Pemutihan Utang Korban Bencana Tak Dapat Dilakukan, OJK Tuai Kritik
A
A
A
JAKARTA - Pernyataan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sulawesi Tengah yang tidak dapat melakukan pemutihan utang korban bencana Palu, Sigi, Donggala, menuai kritikan. Selain terlampau formalistis, pernyataan tersebut menunjukkan minimnya empati dan keberpihakan kepada korban bencana.
“Bukannya mendorong percepatan pemulihan, malah pernyataan OJK ini dapat berdampak pada rasa keadilan masyarakat korban bencana lebih terluka,” kata Anggota DPR Fraksi Nasdem, Ahmad HM Ali melalui keterangan persnya, Jumat (14/11/2018).
Dalam pandangan pria yang akrab dipanggil Mat Sun ini, ada salah kaprah mendasar dalam pernyataan OJK. Yang paling kentara pendekatan OJK yang terlalu kaku pada formalitas sehingga terkesan terlepas dari konteks dengan menyamakan antara situasi normal dengan kondisi force majeure.
“Bencana memang baru saja berlalu, tetapi saat ini korban bencana belum sepenuhnya pulih. Biarkan masyarakat korban bencana pulih terlebih dahulu, baru cara normal bisa diberlakukan,” ujar Politisi Nasdem Sulawesi Tengah ini.
Karena terkesan lepas dari konteks, pernyataan itu juga mencerminkan kebijakan OJK tidak utuh, menyeluruh dan terukur dalam melihat persoalan. Pertama, secara sosial politik, pernyataan OJK tersebut bukannya menenangkan, tetapi menyulut situasi makin tidak stabil. “Padahal stabilitas sosial adalah situasi perlu untuk mempercepat upaya pemulihan,” lanjutnya.
Di sisi lain, secara ekonomi, situasi bencana dan pascabencana umumnya diikuti dengan inflasi yang tinggi. Kondisi tersebut sudah cukup menyulitkan, yang jika ditambah dengan tunggakan kredit akan menjadi beban yang lebih memberatkan. “Daya beli masyarakat terpukul yang berakibat ekonomi menjadi sulit berdenyut,” tutur Ahmad Ali mengingatkan.
Ahmad Ali melanjutkan, tuntutan korban bencana untuk pemutihan utang tidak saja merupakan tuntutan yang wajar, tetapi juga sangat mungkin untuk dilakukan. “Secara hukum, perjanjian atau perikatan kontrak dapat dibatalkan, jika unsur subjektifnya terpenuhi. Dalam pandangan saya, dalam kasus masyarakat korban bencana sebagai debitur, unsur subjektifnya telah terpenuhi karena debitur kehilangan kemampuan untuk memenuhi kewajiban akad kredi, bukan karena sengaja, tetapi karena bencana,” terangnya.
Ahmad Ali berkeyakinan, atas dasar itu pula Kementerian Keuangan berpandangan penghapusan utang kredit masyarakat korban bencana gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah dapat dilakukan. “Jadi, secara pribadi saya menilai pernyataan OJK tersebut adalah pernyataan yang keblinger, menyakitkan dan tidak mendorong percepatan pemulihan sama sekali,” tegasnya.
“Bukannya mendorong percepatan pemulihan, malah pernyataan OJK ini dapat berdampak pada rasa keadilan masyarakat korban bencana lebih terluka,” kata Anggota DPR Fraksi Nasdem, Ahmad HM Ali melalui keterangan persnya, Jumat (14/11/2018).
Dalam pandangan pria yang akrab dipanggil Mat Sun ini, ada salah kaprah mendasar dalam pernyataan OJK. Yang paling kentara pendekatan OJK yang terlalu kaku pada formalitas sehingga terkesan terlepas dari konteks dengan menyamakan antara situasi normal dengan kondisi force majeure.
“Bencana memang baru saja berlalu, tetapi saat ini korban bencana belum sepenuhnya pulih. Biarkan masyarakat korban bencana pulih terlebih dahulu, baru cara normal bisa diberlakukan,” ujar Politisi Nasdem Sulawesi Tengah ini.
Karena terkesan lepas dari konteks, pernyataan itu juga mencerminkan kebijakan OJK tidak utuh, menyeluruh dan terukur dalam melihat persoalan. Pertama, secara sosial politik, pernyataan OJK tersebut bukannya menenangkan, tetapi menyulut situasi makin tidak stabil. “Padahal stabilitas sosial adalah situasi perlu untuk mempercepat upaya pemulihan,” lanjutnya.
Di sisi lain, secara ekonomi, situasi bencana dan pascabencana umumnya diikuti dengan inflasi yang tinggi. Kondisi tersebut sudah cukup menyulitkan, yang jika ditambah dengan tunggakan kredit akan menjadi beban yang lebih memberatkan. “Daya beli masyarakat terpukul yang berakibat ekonomi menjadi sulit berdenyut,” tutur Ahmad Ali mengingatkan.
Ahmad Ali melanjutkan, tuntutan korban bencana untuk pemutihan utang tidak saja merupakan tuntutan yang wajar, tetapi juga sangat mungkin untuk dilakukan. “Secara hukum, perjanjian atau perikatan kontrak dapat dibatalkan, jika unsur subjektifnya terpenuhi. Dalam pandangan saya, dalam kasus masyarakat korban bencana sebagai debitur, unsur subjektifnya telah terpenuhi karena debitur kehilangan kemampuan untuk memenuhi kewajiban akad kredi, bukan karena sengaja, tetapi karena bencana,” terangnya.
Ahmad Ali berkeyakinan, atas dasar itu pula Kementerian Keuangan berpandangan penghapusan utang kredit masyarakat korban bencana gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah dapat dilakukan. “Jadi, secara pribadi saya menilai pernyataan OJK tersebut adalah pernyataan yang keblinger, menyakitkan dan tidak mendorong percepatan pemulihan sama sekali,” tegasnya.
(poe)