Sungai Arut, Kebanggaan Kotawaringin Barat yang Kini Tercemar
A
A
A
Dulu, kehidupan masyarakat Kotawaringin Barat (Kobar), Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) tak lepas dari keberadaan Sungai Arut. Sungai Arut menjadi jalur transportasi dan penopang ekonomi hingga aktivitas masyarakat.
Bantaran Sungai Arut merupakan saksi sejarah berdirinya Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar). Sayangnya, sungai yang mengalir di Kabupaten berjuluk 'Bumi Marunting Batu Aji' ini tak elok lagi akibat pencemaran.
"Sebelum tahun 2000-an, masyarakat Kobar menggantungkan hidup dari Sungai Arut. Mulai dari jalur transportasi, mencari ikan, MCK hingga arena bermain anak-anak," tutur warga Kelurahan Raja Seberang, Koko Sulistyo di area Waterfront City di bantaran Sungai Arut, Selasa (30/7/2019).
Koko menceritakan, dahulu air Sungai Arut tidak sekeruh sekarang. Saking jernihnya sungai terbesar di Kobar itu, ikan-ikan terlihat jelas di dasar sungai.
Hampir setiap hari dulu sering dijumpai anak-anak bermain di sungai, warga tidak segan memanfaatkan air sungai untuk minum dan berbagai keperluan rumah tangga.
"Kalau sekarang, jangankan untuk air minum, untuk mandi saja bisa membuat kulit gatal. Cari ikan juga susah," kata pria yang sudah menetap di Pangkalan Bun sejak umur 10 tahun.
Dia menceritakan, menguningnya Sungai Arut terjadi sejak medio 1990-an. Pada tahun yang sama pula, penambangan emas secara ilegal mulai marak. Puncaknya, terjadi pada 2000. Parahnya pencemaran sungai, mengubah air yang sebening kaca menjadi serupa susu putih.
"Tinggal nambah gula saja, jadi deh susu manis," canda Koko.
Terlepas dari pencemaran, pendangkalan di seluruh Daerah Aliran Sungai (DAS) Arut menjadikan pamor transportasi air di sungai itu mulai surut. Padahal, sejak 1980-an Sungai Arut memiliki arti penting di sektor transportasi.
"Dulu setiap hari banyak kapal-kapal besar berkapasitas ratusan ton melintas di Sungai Arut, sekarang mana ada. Paling hanya kelotok atau speedboat. Itu saja bisa dihitung dengan jari," bebernya.
Selain mengalami pendangkalan, DAS Arut juga mengalami penyurutan. Dia mensinyalir, berkurangnya aliran sungai arut terjadi karena banyaknya sodetan pada sungai. Cabang sungai buatan itu sering digunakan untuk kepentingan pengairan kebun atau pertanian.
"Kalau banjir, airnya bisa meluap hingga Jalan Antasari. Terakhir terjadi pada 2005. Setelah itu tidak pernah terjadi lagi," tuturnya.
Kembali mengenang masa lalu, pria berusia 42 tahun ini menuturkan, sebagian besar penduduk Kobar, khususnya warga Kelurahan Mendawai, Raja dan Baru, tinggal di sekitar bantaran Sungai Arut.
Ia masih mengingat jelas banyak hal menarik di sepanjang Sungai Arut, terutama sekitar tahun 1980-an. Kala itu, sore hari adalah waktu yang sangat ditunggu anak-anak bantaran untuk mandi di sungai.
Mereka menangkap ikan dan menciduk anak udang menggunakan tudung saji. Sesekali saat itu masih terlihat beberapa jenis ikan, ikan haruan, patin, pipih, biawan, dan pepuyu berseliweran.
Jika ada kapal besar bersandar di situ, anak-anak akan menjadikanya sarana untuk terjun bebas atau bersalto dari atas kapal. Keberhasilan bersalto menjadi gengsi tersendiri baginya kala itu.
Lalu bagaimana dengan kondisi Sungai Arut saat ini? Ia memandang sungai penuh sejarah itu, sedih dan miris. Air yang dulunya jernih berubah keruh kecoklatan, DAS-nya pun mengalami pendangkalan. Bahkan pencemaran akibat penambangan ilegal menjadikan Sungai Arut airnya tidak lagi layak dikonsumsi.
Penangkapan ikan yang tidak bijak memperparah kondisi Sungai Arut. Banyak yang menggunakan racun dan setrum. Belum lagi kebiasaan buruk membuang sampah ke sungai. Tidak ada kata terlambat untuk mengembalikan kondisi sungai ini.
Untuk diketahui, Sungai Arut memiliki panjang 250 km dengan kedalaman rata-rata 4 meter dan lebar rata-rata 100 meter. Panjang Sungai Arut dapat digunakan untuk alur pelayaran sepanjang 190 km. Kawasan di sekitar DAS Arut mudah tergenang, berawa-rawa, dan merupakan daerah endapan serta bersifat organik dan asam.
Bantaran Sungai Arut merupakan saksi sejarah berdirinya Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar). Sayangnya, sungai yang mengalir di Kabupaten berjuluk 'Bumi Marunting Batu Aji' ini tak elok lagi akibat pencemaran.
"Sebelum tahun 2000-an, masyarakat Kobar menggantungkan hidup dari Sungai Arut. Mulai dari jalur transportasi, mencari ikan, MCK hingga arena bermain anak-anak," tutur warga Kelurahan Raja Seberang, Koko Sulistyo di area Waterfront City di bantaran Sungai Arut, Selasa (30/7/2019).
Koko menceritakan, dahulu air Sungai Arut tidak sekeruh sekarang. Saking jernihnya sungai terbesar di Kobar itu, ikan-ikan terlihat jelas di dasar sungai.
Hampir setiap hari dulu sering dijumpai anak-anak bermain di sungai, warga tidak segan memanfaatkan air sungai untuk minum dan berbagai keperluan rumah tangga.
"Kalau sekarang, jangankan untuk air minum, untuk mandi saja bisa membuat kulit gatal. Cari ikan juga susah," kata pria yang sudah menetap di Pangkalan Bun sejak umur 10 tahun.
Dia menceritakan, menguningnya Sungai Arut terjadi sejak medio 1990-an. Pada tahun yang sama pula, penambangan emas secara ilegal mulai marak. Puncaknya, terjadi pada 2000. Parahnya pencemaran sungai, mengubah air yang sebening kaca menjadi serupa susu putih.
"Tinggal nambah gula saja, jadi deh susu manis," canda Koko.
Terlepas dari pencemaran, pendangkalan di seluruh Daerah Aliran Sungai (DAS) Arut menjadikan pamor transportasi air di sungai itu mulai surut. Padahal, sejak 1980-an Sungai Arut memiliki arti penting di sektor transportasi.
"Dulu setiap hari banyak kapal-kapal besar berkapasitas ratusan ton melintas di Sungai Arut, sekarang mana ada. Paling hanya kelotok atau speedboat. Itu saja bisa dihitung dengan jari," bebernya.
Selain mengalami pendangkalan, DAS Arut juga mengalami penyurutan. Dia mensinyalir, berkurangnya aliran sungai arut terjadi karena banyaknya sodetan pada sungai. Cabang sungai buatan itu sering digunakan untuk kepentingan pengairan kebun atau pertanian.
"Kalau banjir, airnya bisa meluap hingga Jalan Antasari. Terakhir terjadi pada 2005. Setelah itu tidak pernah terjadi lagi," tuturnya.
Kembali mengenang masa lalu, pria berusia 42 tahun ini menuturkan, sebagian besar penduduk Kobar, khususnya warga Kelurahan Mendawai, Raja dan Baru, tinggal di sekitar bantaran Sungai Arut.
Ia masih mengingat jelas banyak hal menarik di sepanjang Sungai Arut, terutama sekitar tahun 1980-an. Kala itu, sore hari adalah waktu yang sangat ditunggu anak-anak bantaran untuk mandi di sungai.
Mereka menangkap ikan dan menciduk anak udang menggunakan tudung saji. Sesekali saat itu masih terlihat beberapa jenis ikan, ikan haruan, patin, pipih, biawan, dan pepuyu berseliweran.
Jika ada kapal besar bersandar di situ, anak-anak akan menjadikanya sarana untuk terjun bebas atau bersalto dari atas kapal. Keberhasilan bersalto menjadi gengsi tersendiri baginya kala itu.
Lalu bagaimana dengan kondisi Sungai Arut saat ini? Ia memandang sungai penuh sejarah itu, sedih dan miris. Air yang dulunya jernih berubah keruh kecoklatan, DAS-nya pun mengalami pendangkalan. Bahkan pencemaran akibat penambangan ilegal menjadikan Sungai Arut airnya tidak lagi layak dikonsumsi.
Penangkapan ikan yang tidak bijak memperparah kondisi Sungai Arut. Banyak yang menggunakan racun dan setrum. Belum lagi kebiasaan buruk membuang sampah ke sungai. Tidak ada kata terlambat untuk mengembalikan kondisi sungai ini.
Untuk diketahui, Sungai Arut memiliki panjang 250 km dengan kedalaman rata-rata 4 meter dan lebar rata-rata 100 meter. Panjang Sungai Arut dapat digunakan untuk alur pelayaran sepanjang 190 km. Kawasan di sekitar DAS Arut mudah tergenang, berawa-rawa, dan merupakan daerah endapan serta bersifat organik dan asam.
(rhs)