Beri Keterangan Palsu ke Notaris, Sutrimo Malah Divonis Bebas
A
A
A
KOTAWARINGIN BARAT - Dalam sejumlah kasus yang masuk ke persidangan seringkali vonis hakim terhadap terdakwa sangat mengecewakan. Ini terjadi dalam kasus pemberian keterangan palsu ke notaris dalam pembuatan sertifikat tanah dengan terdakwa Sutrimo (65) warga Desa Karang Mulya, Kecamatan Pangkalan Banteng, Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar), Kalteng.
Pada Senin (26/11/2018) petang sekira pukul 17.20 WIB dengan agenda sidang pembacaan vonis oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Kotawaringin Barat (Kobar), terdakwa Sutrimo akhirnya divonis bebas.
“Membebaskan terdakwa tersebut oleh karena itu dari semua dakwaan JPU. Mengembalikan hak-hak terdakwa dalam kemampuan harkat dan martabatnya,” ujar Ketua Majelis Hakim, Imam Suroso dengan didampingi dua hakim anggota, M Ikhsan dan Mantiko saat membacakan vonis di ruang sidang PN Kobar, Senin (26/11/2018) petang. Atas putusan ini, membuat terkejut sejumlah pengunjung sidang yang hadir.
Padahal dalam agenda pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), Kejari Kobar, beberapa waktu lalu, Sutrimo dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan cucunya sendiri yang seharusnya sebagai ahli waris yang masih hidup dan memiliki hak atas tanah seluas 2 hektare tersebut.
“Sesuai dakwaan sebelumnya menggunakan Pasal 266 Ayat 1 KUHP yang berbunyi barangsiapa menyuruh masukkan keterangan palsu dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarnanya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain pakai akta itu seolah-olah keteranganya sesuai dengan kebenaran. Dan sesuai fakta dalam persidangan atas keterangan sejumlah saksi, bahwa terdakwa dianggap memberikan ketarangan palsu kepada Notaris Nurhadi yang menyatakan ahli waris golongan satu atas kepemilikan tanah seluas 2 hektare itu sudah tidak ada dan susah dihubungi,” papar Jaksa Penuntut Umum (JPU), Kejari Kobar, Farida saat membacakan tuntutan di PN Kobar, Rabu 17 Oktober 2018.
Farida melanjutkan, dan ternyata keterangan tersebut bohong, karena ahli waris golongan satu atas kepemlikian tanah seluas 2 hektare tersebut masih hidup.
“Yang memberatkan terdakwa telah memberikan keterangan palsu ke notaris. Kemudian yang meringankan, terdakwa selama sidang berperilaku sopan dan usia juga sudah tua. Oleh karena itu terdakwa dituntut dua bulan 15 hari (75 hari),” ujar Farida membacakan tuntutan di hadapan terdakwa dan Ketua Majelis Hakim, Iman Santoso serta dua anggota hakim, Ikhsan dan Mantiko.
Dalam tuntutan ini pun, sejumlah warga Desa Karang Mulya yang terus mengawal kasus ini, sempat kecewa. Sebab ancaman maksimal Pasal 266 ayat 1 adalah 7 tahun penjara.
“Ini cuma dituntut 2 bulan 15 hari. Sepertiga dari ancaman maksimal saja tidak ada. Padahal dengan memberikan keterangan palsu kepada notaris, terdakwa Sutrimo telah marampas hak atas tanah seluas 2 hektare yang seharusnya dimiliki sang cucu, Doni dan Ibunya. Sekarang malah divonis bebas oleh majelis hakim,” ujar warga Desa Karang Mulya, Agus Sutiono yang terus mengikuti persidangan.
Untuk diketahui, kasus ini muncul berawal dari 3 petak tanah bersertifikat resmi Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar), Kalteng tiba tiba sudah beralih nama ke orang lain yang tak lain kakek sendiri.
Terdakwa adalah Sutrimo, warga Desa Karang Mulya, Kecamatan Pangkalan Banteng yang masih saudara korban, Sukardi (almarhum) dan istri, Sumiyati serta anak tunggal Doni Dian Susilo.
Ketiganya merupakan transmigran yang sempat menetap di RT 11, RW 03, Desa Karang Mulya, Kecamatan Pangkalan Banteng yang memiliki 3 petak tanah dengan tiga sertifikat resmi BPN, dengan luasan masing-masing 2.500 m2 (yang dulunya lahan rumah), 7.500 m2, dan 10.000 m2 (kini menjadi kebun sawit). Total ada 2 hektare.
“Mereka bertiga ini dulu transmigran, pada 1997 anak Doni yang dulu masih kecil sekitar umur 7 tahunan sakit sakit an. Akhirnya Sang ibu Sumiyati dan Doni balik ke Madiun, Jawa Timur untuk mengobatkan sang anak dan menetap di Madiun. Dan suaminya Pak Sukardi masih menetap di Desa Karang Mulya sendirian,” ujar mantan Kepala Desa Karang Mulya, Slamet Sutarso saat ditemui MNC Media di Pangkalan Bun untuk menceritakan kasusnya dari awal, beberapa waktu lalu.
Kemudian pada tahun 1998, Sukardi meninggal dunia karena sakit di RSUD Sultan Imanuddin Pangkalan Bun. Sebelum meninggal, Sukardi sempat menitipkan 3 sertifikat tanah kepada tetangganya bernama, Sakun.
“Saat meninggal, yang mengurus segala keperluan pemakaman dan lain sebagainya adalah Sutrimo yang masih saudara istri almarhum Sukardi, yang juga menetap di RT 3, Desa Karang Mulya. Saat itu seluruh biaya pemakaman dan lain lain dibiayai Sutrimo yang katanya menghabiskan Rp4 juta,” beber sang mantan kades ini yang juga menjadi saksi kunci. Ia melanjutkan, mengetahui 3 sertifikat tanah milik almarhum Sukardi dititip ke Sakun, beberapa hari setelah pemakaman, istri Sutrimo mendatangi Sakun untuk meminta 3 sertifikat tersebut.
“Saat itu, karena istri Almarhum Sukardi dan anak Doni masih di Madiun Jawa Timur. Akhirnya 3 sertifikat tersebut diserahkan ke istri Sutrimo. Karena Pak Sakun merasa itu keluarganya, ya langsung dikasihkan saja,” ceritanya.
Selanjutnya, setelah 7 hari meninggalnya Sukardi, ayah Sukardi, Tambir, dari Madiun Jawa Tengah datang ke Desa Karang Mulya untuk menemui Sutrimo yang merupaksn adik iparnya untuk mengucapkan terima kasih karena telah mengurus pemakaman Sukardi sambil menanyakan biaya yang digunakan.
“Saat Pak Tambir tiba di Desa Karang Mulya langsung menemui Sutrimo. Dan Sutrimo bilang biaya pemakaman habis sekitar Rp4 juta. Namun karena Pak Tambir tidak ada uang, selanjutnya Pak Tambir dan Sutrimo menuju ke kantor desa untuk mencari jalan tengah,” beber Slamet.Kemudian, lanjut sang mantan kades ini, antara Pak Tambir dan Sutrimo akhirnya sepakat 3 sertifikat tetap dipegang Sutrimo sampai uang Rp4 juta dikembalikan. “Di situlah saya buatkan surat pernyataan, antara Pak Tambir dan dan Sutrimo tentang ganti rugi biaya pemakaman. Isi surat pernyataan itu terkait ganti rugi bilamana dikemudian hari timbul masalah dengan membawa 3 sertifikat milik almarhum.
Pada Senin (26/11/2018) petang sekira pukul 17.20 WIB dengan agenda sidang pembacaan vonis oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Kotawaringin Barat (Kobar), terdakwa Sutrimo akhirnya divonis bebas.
“Membebaskan terdakwa tersebut oleh karena itu dari semua dakwaan JPU. Mengembalikan hak-hak terdakwa dalam kemampuan harkat dan martabatnya,” ujar Ketua Majelis Hakim, Imam Suroso dengan didampingi dua hakim anggota, M Ikhsan dan Mantiko saat membacakan vonis di ruang sidang PN Kobar, Senin (26/11/2018) petang. Atas putusan ini, membuat terkejut sejumlah pengunjung sidang yang hadir.
Padahal dalam agenda pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), Kejari Kobar, beberapa waktu lalu, Sutrimo dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan cucunya sendiri yang seharusnya sebagai ahli waris yang masih hidup dan memiliki hak atas tanah seluas 2 hektare tersebut.
“Sesuai dakwaan sebelumnya menggunakan Pasal 266 Ayat 1 KUHP yang berbunyi barangsiapa menyuruh masukkan keterangan palsu dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarnanya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain pakai akta itu seolah-olah keteranganya sesuai dengan kebenaran. Dan sesuai fakta dalam persidangan atas keterangan sejumlah saksi, bahwa terdakwa dianggap memberikan ketarangan palsu kepada Notaris Nurhadi yang menyatakan ahli waris golongan satu atas kepemilikan tanah seluas 2 hektare itu sudah tidak ada dan susah dihubungi,” papar Jaksa Penuntut Umum (JPU), Kejari Kobar, Farida saat membacakan tuntutan di PN Kobar, Rabu 17 Oktober 2018.
Farida melanjutkan, dan ternyata keterangan tersebut bohong, karena ahli waris golongan satu atas kepemlikian tanah seluas 2 hektare tersebut masih hidup.
“Yang memberatkan terdakwa telah memberikan keterangan palsu ke notaris. Kemudian yang meringankan, terdakwa selama sidang berperilaku sopan dan usia juga sudah tua. Oleh karena itu terdakwa dituntut dua bulan 15 hari (75 hari),” ujar Farida membacakan tuntutan di hadapan terdakwa dan Ketua Majelis Hakim, Iman Santoso serta dua anggota hakim, Ikhsan dan Mantiko.
Dalam tuntutan ini pun, sejumlah warga Desa Karang Mulya yang terus mengawal kasus ini, sempat kecewa. Sebab ancaman maksimal Pasal 266 ayat 1 adalah 7 tahun penjara.
“Ini cuma dituntut 2 bulan 15 hari. Sepertiga dari ancaman maksimal saja tidak ada. Padahal dengan memberikan keterangan palsu kepada notaris, terdakwa Sutrimo telah marampas hak atas tanah seluas 2 hektare yang seharusnya dimiliki sang cucu, Doni dan Ibunya. Sekarang malah divonis bebas oleh majelis hakim,” ujar warga Desa Karang Mulya, Agus Sutiono yang terus mengikuti persidangan.
Untuk diketahui, kasus ini muncul berawal dari 3 petak tanah bersertifikat resmi Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar), Kalteng tiba tiba sudah beralih nama ke orang lain yang tak lain kakek sendiri.
Terdakwa adalah Sutrimo, warga Desa Karang Mulya, Kecamatan Pangkalan Banteng yang masih saudara korban, Sukardi (almarhum) dan istri, Sumiyati serta anak tunggal Doni Dian Susilo.
Ketiganya merupakan transmigran yang sempat menetap di RT 11, RW 03, Desa Karang Mulya, Kecamatan Pangkalan Banteng yang memiliki 3 petak tanah dengan tiga sertifikat resmi BPN, dengan luasan masing-masing 2.500 m2 (yang dulunya lahan rumah), 7.500 m2, dan 10.000 m2 (kini menjadi kebun sawit). Total ada 2 hektare.
“Mereka bertiga ini dulu transmigran, pada 1997 anak Doni yang dulu masih kecil sekitar umur 7 tahunan sakit sakit an. Akhirnya Sang ibu Sumiyati dan Doni balik ke Madiun, Jawa Timur untuk mengobatkan sang anak dan menetap di Madiun. Dan suaminya Pak Sukardi masih menetap di Desa Karang Mulya sendirian,” ujar mantan Kepala Desa Karang Mulya, Slamet Sutarso saat ditemui MNC Media di Pangkalan Bun untuk menceritakan kasusnya dari awal, beberapa waktu lalu.
Kemudian pada tahun 1998, Sukardi meninggal dunia karena sakit di RSUD Sultan Imanuddin Pangkalan Bun. Sebelum meninggal, Sukardi sempat menitipkan 3 sertifikat tanah kepada tetangganya bernama, Sakun.
“Saat meninggal, yang mengurus segala keperluan pemakaman dan lain sebagainya adalah Sutrimo yang masih saudara istri almarhum Sukardi, yang juga menetap di RT 3, Desa Karang Mulya. Saat itu seluruh biaya pemakaman dan lain lain dibiayai Sutrimo yang katanya menghabiskan Rp4 juta,” beber sang mantan kades ini yang juga menjadi saksi kunci. Ia melanjutkan, mengetahui 3 sertifikat tanah milik almarhum Sukardi dititip ke Sakun, beberapa hari setelah pemakaman, istri Sutrimo mendatangi Sakun untuk meminta 3 sertifikat tersebut.
“Saat itu, karena istri Almarhum Sukardi dan anak Doni masih di Madiun Jawa Timur. Akhirnya 3 sertifikat tersebut diserahkan ke istri Sutrimo. Karena Pak Sakun merasa itu keluarganya, ya langsung dikasihkan saja,” ceritanya.
Selanjutnya, setelah 7 hari meninggalnya Sukardi, ayah Sukardi, Tambir, dari Madiun Jawa Tengah datang ke Desa Karang Mulya untuk menemui Sutrimo yang merupaksn adik iparnya untuk mengucapkan terima kasih karena telah mengurus pemakaman Sukardi sambil menanyakan biaya yang digunakan.
“Saat Pak Tambir tiba di Desa Karang Mulya langsung menemui Sutrimo. Dan Sutrimo bilang biaya pemakaman habis sekitar Rp4 juta. Namun karena Pak Tambir tidak ada uang, selanjutnya Pak Tambir dan Sutrimo menuju ke kantor desa untuk mencari jalan tengah,” beber Slamet.Kemudian, lanjut sang mantan kades ini, antara Pak Tambir dan Sutrimo akhirnya sepakat 3 sertifikat tetap dipegang Sutrimo sampai uang Rp4 juta dikembalikan. “Di situlah saya buatkan surat pernyataan, antara Pak Tambir dan dan Sutrimo tentang ganti rugi biaya pemakaman. Isi surat pernyataan itu terkait ganti rugi bilamana dikemudian hari timbul masalah dengan membawa 3 sertifikat milik almarhum.
(sms)