Imlek tanpa hujan, tetap optimistis
A
A
A
Sindonews.com - Perayaan Tahun Baru Cina atau Imlek di Kota Cirebon tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, di mana hujan tidak turun deras seperti waktu-waktu lalu.
Padahal, guyuran hujan pada awal Imlek diyakini masyarakat Tionghoa sebagai pertanda kemakmuran. Meski begitu, kebanyakan dari mereka tidak mengkhawatirkan hal tersebut dan tetap optimistis Tahun Naga Air tetap menjadi masa penuh berkah.
Budayawan Tionghoa Yan Siskarteja mengungkapkan, pandangan atas berkah melimpah yang ditandai dengan guyuran hujan sesungguhnya tidak begitu berlaku bagi sebagian masyarakat Tionghoa. Menurut dia, pada dasarnya masyarakat Tionghoa meyakini kerja keraslah yang mendatangkan berkah dan rezeki.
“Hujan tidak pertanda apa-apa, meski masih ada pula yang percaya hujan pada awal Imlek akan mendatangkan berkah. Semakin deras hujan, semakin deras pula berkah yang akan diterima di tahun mendatang. Tapi, kami pun meyakini kerja keras dan berbuat baik di tahun lalu akan dibayar dengan berkah dan kebaikan di masa mendatang meski tanpa hujan,” ungkap dia kemarin.
Dia meyakini, setiap tahun baru selalu disambut dengan optimisme masyarakat Tionghoa. Seiring dengan itu, harapan besar selalu mereka panjatkan dalam rangkaian doa yang mereka lakukan saat datang ke tempat-tempat ibadah.
Bukan saja untuk diri sendiri, lanjut dia, doa itu juga dipanjatkan untuk keberkahan semua masyarakat Indonesia. Sementara itu, perayaan Imlek di Kota Cirebon berlangsung meriah dengan sejumlah kegiatan di antaranya pesta kembang api.
Layaknya tahun baru masehi, sambutan masyarakat Tionghoa terhadap Tahun Naga Air juga direpresentasikan melalui lontaran kembang api ke angkasa, khususnya di Klenteng Talang, Kota Cirebon. Setidaknya sekitar 30 lebih tembakan kembang api terlontar dan memancarkan bunga-bunga api yang mengundang decak kagum.
Budayawan Tionghoa Cirebon lainnya Jeremy Huang menyebut, perayaan kembang api merupakan representasi dari sejarah yang berkaitan dengan Imlek. Di sisi lain, kembang api yang berlangsung sejak pukul 00.00-00.30 WIB tersebut juga sebagai simbol kemeriahan dan kemegahan Imlek.
“Kembang api bersinergi dengan barongsay dan petasan di mana pada zaman Kerajaan Chou timbul suatu penyakit yang meresahkan masyarakat Cina kala itu. Untuk mengusirnya, masyarakat kemudian menyalakan kembang api, petasan, hingga barongsay yang erat dengan tetabuhan,” papar dia.
Ketua Majelis Agama Konghucu Indonesia Kota Cirebon Tedy Setiawan menyebut, kembang api tahun ini merupakan yang ketiga kalinya. “Diharapkan tahun ini berkah mendatangi semua masyarakat,” ujar dia.
Padahal, guyuran hujan pada awal Imlek diyakini masyarakat Tionghoa sebagai pertanda kemakmuran. Meski begitu, kebanyakan dari mereka tidak mengkhawatirkan hal tersebut dan tetap optimistis Tahun Naga Air tetap menjadi masa penuh berkah.
Budayawan Tionghoa Yan Siskarteja mengungkapkan, pandangan atas berkah melimpah yang ditandai dengan guyuran hujan sesungguhnya tidak begitu berlaku bagi sebagian masyarakat Tionghoa. Menurut dia, pada dasarnya masyarakat Tionghoa meyakini kerja keraslah yang mendatangkan berkah dan rezeki.
“Hujan tidak pertanda apa-apa, meski masih ada pula yang percaya hujan pada awal Imlek akan mendatangkan berkah. Semakin deras hujan, semakin deras pula berkah yang akan diterima di tahun mendatang. Tapi, kami pun meyakini kerja keras dan berbuat baik di tahun lalu akan dibayar dengan berkah dan kebaikan di masa mendatang meski tanpa hujan,” ungkap dia kemarin.
Dia meyakini, setiap tahun baru selalu disambut dengan optimisme masyarakat Tionghoa. Seiring dengan itu, harapan besar selalu mereka panjatkan dalam rangkaian doa yang mereka lakukan saat datang ke tempat-tempat ibadah.
Bukan saja untuk diri sendiri, lanjut dia, doa itu juga dipanjatkan untuk keberkahan semua masyarakat Indonesia. Sementara itu, perayaan Imlek di Kota Cirebon berlangsung meriah dengan sejumlah kegiatan di antaranya pesta kembang api.
Layaknya tahun baru masehi, sambutan masyarakat Tionghoa terhadap Tahun Naga Air juga direpresentasikan melalui lontaran kembang api ke angkasa, khususnya di Klenteng Talang, Kota Cirebon. Setidaknya sekitar 30 lebih tembakan kembang api terlontar dan memancarkan bunga-bunga api yang mengundang decak kagum.
Budayawan Tionghoa Cirebon lainnya Jeremy Huang menyebut, perayaan kembang api merupakan representasi dari sejarah yang berkaitan dengan Imlek. Di sisi lain, kembang api yang berlangsung sejak pukul 00.00-00.30 WIB tersebut juga sebagai simbol kemeriahan dan kemegahan Imlek.
“Kembang api bersinergi dengan barongsay dan petasan di mana pada zaman Kerajaan Chou timbul suatu penyakit yang meresahkan masyarakat Cina kala itu. Untuk mengusirnya, masyarakat kemudian menyalakan kembang api, petasan, hingga barongsay yang erat dengan tetabuhan,” papar dia.
Ketua Majelis Agama Konghucu Indonesia Kota Cirebon Tedy Setiawan menyebut, kembang api tahun ini merupakan yang ketiga kalinya. “Diharapkan tahun ini berkah mendatangi semua masyarakat,” ujar dia.
()