Zaman Milenial, Banyak Orang yang Ingin Jadi Pahlawan
A
A
A
SEMARANG - Ketua DPRD Jawa Tengah (Jateng), Rukma Setyabudi, menyatakan, bahwa yang bisa menilai seseorang sebagai sosok pahlawan adalah masyarakat. Karena, untuk menjadi pahlawan telah diatur dalam undang-undang.
Pernyataan tersebut disampaikan Rukma menanggapi fenomena zaman now atau milenial dengan munculnya banyak orang yang ingin menjadi pahlawan.
"Zaman sekarang banyak orang yang berlomba-lomba berbuat kebaikan. Namun untuk dikatakan sebagai pahlawan itu bukan dari pribadi sendiri," kata Rukma saat berbicara dalam Diskusi Prime Topic MNC Trijaya FM Semarang bertemakan Memaknai Pahlawan Bangsa, di Hotel Harris Semarang, Jawa Tengah, Senin (12/11/2018).
Dia mengungkapkan, yang cukup menonjol pada sosok pahlawan adalah jujur, tanpa pamrih dan tidak menghalalkan segala cara. "Intinya tidak boleh bertentangan dengan kelayakan yang ada," katanya.
Di sisi lain, Rukma tak mempermasalahkan bagi mereka yang menginginkan sosok pahlawan seperti superhero. Pasalnya, superhero merupakan kisah fiksi dari negara asing dan dinilainya hanya rekayasa.
"Ya sah-sah saja seseorang punya idola di superhero. Namun harus bisa mengambil pesan moral dari superhero, jangan sekadar meniru," tukas politikus PDIP ini.
Sementara, Kepala Dinas Sosial Jateng, Nur Hadi Amiyanto menerangkan, berdasar Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 terdapat dua jenis yang dikategorikan sebagai pahlawan. Yaitu pahlawan formal dan pahlawan informal.
"Pahlawan formal adalah pahlawan yang telah diusulkan masyarakat ke pemkab. Kemudian dari pemkab diteruskan ke pemprov, dan dari pemprov yaitu gubernur akan meminta tim peneliti pengkaji gelar daerah (TP2GD) untuk melakukan kajian dan penelitian tokoh yang diusulkan. Dari TP2GD kemudian diteruskan ke presiden," papar Nur Hadi.
Menurutnya, karakteristik sosok pahlawan adalah mandiri, berani, rela berkorban, tanpa pamrih, ulet, tanggung jawab, cinta bangsa dan tanah air.
"Sedangkan kriteria pahlawan informal adalah mereka yang benar-benar memberi dampak positif bagi masyarakat dalam penyelesaian persoalan. Dia mencontohkan para relawan seperti pekerja sosial masyarakat, tenaga sosial kecamatan, hingga Tagana. Karena mereka tidak dibayar, dan kami hanya memberi tali asih," tutur Nur Hadi.
Pernyataan tersebut disampaikan Rukma menanggapi fenomena zaman now atau milenial dengan munculnya banyak orang yang ingin menjadi pahlawan.
"Zaman sekarang banyak orang yang berlomba-lomba berbuat kebaikan. Namun untuk dikatakan sebagai pahlawan itu bukan dari pribadi sendiri," kata Rukma saat berbicara dalam Diskusi Prime Topic MNC Trijaya FM Semarang bertemakan Memaknai Pahlawan Bangsa, di Hotel Harris Semarang, Jawa Tengah, Senin (12/11/2018).
Dia mengungkapkan, yang cukup menonjol pada sosok pahlawan adalah jujur, tanpa pamrih dan tidak menghalalkan segala cara. "Intinya tidak boleh bertentangan dengan kelayakan yang ada," katanya.
Di sisi lain, Rukma tak mempermasalahkan bagi mereka yang menginginkan sosok pahlawan seperti superhero. Pasalnya, superhero merupakan kisah fiksi dari negara asing dan dinilainya hanya rekayasa.
"Ya sah-sah saja seseorang punya idola di superhero. Namun harus bisa mengambil pesan moral dari superhero, jangan sekadar meniru," tukas politikus PDIP ini.
Sementara, Kepala Dinas Sosial Jateng, Nur Hadi Amiyanto menerangkan, berdasar Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 terdapat dua jenis yang dikategorikan sebagai pahlawan. Yaitu pahlawan formal dan pahlawan informal.
"Pahlawan formal adalah pahlawan yang telah diusulkan masyarakat ke pemkab. Kemudian dari pemkab diteruskan ke pemprov, dan dari pemprov yaitu gubernur akan meminta tim peneliti pengkaji gelar daerah (TP2GD) untuk melakukan kajian dan penelitian tokoh yang diusulkan. Dari TP2GD kemudian diteruskan ke presiden," papar Nur Hadi.
Menurutnya, karakteristik sosok pahlawan adalah mandiri, berani, rela berkorban, tanpa pamrih, ulet, tanggung jawab, cinta bangsa dan tanah air.
"Sedangkan kriteria pahlawan informal adalah mereka yang benar-benar memberi dampak positif bagi masyarakat dalam penyelesaian persoalan. Dia mencontohkan para relawan seperti pekerja sosial masyarakat, tenaga sosial kecamatan, hingga Tagana. Karena mereka tidak dibayar, dan kami hanya memberi tali asih," tutur Nur Hadi.
(mhd)