umumnya," jelas Siti.
Sementara indikasi keempat, pengamanan yang lemah dari pihak kepolisian dalam hal ini Polda DIY. Jadi, seolah ada pembiaran dari pihak kepolisian. Atas temuan awal itu, Komnas HAM pun berkebulatan tekad untuk melanjutkan hasil investigasi mereka. Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi mengatakan, sebenarnya ada penyusutan jumlah pelaku dari dugaan semula.
"Seperti ada diskon, mulanya ada 17 orang, kemudian menyusut menjadi 11 orang. Dari jumlah itu, dua diantaranya merupakan anggota yang menghalangi, nanti mengerucut lagi tinggal satu orang pelaku utama," katanya.
Maka itu, tergambar adanya upaya untuk mengaburkan kasus ini. Usaha-usaha untuk mengaburkan fakta peristiwa juga terlihat dari tidak adanya pengungkapan terkait pembicaraan petinggi-petinggi TNI dan Polri seusai kejadian di Hugo's Cafe. "Kita harus curiga adanya dugaan untuk mengurung peristiwa guna menutupi kepentingan-kepentingan yang lebih besar," ujar Hendardi.
Mengerucut kasus, langkah kepolisian-pun disayangkannya. Lantaran institusi yang dipimpin Jenderal Timor Pradopo itu seolah melempar bola panas kasus ini ke TNI. Padahal, serangan terhadap masyarakat sipil menjadi garis yurisdiksi Polri untuk menanganinya. "Seolah polisi menghindar untuk menangani kasus ini," katanya.
Dalam temuan Komnas HAM, ternyata ada 14 oknum Kopassus yang terlibat. Hal itu disampaikan Ketua Komnas HAM Siti Noor Laila, saat jumpa pers di Kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, 12 April 2013, kemarin. "Dari hasil rekontruksi, para pelaku penyerangan LP diduga berjumlah sekira 14 orang," jelas Siti.
Tak hanya itu, masing-masing dari mereka disebutkan membawa senjata panjang berjenis AK 47. Senapan serbu itu digabung dengan dua AK-47 replika serta pistol sigsauer, juga replika. Masing-masing dari mereka juga membawa dua buah granat, di pinggang kiri dan kanan.
Dalam penjelasan Siti, keganasan Kopassus terjadi. Berbeda dengan cara Kopassus yang efisien dengan menembakkan satu peluru pada organ vital, seperti dada dan kepala, kali ini pelaku yang diketahui berpangkat Tamtama dan Bintara itu memuntahkan 31 peluru. Hal itu beralasan mengingat jiwa Korsa yang disebut mereka (Kopassus) sebagai upaya balas dendam atas terbunuhnya rekan mereka Serka Santoso yang notabene pernah menyelamatkan salahsatu dari mereka dalam sebuah peperangan.
"Di lokasi terdapat 21 proyektil dan 31 selongsong peluru. Satu diantaranya ditemukan oleh Komnas HAM dan telah diserahkan ke penyidik Polda DIY," ujar Siti.
Tak pelak jiwa Korsa kebablasan itupun melahirkan sebuah pelanggaran HAM berat. Ada beberapa pelanggaran HAM yang dilakukan aparat yang disebutkan banyak media sebagai tim pengamanan ketiga terbaik dunia itu. Untuk itulah Komnas HAM mencoba masuk ke ranah seragam loreng tersebut.
Tak tanggung-tanggung, empat pelanggaran sekaligus disematkan dalam kasus berdarah yang menyita perhatian dunia itu. Pelanggarannya, berupa perampasan hak hidup terhadap para korban. Lantaran hukum rimba telah terjadi di LP Cebongan. Dan ironisnya dilakukan aparat yang katanya pembela rakyat.
Dalam Pasal 4 dan Pasal 9 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, tertulis, setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya. Kedua, setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin. Berdasarkan pasal itulah sematan kesalahan dikira cocok dengan kesalahan mereka.
Pelanggaran HAM kedua, yakni intimidasi terhadap petugas sipir penjaga Lapas Cebongan. Karena saat kejadian, para pelaku penyerbuan LP melakukan ancaman terhadap sipir dengan menggunakan senjata dan granat. "Indikasi ketiga, insiden tersebut menimbulkan rasa tidak nyaman di masyarakat, warga Sleman khususnya, dan warga Yogyakarta pada umumnya," jelas Siti.
Sementara indikasi keempat, pengamanan yang lemah dari pihak kepolisian dalam hal ini Polda DIY. Jadi, seolah ada pembiaran dari pihak kepolisian. Atas temuan awal itu, Komnas HAM pun berkebulatan tekad untuk melanjutkan hasil investigasi mereka. Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi mengatakan, sebenarnya ada penyusutan jumlah pelaku dari dugaan semula.
"Seperti ada diskon, mulanya ada 17 orang, kemudian menyusut menjadi 11 orang. Dari jumlah itu, dua diantaranya merupakan anggota yang menghalangi, nanti mengerucut lagi tinggal satu orang pelaku utama," katanya.
Maka itu, tergambar adanya upaya untuk mengaburkan kasus ini. Usaha-usaha untuk mengaburkan fakta peristiwa juga terlihat dari tidak adanya pengungkapan terkait pembicaraan petinggi-petinggi TNI dan Polri seusai kejadian di Hugo's Cafe. "Kita harus curiga adanya dugaan untuk mengurung peristiwa guna menutupi kepentingan-kepentingan yang lebih besar," ujar Hendardi.
Mengerucut kasus, langkah kepolisian-pun disayangkannya. Lantaran institusi yang dipimpin Jenderal Timor Pradopo itu seolah melempar bola panas kasus ini ke TNI. Padahal, serangan terhadap masyarakat sipil menjadi garis yurisdiksi Polri untuk menanganinya. "Seolah polisi menghindar untuk menangani kasus ini," katanya.
(rsa)