Yakin Pemberhentiannya karena Bercadar, Dosen Ini Lakukan Perlawanan
A
A
A
BUKITTINGGI - Keputusan Kementerian Agama (Kemenag) RI memecat Hayati Syafri, dosen Bahasa Inggris di Institust Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi, Sumatera Barat berbuntut panjang.
Pasalnya, Hayati melakukan perlawanan. Dosen yang kesehariannya menggunakan cadar itu menyebutkan alasan pemecatan karena dirinya dinyatakan indisipliner karena tidak masuk kerja selama 67 hari tidak masuk akal.
Hayati lebih meyakini, jika pemecatan dirinya, karena cadar yang digunakannya saat mengajar di kampus.
Sebab, lanjut Hayati, pada Mei 2018, ia pernah diminta melepaskan cadar oleh pejabat inspektorat jenderal kementerian agama di kampus IAIN Bukittinggi. Saat itu pejabat tersebut mengatakan, jika tetap bercadar maka ia akan diberi sanksi dengan alasan indisipliner ketidakhadiran selama 67 hari kerja.
"Ini merupakan sesuatu yang membuat saya terkejut, sebenarnya saya mengasumsikan ini adalah pelarian dari kasus cadar yang saya hadapi sebelumnya. Saya yakin seperti itu karena banyak indikator yang menguatkan, misalnya, kalau memang diberhentikan karena ketidakhadiran karena melanjutkan kuliah S3, mengabdi pada masyarakat, penelitian, menulis dan lain-lain, tapi ternyata teman-teman saya yang melakukan hal yang sama tidak diberhentikan, bahkan yang ketidakhadirannya lebih dari saya dan tidak lanjut kuliah s3 mereka tidak dikasuskan tidak diberhentikan," bebera Hayati.
Kini hayati tidak menerima keputusan pemberhentiannya, melalui tim kuasa hukumnya dari Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia Sumatera Barat akan mengajukan banding atas keputusan pemberhentiannya. "Jika banding ditolak, Saya akan menggugat hingga ke Pengadilan Tata Usaha Negara di Jakarta," sebutnya.
Surat Keputusan pemberhentian oleh Kementerian Agama diterima hayati pada 20 Februari 2019. Dalam surat tersebut ditegaskan bahwa Hayati melanggar disiplin karena melanggar ketentuan Pasal 3 angka 11 dan angka 17 peraturan pemerintah nomor 53 tahun 2010.
Sebelumnya, kasus Hayati mencuri perhatian publik karena dinonaktifkan dari semua kegiatan akademik di kampusnya. Semua akses fungsional akademik Hayati ditutup pihak kampus, karena Hayati tetap bersikeras bercadar di lingkungan kampus.
Saat itu pihak kampus menyebut cara berpakaian hayati tidak masuk dalam kategori pakaian resmi di kampus sesuai dengan yang telah disepakati civitas akademik.
Pasalnya, Hayati melakukan perlawanan. Dosen yang kesehariannya menggunakan cadar itu menyebutkan alasan pemecatan karena dirinya dinyatakan indisipliner karena tidak masuk kerja selama 67 hari tidak masuk akal.
Hayati lebih meyakini, jika pemecatan dirinya, karena cadar yang digunakannya saat mengajar di kampus.
Sebab, lanjut Hayati, pada Mei 2018, ia pernah diminta melepaskan cadar oleh pejabat inspektorat jenderal kementerian agama di kampus IAIN Bukittinggi. Saat itu pejabat tersebut mengatakan, jika tetap bercadar maka ia akan diberi sanksi dengan alasan indisipliner ketidakhadiran selama 67 hari kerja.
"Ini merupakan sesuatu yang membuat saya terkejut, sebenarnya saya mengasumsikan ini adalah pelarian dari kasus cadar yang saya hadapi sebelumnya. Saya yakin seperti itu karena banyak indikator yang menguatkan, misalnya, kalau memang diberhentikan karena ketidakhadiran karena melanjutkan kuliah S3, mengabdi pada masyarakat, penelitian, menulis dan lain-lain, tapi ternyata teman-teman saya yang melakukan hal yang sama tidak diberhentikan, bahkan yang ketidakhadirannya lebih dari saya dan tidak lanjut kuliah s3 mereka tidak dikasuskan tidak diberhentikan," bebera Hayati.
Kini hayati tidak menerima keputusan pemberhentiannya, melalui tim kuasa hukumnya dari Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia Sumatera Barat akan mengajukan banding atas keputusan pemberhentiannya. "Jika banding ditolak, Saya akan menggugat hingga ke Pengadilan Tata Usaha Negara di Jakarta," sebutnya.
Surat Keputusan pemberhentian oleh Kementerian Agama diterima hayati pada 20 Februari 2019. Dalam surat tersebut ditegaskan bahwa Hayati melanggar disiplin karena melanggar ketentuan Pasal 3 angka 11 dan angka 17 peraturan pemerintah nomor 53 tahun 2010.
Sebelumnya, kasus Hayati mencuri perhatian publik karena dinonaktifkan dari semua kegiatan akademik di kampusnya. Semua akses fungsional akademik Hayati ditutup pihak kampus, karena Hayati tetap bersikeras bercadar di lingkungan kampus.
Saat itu pihak kampus menyebut cara berpakaian hayati tidak masuk dalam kategori pakaian resmi di kampus sesuai dengan yang telah disepakati civitas akademik.
(nag)