Potret Pendidikan di Padangsidimpuan dari Menulis di Lantai Hingga Guru yang Tak Digaji
A
A
A
PADANGSIDIMPUAN - Kemegahan dunia pendidikan di Kota Padangsidimpuan, Sumatera Utara (Sumut), belum dirasakan puluhan siswa di Madrasyah Diniyyah Awaliyyah, Desa Simatohir, Dusun Batu Bola, Kecamatan Angkola Julu. Alasannya, mereka masih menulis di lantai.
Siang itu, puluhan siswa terlihat antusis berjalan menuju sekolah. Langkah kecil yang memijak jalan yang masih rusak, namun tidak menghilangkan semangat mereka untuk menuntut ilmu. Seragam putih hijau melekat di badan siswa. Mereka belajar di salah satu bangunan yang dihibahkan oleh salah seorang warga di kampung itu.
Canda dan tawa langsung terlihat dari wajah para siswa itu ketika penulis mendatangi ruangan kelas. Di ruangan hanya ada satu lemari yang sudah usang dengan berisi satu buku nyaris dimakan rayap. Sebenarnya, tidak sulit untuk datang ke sekolah itu, karena hanya berjarak 30 menit dari pusat Kota Padangsidimpuan.
Beberapa ratus meter dari sekolah itu, terdapat Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah yang sampai saat ini masih dipergunakan oleh pemerintah. Dipastikan, setiap hari, para siswa yang melintas menuju dan pulang ke sekolah akan menghirup aroma sampah.
Safriani, satu dari tiga orang guru yang mengajar terlihat sibuk untuk memberikan materi pelajaran kepada para anak didiknya.
Meski tidak mendapatkan imbalan (gaji), namun perempuan satu orang anak itu tetap antusias dan optimistis. Baginya, pengabdian untuk dunia pendidikan yang terpenting dalam hidupnya. Biasanya, dia datang ke sekolah setelah urusan rumahnya selesai.
Para siswa di sekolah tersebut akan mulai proses belajar mengajar pada pukul 15.00 WIB. Seakan sudah menjadi tradisi bagi para guru yang bergantian untuk memberikan pelajaran kepada anak didik mereka.
Maklum, para guru biasanya harus melaksanakan tugas wajib mereka sebelum datang ke sekolah."Mengajar disini tanpa mengesampingkan pekerjaan rumah, karena saya sudah memiliki keluarga," ujarnya kepada SINDOnews.
Pekerjaan tersebut sudah dimulainya sejak beberapa bulan yang lalu. Dia tidak pernah mengharapkan imbalan dari para siswa."Yang terpenting anak-anak di dusun ini cerdas, itu yang utama," timpalnya. Dia berharap agar ada dermawan yang mau membantu pengadaan mobiler, sehingga proses belajar mengajar biar lebih nyaman.
Pernyataan yang sama juga datang dari Malikuddin (51), tokoh masyarakat setempat. Dia menceritakan, sekolah tersebut pernah terpaksa ditutup karena minimnya siswa."Tahun 2008 ditutup dan 2019 dibuka lagi. Alhamdulillah, siswanya sudah puluham orang," tuturnya. Dia mengaku, dirinya juga menjadi salah seorang tenaga pengajar, karena saat ini masih kekurangan tenaga pendidik.
"Kami disini bergantian, kalau guru yang lain belum hadir, maka akan digantikan oleh guru yang bisa hadir," katanya. Diceritakannya, sekolah tersebut didirikan atas keinginan dan swadaya masyarakat. Warga di dusun ini mengingkan agar anak anak mereka mendapatkan pendidikan yang layak.
Siang itu, puluhan siswa terlihat antusis berjalan menuju sekolah. Langkah kecil yang memijak jalan yang masih rusak, namun tidak menghilangkan semangat mereka untuk menuntut ilmu. Seragam putih hijau melekat di badan siswa. Mereka belajar di salah satu bangunan yang dihibahkan oleh salah seorang warga di kampung itu.
Canda dan tawa langsung terlihat dari wajah para siswa itu ketika penulis mendatangi ruangan kelas. Di ruangan hanya ada satu lemari yang sudah usang dengan berisi satu buku nyaris dimakan rayap. Sebenarnya, tidak sulit untuk datang ke sekolah itu, karena hanya berjarak 30 menit dari pusat Kota Padangsidimpuan.
Beberapa ratus meter dari sekolah itu, terdapat Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah yang sampai saat ini masih dipergunakan oleh pemerintah. Dipastikan, setiap hari, para siswa yang melintas menuju dan pulang ke sekolah akan menghirup aroma sampah.
Safriani, satu dari tiga orang guru yang mengajar terlihat sibuk untuk memberikan materi pelajaran kepada para anak didiknya.
Meski tidak mendapatkan imbalan (gaji), namun perempuan satu orang anak itu tetap antusias dan optimistis. Baginya, pengabdian untuk dunia pendidikan yang terpenting dalam hidupnya. Biasanya, dia datang ke sekolah setelah urusan rumahnya selesai.
Para siswa di sekolah tersebut akan mulai proses belajar mengajar pada pukul 15.00 WIB. Seakan sudah menjadi tradisi bagi para guru yang bergantian untuk memberikan pelajaran kepada anak didik mereka.
Maklum, para guru biasanya harus melaksanakan tugas wajib mereka sebelum datang ke sekolah."Mengajar disini tanpa mengesampingkan pekerjaan rumah, karena saya sudah memiliki keluarga," ujarnya kepada SINDOnews.
Pekerjaan tersebut sudah dimulainya sejak beberapa bulan yang lalu. Dia tidak pernah mengharapkan imbalan dari para siswa."Yang terpenting anak-anak di dusun ini cerdas, itu yang utama," timpalnya. Dia berharap agar ada dermawan yang mau membantu pengadaan mobiler, sehingga proses belajar mengajar biar lebih nyaman.
Pernyataan yang sama juga datang dari Malikuddin (51), tokoh masyarakat setempat. Dia menceritakan, sekolah tersebut pernah terpaksa ditutup karena minimnya siswa."Tahun 2008 ditutup dan 2019 dibuka lagi. Alhamdulillah, siswanya sudah puluham orang," tuturnya. Dia mengaku, dirinya juga menjadi salah seorang tenaga pengajar, karena saat ini masih kekurangan tenaga pendidik.
"Kami disini bergantian, kalau guru yang lain belum hadir, maka akan digantikan oleh guru yang bisa hadir," katanya. Diceritakannya, sekolah tersebut didirikan atas keinginan dan swadaya masyarakat. Warga di dusun ini mengingkan agar anak anak mereka mendapatkan pendidikan yang layak.
(sms)