Tragedi Cikeusik gores hati penganut Ahmadiyah
A
A
A
Sindonews.com - Tragedi Cikeusik, Pandeglang, Banten, Jawa Barat masih begitu menggores hati Firdaus Mubarik, salah seorang penganut Ahmadiyah. Setahun sudah terlewati, kisah itu masih begitu teringat di benaknya.
Yang menyakitkan lagi, Firdaus dan penganut lainnya tidak bisa pulang ke rumah. Mereka ditolak warga karena keyakinan itu.
"Saya tak bisa pulang ke rumah. Karena keyakinan saya ini saya ditolak warga sehingga tak bisa kembali ke rumah saya sendiri," keluh Firdaus saat menghadiri Satu Tahun Tragedi Cikeusik di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat.
Nasib memburuk semakin terasa ketika munculnya peraturan daerah (Perda) larangan Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di berbagai daerah. Dalam perda itu mengatur semua persoalan menyangkut Ahmadiyah secara diskriminasi.
''Yang menyesakkan hati, kami bahkan dilarang beribadah di Masjid, untuk sekadar berkumpul keluarga saja kami juga dilarang," ungkap sedih Firdaus.
Firdaus masih ingat betul tragedi itu. Betapa, tiga rekannya tewas karena luka parah setelah diserbu tak orang-orang secara tak berperikemanusiaan. Terlebih dari tragedi itu, satu orang dari Ahmadiyah justru diadili, meskipun ada 12 orang dari pihak penyerang dimeja hijaukan.
Saat ini Firdaus dan penganut Ahmadiyah asal Cikeusik lainnya hanya berharap, dapat kembali kerumah mereka sekaligus mendapatkan perlindungan hukum dan memperoleh keamanan menganut keyakinannya sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Seperti diketahui, pasca tragedi itu, pemerintah justru mengeluarkan perda jemaat Ahmadiyah melakukan aktivitas keagamaan termasuk melarang jemaat Ahmadiyah menyebarkan ajaran, mereka juga diimbau agar menurunkan papan nama Ahmadiyah dari masjid dan lembaga pendidikan.
Jamaah Ahmadiyah juga dilarang salat dan mengaji dengan pengeras suara. Selain Surabaya, pelarangan aktivitas Ahmadiyah juga dikeluarkan oleh Walikota Samarinda dan Gubernur Jawa Barat dan beberapa tempat lain di Indonesia. (lin)
Yang menyakitkan lagi, Firdaus dan penganut lainnya tidak bisa pulang ke rumah. Mereka ditolak warga karena keyakinan itu.
"Saya tak bisa pulang ke rumah. Karena keyakinan saya ini saya ditolak warga sehingga tak bisa kembali ke rumah saya sendiri," keluh Firdaus saat menghadiri Satu Tahun Tragedi Cikeusik di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat.
Nasib memburuk semakin terasa ketika munculnya peraturan daerah (Perda) larangan Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di berbagai daerah. Dalam perda itu mengatur semua persoalan menyangkut Ahmadiyah secara diskriminasi.
''Yang menyesakkan hati, kami bahkan dilarang beribadah di Masjid, untuk sekadar berkumpul keluarga saja kami juga dilarang," ungkap sedih Firdaus.
Firdaus masih ingat betul tragedi itu. Betapa, tiga rekannya tewas karena luka parah setelah diserbu tak orang-orang secara tak berperikemanusiaan. Terlebih dari tragedi itu, satu orang dari Ahmadiyah justru diadili, meskipun ada 12 orang dari pihak penyerang dimeja hijaukan.
Saat ini Firdaus dan penganut Ahmadiyah asal Cikeusik lainnya hanya berharap, dapat kembali kerumah mereka sekaligus mendapatkan perlindungan hukum dan memperoleh keamanan menganut keyakinannya sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Seperti diketahui, pasca tragedi itu, pemerintah justru mengeluarkan perda jemaat Ahmadiyah melakukan aktivitas keagamaan termasuk melarang jemaat Ahmadiyah menyebarkan ajaran, mereka juga diimbau agar menurunkan papan nama Ahmadiyah dari masjid dan lembaga pendidikan.
Jamaah Ahmadiyah juga dilarang salat dan mengaji dengan pengeras suara. Selain Surabaya, pelarangan aktivitas Ahmadiyah juga dikeluarkan oleh Walikota Samarinda dan Gubernur Jawa Barat dan beberapa tempat lain di Indonesia. (lin)
()