Syahril, Alumnus Petrotekno Bintuni yang Sukses Bekerja di Industri Migas
A
A
A
BINTUNI - Pagi itu, udara masih terasa sejuk di area Pelabuhan Bintuni, Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat. Syahril Rafideso bersiap dengan ransel hitamnya untuk pulang ke kampung halaman di Pulau Babo, sebuah distrik yang juga bagian dari Kabupaten Teluk Bintuni.
Pagi itu perjalanan Syahril dari Kota Bintuni menuju kediaman orang tuanya di Babo ditempuh kurang lebih 1,5 jam. Kadang riak ombak laut ikut membuat perahu kayu yang ia tumpangi berguncang.
Perjalanan yang cukup menarik karena sajian pemandangan indah sangat memanjakan mata. Sisi Pelabuhan yang dikelilingi area hutan mangrove ini memang tergolong eksotis.
“Saya walau pun lahir di Warganusa, tapi orang tua saya akhirnya memilih tinggal di Babo setelah kami semua agak dewasa. Di Babo sendiri kami sudah dua kali pindah, tadinya tinggal dekat dermaga, sekarang lumayan ada rumah mes bapak yang cukup nyaman untuk kami semua tinggal,” ujarnya membuka percakapan.
Dari catatan yang ada, Babo merupakan sebuah distrik dengan luas 687.43 km persegi. Di pulau ini, setidaknya ada 2.500 Kepala Keluarga yang berdiam. Di sini, Islam pertama kali dibawa masuk oleh Sultan Tidore pada abad ke-18.
Selama perjalanan melintasi hutan bakau yang kadang ditingkahi udara cukup lembab, di mana sesekali juga terlihat buaya di pinggir hutan, Syahril banyak berkisah tentang perjalanan hidupnya saat bersekolah di Petrotekno Bintuni atau dikenal juga sebagai Pusat Pelatihan Teknik Industri dan Migas (P2TIM).
“Sekarang saya bisa sukses bekerja di industri migas Papua karena pernah menempuh pendidikan di Petrotekno, tentu saja ini adalah sebuah lompatan besar bagi anak muda Papua seperti kami sehingga generasi penerus setelah kami juga bisa memiliki masa depan yang cerah,” katanya sambil menerawang.
Umurnya belum lagi genap 30 tahun, tapi sepanjang usianya Syahril sudah menjalani berbagai pekerjaan serabutan demi memenuhi kebutuhan hidup, mulai dari penjaga toko atau kadang sebagai kasir di Hadi Supermarket Manokwari, menjual bermacam barang receh seperti sandal hingga menjadi nelayan penangkap kepiting, pemuda berperawakan 165 cm ini akhirnya mencoba peruntungan dengan berlabuh di Petrotekno Technical School Bintuni (P2TIM).
“Saya sangat ingin mengubah nasib hidup saya lebih baik lagi sehingga saya putuskan untuk masuk ke Petrotekno Technical School," kata Syahril mengulang masa-masa itu.
Terletak di Km 4 Teluk Bintuni, sekolah Petrotekno Technical School memang punya arti sangat penting bagi seorang Syahril, bapak satu anak ini pun mengungkapkan dengan getir namun penuh semangat.
“Selama tiga bulan, saya digembleng oleh tenaga-tenaga terlatih dari P2TIM dengan pelatihan yang nyata seperti layaknya di dalam industri migas, mulai dari teknik scaffolding, welder, rigging (lifting), belajar Bahasa Inggris, juga belajar matematika, semuanya membuat saya pintar dan jadi paham seperti apa industri migas," tambah Syahril.
Syahril sendiri termasuk dalam angkatan pertama Petrotekno Bintuni yang hingga kini tercatat telah meluluskan sekitar 400 orang lulusan terbaik. Boleh dibilang, Petrotekno Bintuni bukan lagi sekadar sekolah pemula untuk SDM industri migas di Papua, tapi juga menjadi pintu bagi para pemuda Papua dalam menemukan semangat bangkit dari keterpurukan ekonomi.
Dalam catatan yang ada, sekolah Petrotekno Bintuni mayoritas berisikan anak-anak Papua, 70 persen di antaranya bahkan merupakan putra asli Bintuni yaitu Subitu atau dikenal juga sebagai Suku Bintuni Bersatu.
“Selebihnya yang bersekolah di Petrotekno adalah orang asli Papua, suku Nusantara dan suku Papua tapi tinggal di luar Bintuni," beber
Sarwono Pratomo Satrio, Direktur Pusat Pelatihan Teknik Industri dan Migas Bintuni di Jakarta, baru-baru ini.
Para siswa yang rata-rata berusia antara lain 19 tahun hingga 35 tahun itu selama lebih dari 3 bulan memang 'digembleng' dengan pelatihan dan pendidikan penuh disiplin dari para tenaga ahli yang disiapkan secara khusus oleh Petrotekno.
Para siswa yang masuk di P2TIM Teluk Bintuni dan dioperasikan oleh Petrotekno selain mendapatkan pelatihan dan akomodasi secara cuma-cuma, seluruh biaya hidup dan keperluannya ditangggung juga.
Menariknya, para siswa ini pun bila lulus berhak atas 18 sertifikat berstandar internasional, seperti ECITB dan BNSP. Sebuah pilihan menarik di tengah lebatnya hutan nun jauh dari hingar bingar kota.
Pagi itu perjalanan Syahril dari Kota Bintuni menuju kediaman orang tuanya di Babo ditempuh kurang lebih 1,5 jam. Kadang riak ombak laut ikut membuat perahu kayu yang ia tumpangi berguncang.
Perjalanan yang cukup menarik karena sajian pemandangan indah sangat memanjakan mata. Sisi Pelabuhan yang dikelilingi area hutan mangrove ini memang tergolong eksotis.
“Saya walau pun lahir di Warganusa, tapi orang tua saya akhirnya memilih tinggal di Babo setelah kami semua agak dewasa. Di Babo sendiri kami sudah dua kali pindah, tadinya tinggal dekat dermaga, sekarang lumayan ada rumah mes bapak yang cukup nyaman untuk kami semua tinggal,” ujarnya membuka percakapan.
Dari catatan yang ada, Babo merupakan sebuah distrik dengan luas 687.43 km persegi. Di pulau ini, setidaknya ada 2.500 Kepala Keluarga yang berdiam. Di sini, Islam pertama kali dibawa masuk oleh Sultan Tidore pada abad ke-18.
Selama perjalanan melintasi hutan bakau yang kadang ditingkahi udara cukup lembab, di mana sesekali juga terlihat buaya di pinggir hutan, Syahril banyak berkisah tentang perjalanan hidupnya saat bersekolah di Petrotekno Bintuni atau dikenal juga sebagai Pusat Pelatihan Teknik Industri dan Migas (P2TIM).
“Sekarang saya bisa sukses bekerja di industri migas Papua karena pernah menempuh pendidikan di Petrotekno, tentu saja ini adalah sebuah lompatan besar bagi anak muda Papua seperti kami sehingga generasi penerus setelah kami juga bisa memiliki masa depan yang cerah,” katanya sambil menerawang.
Umurnya belum lagi genap 30 tahun, tapi sepanjang usianya Syahril sudah menjalani berbagai pekerjaan serabutan demi memenuhi kebutuhan hidup, mulai dari penjaga toko atau kadang sebagai kasir di Hadi Supermarket Manokwari, menjual bermacam barang receh seperti sandal hingga menjadi nelayan penangkap kepiting, pemuda berperawakan 165 cm ini akhirnya mencoba peruntungan dengan berlabuh di Petrotekno Technical School Bintuni (P2TIM).
“Saya sangat ingin mengubah nasib hidup saya lebih baik lagi sehingga saya putuskan untuk masuk ke Petrotekno Technical School," kata Syahril mengulang masa-masa itu.
Terletak di Km 4 Teluk Bintuni, sekolah Petrotekno Technical School memang punya arti sangat penting bagi seorang Syahril, bapak satu anak ini pun mengungkapkan dengan getir namun penuh semangat.
“Selama tiga bulan, saya digembleng oleh tenaga-tenaga terlatih dari P2TIM dengan pelatihan yang nyata seperti layaknya di dalam industri migas, mulai dari teknik scaffolding, welder, rigging (lifting), belajar Bahasa Inggris, juga belajar matematika, semuanya membuat saya pintar dan jadi paham seperti apa industri migas," tambah Syahril.
Syahril sendiri termasuk dalam angkatan pertama Petrotekno Bintuni yang hingga kini tercatat telah meluluskan sekitar 400 orang lulusan terbaik. Boleh dibilang, Petrotekno Bintuni bukan lagi sekadar sekolah pemula untuk SDM industri migas di Papua, tapi juga menjadi pintu bagi para pemuda Papua dalam menemukan semangat bangkit dari keterpurukan ekonomi.
Dalam catatan yang ada, sekolah Petrotekno Bintuni mayoritas berisikan anak-anak Papua, 70 persen di antaranya bahkan merupakan putra asli Bintuni yaitu Subitu atau dikenal juga sebagai Suku Bintuni Bersatu.
“Selebihnya yang bersekolah di Petrotekno adalah orang asli Papua, suku Nusantara dan suku Papua tapi tinggal di luar Bintuni," beber
Sarwono Pratomo Satrio, Direktur Pusat Pelatihan Teknik Industri dan Migas Bintuni di Jakarta, baru-baru ini.
Para siswa yang rata-rata berusia antara lain 19 tahun hingga 35 tahun itu selama lebih dari 3 bulan memang 'digembleng' dengan pelatihan dan pendidikan penuh disiplin dari para tenaga ahli yang disiapkan secara khusus oleh Petrotekno.
Para siswa yang masuk di P2TIM Teluk Bintuni dan dioperasikan oleh Petrotekno selain mendapatkan pelatihan dan akomodasi secara cuma-cuma, seluruh biaya hidup dan keperluannya ditangggung juga.
Menariknya, para siswa ini pun bila lulus berhak atas 18 sertifikat berstandar internasional, seperti ECITB dan BNSP. Sebuah pilihan menarik di tengah lebatnya hutan nun jauh dari hingar bingar kota.
(nag)