Penembakan polisi pada orang gila salah prosedur
Sabtu, 22 September 2012 - 15:31 WIB

Penembakan polisi pada orang gila salah prosedur
A
A
A
Sindonews.com - Perhimpunan Bantuan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Sumatera Barat menilai, aksi polisi yang menembak mati Jamaris (45) warga Sungai Buliah Pasar Usang, Kecamatan Batang Anai, Kabupaten Padang Pariaman, pada Kamis 20 September 2012 lalu tidak tepat meski ada salah satu polisi bernama Aipda Julius mengalami luka-luka akibat ulah Jamaris.
Ketua PBHI Sumbar Firdaus mengatakan, sesuai dengan ketentuan Pasal 47 ayat (2) huruf b Perkapolri No.8 Tahun 2009 Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam konteks pembelaan diri.
Aparat kepolisian memang dibenarkan untuk melepaskan tembakan setelah upaya persuasif gagal dan kondisi aparat tersebut sudah terancam nyawanya dan dengan Protap Polri No.1 Tahun 2010 tentang penanggulangan anarki, penggunaan senjata api terkait dengan cara bertindak untuk melumpuhkan perlawanan fisik, pada prinsipnya hanyalah untuk melumpuhkan, bukan untuk membunuh atau mematikan.
"Apabila pelaku tidak mengindahkan tembakan peringatan maka dilakukan tembakan peringatan kepada sasaran yang tidak mematikan. Karenanya sebelum menjalankan tugas, anggota Kepolisian telah dibekali keterampilan khusus dalam penggunaan senjata," ungkapnya Sabtu, (22/9/2012).
Kata Daus, Jamaris saat insiden itu memang memegang senjata tajam polisi telah dibujuk namun gagal, sesuai dengan protap a quo, sudah sepatut aparat melepaskan dua kali tembakan peringatan kearah yang tidak membahayakan.
"Tapi ini sangat fatal sehingga Jamaris yang diduga ada kelainan jiwa mati," katanya.
Dengan itu PBHI menyambut baik sikap Kapolres Resort Padang Pariaman untuk melakukan penyelidikan terhadap terjadinya penembakan oleh aparat Polsek Batang Anai.
Kemudian PBHI mendesak Kapolres Padang Pariaman untuk mengusut secara tuntas terhadap peristiwa penembakan tersebut dan mengambil langkah hukum lebih lanjut secara transparan dan bertanggungjawab.
"Ini bertujuan agar kepastian hukum dan terhadap dan keadilan terhadap korban penembakan maupun aparat yang menjadi korban," tutupnya.
Ketua PBHI Sumbar Firdaus mengatakan, sesuai dengan ketentuan Pasal 47 ayat (2) huruf b Perkapolri No.8 Tahun 2009 Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam konteks pembelaan diri.
Aparat kepolisian memang dibenarkan untuk melepaskan tembakan setelah upaya persuasif gagal dan kondisi aparat tersebut sudah terancam nyawanya dan dengan Protap Polri No.1 Tahun 2010 tentang penanggulangan anarki, penggunaan senjata api terkait dengan cara bertindak untuk melumpuhkan perlawanan fisik, pada prinsipnya hanyalah untuk melumpuhkan, bukan untuk membunuh atau mematikan.
"Apabila pelaku tidak mengindahkan tembakan peringatan maka dilakukan tembakan peringatan kepada sasaran yang tidak mematikan. Karenanya sebelum menjalankan tugas, anggota Kepolisian telah dibekali keterampilan khusus dalam penggunaan senjata," ungkapnya Sabtu, (22/9/2012).
Kata Daus, Jamaris saat insiden itu memang memegang senjata tajam polisi telah dibujuk namun gagal, sesuai dengan protap a quo, sudah sepatut aparat melepaskan dua kali tembakan peringatan kearah yang tidak membahayakan.
"Tapi ini sangat fatal sehingga Jamaris yang diduga ada kelainan jiwa mati," katanya.
Dengan itu PBHI menyambut baik sikap Kapolres Resort Padang Pariaman untuk melakukan penyelidikan terhadap terjadinya penembakan oleh aparat Polsek Batang Anai.
Kemudian PBHI mendesak Kapolres Padang Pariaman untuk mengusut secara tuntas terhadap peristiwa penembakan tersebut dan mengambil langkah hukum lebih lanjut secara transparan dan bertanggungjawab.
"Ini bertujuan agar kepastian hukum dan terhadap dan keadilan terhadap korban penembakan maupun aparat yang menjadi korban," tutupnya.
(mhd)