Jabar juga berpotensi konflik agraria
A
A
A
Sindonews.com - Jawa Barat dinilai sebagai daerah yang berpotensi terjadi konflik agraria, sengketa ruang dan lingkungan hidup yang sangat tinggi.
Provinsi yang memiliki jumlah penduduk terbesar di Indonesia ini terancam mengalami konflik sosial akibat banyaknya potensi konflik agraria yang hingga kini belum terselesaikan.
Hal itu diungkapkan Solidaritas dan Persatuan Rakyat Jawa Barat yang berunjuk rasa menuntut pemulihan hak rakyat dan penyelesaian konflik agraria dan lingkungan hidup. Aksi ini itu diikuti puluhan organisasi masyarakat. Mereka menyatakan sikap dan berorasi di depan kantor pemerintah Provinsi Jabar, Gedung Sate, Bandung.
Juru bicara aksi dari LBH Bandung Samuel Situmorang menyatakan, sengketa agraria hampir terjadi di 26 kabupaten/kota di Jabar. Ancaman dari sengketa itu adalah tindak kekerasan, intimidasi, dan represivitas aparat negara yang bisa menimbulkan konflik sosial, kriminalisasi warga, hingga kejahatan kemanusiaan.
Contoh kasus yang mengemuka di Jabar di antaranya sengketa lahan antara petani penggarap dan perkebunan Kertasari, sengketa lahan di Perum Perhutani (KPH Sumedang, Indramayu, Karawang, Bogor, Bandung Utara), sengketa antara pengungsi Walatra dan perkebunan.
Kemudian, sengketa lahan warga Puncrut (Lembang), Babakan Siliwangi, warga Bangbayang, sengketa lahan karena pembangunan PLTSA, Karst Citatah, tambang pasir besi di selatan Jabar, kriminalisasi warga Gandoang Cileungsi Bogor, sengketa lahan PDAP Pangalengan, dan lain-lain.
"Fakta itu menunjukan bahwa rezim yang tengah berkuasa saat ini tidak berpihak kepada rakyat. Penguasa mulai dari pusat hingga provinsi dan kabupaten/kota lebih memihak pemodal dan pengusaha. Sementara sengketa agraria dan lingkungan hidup tidak terpulihkan," ungkap Samuel, di Bandung, Rabu (11/1/2012).
Dia menilai, tindakan pemerintah terhadap konflik agraria dan lingkungan hidup selama ini bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45, khususnya Pasal 33. "Pemerintah harus pihak kepada rakyatnya. Jangan sampai rakyat marah dan gulingkan pemerintahan," ujarnya.
Dalam pernyataan sikapnya disebutkan, tragedi kemanusiaan akibat konflik agraria dan lingkungan dalam kasus Mesuji Lampung dan Sumatera Selatan, Bima NTB, hanyalah segelintir kasus dari ribuan sengketa agraria di Indonesia.
Provinsi yang memiliki jumlah penduduk terbesar di Indonesia ini terancam mengalami konflik sosial akibat banyaknya potensi konflik agraria yang hingga kini belum terselesaikan.
Hal itu diungkapkan Solidaritas dan Persatuan Rakyat Jawa Barat yang berunjuk rasa menuntut pemulihan hak rakyat dan penyelesaian konflik agraria dan lingkungan hidup. Aksi ini itu diikuti puluhan organisasi masyarakat. Mereka menyatakan sikap dan berorasi di depan kantor pemerintah Provinsi Jabar, Gedung Sate, Bandung.
Juru bicara aksi dari LBH Bandung Samuel Situmorang menyatakan, sengketa agraria hampir terjadi di 26 kabupaten/kota di Jabar. Ancaman dari sengketa itu adalah tindak kekerasan, intimidasi, dan represivitas aparat negara yang bisa menimbulkan konflik sosial, kriminalisasi warga, hingga kejahatan kemanusiaan.
Contoh kasus yang mengemuka di Jabar di antaranya sengketa lahan antara petani penggarap dan perkebunan Kertasari, sengketa lahan di Perum Perhutani (KPH Sumedang, Indramayu, Karawang, Bogor, Bandung Utara), sengketa antara pengungsi Walatra dan perkebunan.
Kemudian, sengketa lahan warga Puncrut (Lembang), Babakan Siliwangi, warga Bangbayang, sengketa lahan karena pembangunan PLTSA, Karst Citatah, tambang pasir besi di selatan Jabar, kriminalisasi warga Gandoang Cileungsi Bogor, sengketa lahan PDAP Pangalengan, dan lain-lain.
"Fakta itu menunjukan bahwa rezim yang tengah berkuasa saat ini tidak berpihak kepada rakyat. Penguasa mulai dari pusat hingga provinsi dan kabupaten/kota lebih memihak pemodal dan pengusaha. Sementara sengketa agraria dan lingkungan hidup tidak terpulihkan," ungkap Samuel, di Bandung, Rabu (11/1/2012).
Dia menilai, tindakan pemerintah terhadap konflik agraria dan lingkungan hidup selama ini bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45, khususnya Pasal 33. "Pemerintah harus pihak kepada rakyatnya. Jangan sampai rakyat marah dan gulingkan pemerintahan," ujarnya.
Dalam pernyataan sikapnya disebutkan, tragedi kemanusiaan akibat konflik agraria dan lingkungan dalam kasus Mesuji Lampung dan Sumatera Selatan, Bima NTB, hanyalah segelintir kasus dari ribuan sengketa agraria di Indonesia.
()