Cagar Budaya: Rumah Pejuang PETA Soeprijadi Ditawarkan untuk Dijual
A
A
A
BLITAR - Rumah cagar budaya pejuang Pembela Tanah Air (PETA) Soeprijadi di Kota Blitar, Jawa Timur, ditawarkan untuk dijual. Bagunan rumah peninggalan orang tua pahlawan nasional beserta tanah seluas 856 meter persegi itu telah ditawarkan secara terbuka oleh adik Soeprijadi, bernama Suroto (80).
"Iya dijual, " tutur Suroto (80) adik kandung Soeprijadi kepada Sindonews.com Kamis (14/2/2019). Rumah yang berada di pinggir Jalan Syodanco Soeprijadi No 42, Kota Blitar, masih terlihat orisinil.
Konstruksi tempat tinggal yang juga berstatus cagar budaya itu masih asli. Terutama bangunan induknya, tidak banyak berubah. Kalaupun ada renovasi, hanya bersifat ringan.
Saat masuk ruang tamu, terlihat tiga kamar berukuran besar. Daun pintunya berwarna kuning mentah dengan model pegangan (pintu) kuningan. Pintu khas rumah para priyayi Jawa. Tiga kamar lain terlihat di bangunan belakang.
"Total kamar di rumah ini ada enam kamar. Yang belakang dulu tempat untuk pembantu," terang Soeroto.
Sebagian besar perabot rumah, yakni mulai kursi, meja, bufet, dan lampu gantung termasuk kategori barang antik. Semuanya terawat dengan baik. Selain foto keluarga hitam putih, pada dinding ruangan terpajang lukisan Pangeran Diponegoro berukuran besar. Ada juga foto dan lukisan Soeprijadi.
"Iya ini foto (Soeprijadi) yang banyak beredar itu, "kata Soeroto menegaskan.
Tempat tinggal itu merupakan peninggalan kolonial Belanda. Menurut Soeroto, rumah itu dibeli mendiang ayahnya, yakni Darmadi pada 1933 dari tangan Mayor Hadiwijoyo.
Darmadi yang juga ayah Soeprijadi merupakan Bupati Blitar ketujuh (periode 1945-1947). Darmadi juga pernah menjabat Kepala Kejaksaan Negeri Kediri.
Di rumah itu Soeroto mengaku hidup sendiri. Dia mengatakan tidak berumah tangga. Setelah merantau ke Jakarta dan Makassar, lelaki yang berlatar belakang montir itu mengatakan kembali menempati rumah orang tuanya pada 2008.
Kenapa dijual?. Soeroto yang merupakan anak kedua dari 10 bersaudara tidak bersedia menjelaskan secara terbuka. Dia hanya mengatakan umurnya sudah lanjut dan tidak kuat lagi merawat. "Umur saya sudah lanjut," katanya sembari tertawa.
Dalam penjualan ini menurut dia ada 10 ahli waris yang berhak menerima. Semua terdiri dari anak dan cucu Darmadi. Untuk seluruh urusan jual beli dan harga, Soeroto mengaku menyerahkan sepenuhnya kepada keponakannya, yakni Sri Astuti pegawai Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Blitar.
"Saya sudah tua. Terima bersih saja. Semua urusan (jual beli) saya serahkan kepada keponakan," kata Soeroto yang tidak bersedia menyebutkan harga jual. (Baca juga; Istana Gebang, Rumah Masa Kecil Bung Karno di Blitar yang Penuh Kenangan )
Informasi yang dihimpun Sindonews, harga tanah per satu meternya ditawarkan Rp9 juta. Dalam kesempatan itu Soeroto juga sempat menyinggung soal keberadaan Soeprijadi.
Menurut dia, keluarga meyakini kakaknya telah meninggal dunia. Setelah pemberontakan PETA pada 14 Februari 1945 yang gagal, Soeprijadi telah tertangkap dan ikut dieksekusi. "Kalau keluarga meyakini Soeprijadi sudah meninggal dunia," paparnya.
"Iya dijual, " tutur Suroto (80) adik kandung Soeprijadi kepada Sindonews.com Kamis (14/2/2019). Rumah yang berada di pinggir Jalan Syodanco Soeprijadi No 42, Kota Blitar, masih terlihat orisinil.
Konstruksi tempat tinggal yang juga berstatus cagar budaya itu masih asli. Terutama bangunan induknya, tidak banyak berubah. Kalaupun ada renovasi, hanya bersifat ringan.
Saat masuk ruang tamu, terlihat tiga kamar berukuran besar. Daun pintunya berwarna kuning mentah dengan model pegangan (pintu) kuningan. Pintu khas rumah para priyayi Jawa. Tiga kamar lain terlihat di bangunan belakang.
"Total kamar di rumah ini ada enam kamar. Yang belakang dulu tempat untuk pembantu," terang Soeroto.
Sebagian besar perabot rumah, yakni mulai kursi, meja, bufet, dan lampu gantung termasuk kategori barang antik. Semuanya terawat dengan baik. Selain foto keluarga hitam putih, pada dinding ruangan terpajang lukisan Pangeran Diponegoro berukuran besar. Ada juga foto dan lukisan Soeprijadi.
"Iya ini foto (Soeprijadi) yang banyak beredar itu, "kata Soeroto menegaskan.
Tempat tinggal itu merupakan peninggalan kolonial Belanda. Menurut Soeroto, rumah itu dibeli mendiang ayahnya, yakni Darmadi pada 1933 dari tangan Mayor Hadiwijoyo.
Darmadi yang juga ayah Soeprijadi merupakan Bupati Blitar ketujuh (periode 1945-1947). Darmadi juga pernah menjabat Kepala Kejaksaan Negeri Kediri.
Di rumah itu Soeroto mengaku hidup sendiri. Dia mengatakan tidak berumah tangga. Setelah merantau ke Jakarta dan Makassar, lelaki yang berlatar belakang montir itu mengatakan kembali menempati rumah orang tuanya pada 2008.
Kenapa dijual?. Soeroto yang merupakan anak kedua dari 10 bersaudara tidak bersedia menjelaskan secara terbuka. Dia hanya mengatakan umurnya sudah lanjut dan tidak kuat lagi merawat. "Umur saya sudah lanjut," katanya sembari tertawa.
Dalam penjualan ini menurut dia ada 10 ahli waris yang berhak menerima. Semua terdiri dari anak dan cucu Darmadi. Untuk seluruh urusan jual beli dan harga, Soeroto mengaku menyerahkan sepenuhnya kepada keponakannya, yakni Sri Astuti pegawai Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Blitar.
"Saya sudah tua. Terima bersih saja. Semua urusan (jual beli) saya serahkan kepada keponakan," kata Soeroto yang tidak bersedia menyebutkan harga jual. (Baca juga; Istana Gebang, Rumah Masa Kecil Bung Karno di Blitar yang Penuh Kenangan )
Informasi yang dihimpun Sindonews, harga tanah per satu meternya ditawarkan Rp9 juta. Dalam kesempatan itu Soeroto juga sempat menyinggung soal keberadaan Soeprijadi.
Menurut dia, keluarga meyakini kakaknya telah meninggal dunia. Setelah pemberontakan PETA pada 14 Februari 1945 yang gagal, Soeprijadi telah tertangkap dan ikut dieksekusi. "Kalau keluarga meyakini Soeprijadi sudah meninggal dunia," paparnya.
(wib)