Getirnya kehidupan keluarga Widji Thukul

Kamis, 06 Desember 2012 - 01:08 WIB
Getirnya kehidupan keluarga Widji Thukul
Getirnya kehidupan keluarga Widji Thukul
A A A
Sindonews.com - Perjuangan Diyah Sujirah atau Ibu Pon (45), istri sastrawan dan aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) Widji Thukul, dalam mencari kebenaran tak pernah padam. Bersama kedua anaknya, Fitri Nganthiwani (23), dan Fajar Merah (18), Ibu Pon banyak merasakan kegetiran.

Kepedihan yang dirasakan Ibu Pon dan anaknya, bertambah dengan cibiran masyarakat yang mengatakan Ibu Pon mengemis kepada negara untuk bertahan hidup. Padahal, kehidupan Ibu Pon dan keluarga, sangat pas-pasan. Bahkan, jauh dari kata sederhana.

Tak hanya itu, Fajar, anak bungsu Widji juga kerap mendapat cibiran dari teman-temannya di sekolah. Berat tekanan yang dialami Fajar di sekolah, membuatnya terpaksa keluar dari sekolah.

Banyaknya tekanan, dan cibiran dari masyarakat terhadap keluarga ini, membuat Ibu Pon jatuh sakit. Pada 2010, Ibu terpaksa menjual mesin jahit yang menjadi satu-satunya alat penghidupan keluarga ini, untuk biaya berobat.

Untuk bertahan hidup, dan makan sehari-hari, Ibu Pon dan Fajar, hanya mengandalkan uang pemberian Fitri yang sudah bekerja, dan bantuan dari para tetangga yang merasa kasihan. Namun begitu, Ibu Pon tidak pernah mengemis untuk mendapatkan makan hingga orang memberinya makan.

Hingga kini, 14 tahun sudah Widji Thukul hilang. Kabar yang beredar, dia sudah tewas dibunuh. Namun tidak ada yang mengetahui dimana makam, dan jenazahnya berada. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan, Widji Thukul dihilangkan oleh negara.

Kendati begitu, Ibu Pon dan anaknya, tak pernah berhenti berusaha mencari tahu dimana jasad suaminya dibenamkan, dan siapa yang menghilangkannya? Dia berharap, pemerintah melanjutkan pencarian jejak Widji Thukul, dan menemukannya.

Kepada anak bungsunya, Ibu Pon jarang sekali bercerita tentang sepak terjang Widji dalam kancah pergerakan. Fajar mengaku, hanya mengetahui sosok Widji melalui foto-foto yang beredar di media massa, dan cerita para sahabat.

Namun begitu, Fajar percaya, bapaknya orang baik yang memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan. Untuk itu, dia berharap, perjuangan dalam menegakkan nilai-nilai kemanusiaan, tak pernah berhenti.

Seperti diketahui, Widji Thukul lahir di Sala, pada 24 Agustus 1963 sebagai anak tukang becak dari keluarga Katolik. Selepas SMP, selama kurang dari dua tahun dia belajar di sekolah Menengah Karawitan Indonesia, sampai putus sekolah pada 1980.

Di Solo, Thukul dibesarkan di kampung miskin yang sebagian besar penghuninya hidup dari menarik becak. Ketika itu, bus kota mulai menguasai jalanan, mengakibatkan penderitaan yang berkepanjangan bagi para tukang becak yang penghasilannya semakin merosot.

Rentenir pun telah menjadi pengunjung tetap yang kedatanganya selalu menggelisahkan para penghuni kampung. Semenjak putus sekolah, Thukul mencari nafkah sendiri melalui berbagai pekerjaan tidak tetap. Dia pernah menjadi tukang koran, tukang semir mebel, maupun buruh harian.

Selain itu dia pun membaca puisi secara ngamen keluar masuk kampung, kadang-kadang diiringi musik gamelan. Keterlibatan Thukul dalam teater dan kesenian di Sala dan Jawa Tengah sangatlah luas.

Dia pernah mengambil bagian dalam pembacaan puisi di Monumen Pers Surakarta, Pusat Kesenian Jawa Tengah, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Yayasan Hatta di Yogyakarta serta radio PTPN.

Sajak-sajaknya secara teratur muncul diberbagai majalah dan surat kabar, dan pada tahun 1984 kumpulan sajaknya berjudul Puisi Pelo diterbitkan dalam bentuk stensilan oleh Taman Budaya Surakarta.

Stensilan berikutnya Darman dan lain-lain telah pula diterbitkan, selain sajak-sajaknya pun muncul dalam Antologi 4 Penyair Solo. Kumpulan puisi Suara diproduksinya sendiri bulan Juli 1987 dalam bentuk fotokopi yang dikomentarinya: ”Aku sedang belajar untuk tidak tergantung pada lembaga-lembaga kesenian resmi.”

Awal 1990-an terlibat dalam Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (JAKKER) yang menjadi anak organisasi PRD, partai independen yang didirikan oleh kaum muda dan mahasiswa sebagai partai oposisi rezim Orde Baru.

Tahun 1995, Thukul nyaris kehilangan penglihatannya akibat kebrutalan polisi saat memimpin pemogokan buruh-buruh tekstil Sritex. Pasca kerusuhan 27 Juli 1996, di mana PRD dikambinghitamkan sebagai biang kerusuhan oleh pemerintahan Orde Baru, Thukul bersama anggota-anggota sentral PRD harus bersembunyi.

Kontak terakhir dengan rekan-rekannya masih terjalin pada 1998. Sejak itu keberadannya tidak diketahui, dan Thukul dikatgeorikan sebagai orang hilang, korban-korban penculikan pemerintahan militer Orde Baru.

Tahun 2002, Thukul secara in absentia menerima Yap Tiam Hien Award atas perjuangannya di bidang penegakan HAM. Widji juga menerima penghargaan Wertheim Encourage Award dari Wertheim Stichting, Belanda (1991).

Berikut salah satu puisi karya Widji Thukul yang semangatnya hingga kini masih membakar:

PERINGATAN

Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa

Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar

Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!.

(Wiji Thukul, 1986)
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3476 seconds (0.1#10.140)