KPAI: Penegak hukum tak punya nurani keadilan
A
A
A
Sindonews.com - Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Maria Ulfah mengatakan penegak hukum tidak punya nurani keadilan dan perspektif perlindungan anak.
Ini disampaikannya terkait adanya pemidanaan anak bocah berusia 14 tahun gara-gara menjambret tas berisi uang Rp1.000 di Denpasar, Bali. Menurutnya, kasus ini adalah masalah sepele yang jalan keluarnya bisa dilakukan dengan pendekatan lain.
"Banyak cara untuk mendidik anak selain menghadapkannya ke meja hijau. Meja hijau itu cara terakhir untuk kasus-kasus besar bukan kasus yang melibatkan anak menjadi korban," kata dia, Selasa (10/1/2012).
Dia meminta kepada penegak hukum untuk tidak melihat kasus, terlebih yang melibatkan anak di bawah umur hanya berdasarkan keterangan hitam di atas putih. "Saya kira ini menunjukkan jika aparat penegak hukum kita belum memiliki persfektif perlindungan anak," tegasnya.
Kata dia, penegak hukum juga harus melihat kenapa seorang anak bisa terlibat kasus pencurian. Dia meyakini jika seorang dimasukkan ke dalam jeruji besi akan membuat psikologisnya akan lebih hancur.
"Polisi punya kewenangan untuk memanggil orangtuanya dan orang yang dirugikan, mencuri uang Rp1.000 tidak ada bandingannya dibanding kerugian perubahan psikologis anak," ujarnya.
Tambahnya, di Bali saat ini ada tiga kasus yang sedang dihadapi anak di bawah umur. "Ada yang karena mencuri tiga bungkus dupa, ada yang karena mencuri kaos oblong dan yang ini," pungkasnya.
Kasus bocah yang masih duduk di Kelas I SMP swasta di Denpasar ini terjadi pada 13 Maret 2011 malam. Kala itu, DW bersama rekannya A yang saat ini masih diburu polisi, melintas dengan sepeda motor di Jalan Ahmad Yani, Denpasar.
Ketika melihat korban Ni Kadek Susilawati yang mengendarai sepeda motor, DW dan A beraksi menjambret tas korban. Korban berteriak jambret dan meminta pertolongan warga, sampai akhirnya warga menangkap DW yang terjatuh dari motor.
Kasus bocah kelahiran Bandung, Jawa Barat, ini terus bergulir dan hari ini bakal digelar sidang perdana di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar.
Ini disampaikannya terkait adanya pemidanaan anak bocah berusia 14 tahun gara-gara menjambret tas berisi uang Rp1.000 di Denpasar, Bali. Menurutnya, kasus ini adalah masalah sepele yang jalan keluarnya bisa dilakukan dengan pendekatan lain.
"Banyak cara untuk mendidik anak selain menghadapkannya ke meja hijau. Meja hijau itu cara terakhir untuk kasus-kasus besar bukan kasus yang melibatkan anak menjadi korban," kata dia, Selasa (10/1/2012).
Dia meminta kepada penegak hukum untuk tidak melihat kasus, terlebih yang melibatkan anak di bawah umur hanya berdasarkan keterangan hitam di atas putih. "Saya kira ini menunjukkan jika aparat penegak hukum kita belum memiliki persfektif perlindungan anak," tegasnya.
Kata dia, penegak hukum juga harus melihat kenapa seorang anak bisa terlibat kasus pencurian. Dia meyakini jika seorang dimasukkan ke dalam jeruji besi akan membuat psikologisnya akan lebih hancur.
"Polisi punya kewenangan untuk memanggil orangtuanya dan orang yang dirugikan, mencuri uang Rp1.000 tidak ada bandingannya dibanding kerugian perubahan psikologis anak," ujarnya.
Tambahnya, di Bali saat ini ada tiga kasus yang sedang dihadapi anak di bawah umur. "Ada yang karena mencuri tiga bungkus dupa, ada yang karena mencuri kaos oblong dan yang ini," pungkasnya.
Kasus bocah yang masih duduk di Kelas I SMP swasta di Denpasar ini terjadi pada 13 Maret 2011 malam. Kala itu, DW bersama rekannya A yang saat ini masih diburu polisi, melintas dengan sepeda motor di Jalan Ahmad Yani, Denpasar.
Ketika melihat korban Ni Kadek Susilawati yang mengendarai sepeda motor, DW dan A beraksi menjambret tas korban. Korban berteriak jambret dan meminta pertolongan warga, sampai akhirnya warga menangkap DW yang terjatuh dari motor.
Kasus bocah kelahiran Bandung, Jawa Barat, ini terus bergulir dan hari ini bakal digelar sidang perdana di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar.
()