KPU vs Bawaslu soal Mantan Koruptor Nyaleg, Kemendagri : Tunggu Putusan MA
A
A
A
SEMARANG - Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) meminta semua pihak menunggu putusan Mahkamah Agung (MA) terkait gugatan aturan larangan mantan narapidana korupsi menjadi calon legislatif. Kemendagri mengaku tak dapat mengintervensi, silang pendapat antara KPU dan Bawaslu.
Meski demikian, Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, Soedarmo, menyesalkan Peraturan KPU (PKPU) No 20/2018 yang melarang mantan napi korupsi maju sebagai calon wakil rakyat, karena bertentangan dengan Undang-Undang Pemilu No 7/2017.
UU tersebut tidak menyebutkan terdapat larangan seperti dimaksud dalam PKPU. Hal ini senada sikap Bawaslu dalam sidang sengketa dengan berpedoman UU Pemilu yang tidak memuat larangan mantan napi korupsi nyaleg. Akibatnya, hal ini menyebabkan tidak ada keputusan hukum tetap.
Meski Kemendagri mengaku menggunakan dasar UU Pemilu, namun keputusan tetap harus menunggu putusan Mahkamah Agung. Sebab, PKPU sudah disahkan Kementerian Hukum dan HAM, sehinga seharusnya telah menjadi hukum untuk ditaati oleh seluruh penyelenggara pemilu.
“Kita tidak bisa membuat diskresi karena ini Undang-Undang yang menetapkan caleg memenuhi syarat atau tidak itu kan KPU. Kalau Kemendagri ikut ke sana, seakan-akan kita mengintervensi. Kita tidak bisa intervensi hal itu,” kata Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, Soedarmo, Rabu 12 September 2018.
Menurut dia, Kemendagri terus memonitor perkembangan proses gugatan yang sudah dilakukan oleh beberapa kelompok masyarakat. Sebab, pihaknya maupun Bawaslu tidak bisa membuat aturan baru untuk menolak PKPU.
“Bawaslu pun juga enggak boleh membuat aturan baru atau keputusan untuk menolak PKPU. Kemendagri pijakannya tetap pada Undang-Undang,” tukasnya.
Keputusan MA terkait gugatan terhadap PKPU nantinya akan dijadikan pedoman untuk penyelenggaraan Pemilu lima tahun mendatang. Dengan putusan itu, KPU dan Bawaslu akan menggunakan dasar aturan yang sama dalam menentukan orang-orang untuk maju sebagai calon legislatif.
Meski demikian, Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, Soedarmo, menyesalkan Peraturan KPU (PKPU) No 20/2018 yang melarang mantan napi korupsi maju sebagai calon wakil rakyat, karena bertentangan dengan Undang-Undang Pemilu No 7/2017.
UU tersebut tidak menyebutkan terdapat larangan seperti dimaksud dalam PKPU. Hal ini senada sikap Bawaslu dalam sidang sengketa dengan berpedoman UU Pemilu yang tidak memuat larangan mantan napi korupsi nyaleg. Akibatnya, hal ini menyebabkan tidak ada keputusan hukum tetap.
Meski Kemendagri mengaku menggunakan dasar UU Pemilu, namun keputusan tetap harus menunggu putusan Mahkamah Agung. Sebab, PKPU sudah disahkan Kementerian Hukum dan HAM, sehinga seharusnya telah menjadi hukum untuk ditaati oleh seluruh penyelenggara pemilu.
“Kita tidak bisa membuat diskresi karena ini Undang-Undang yang menetapkan caleg memenuhi syarat atau tidak itu kan KPU. Kalau Kemendagri ikut ke sana, seakan-akan kita mengintervensi. Kita tidak bisa intervensi hal itu,” kata Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, Soedarmo, Rabu 12 September 2018.
Menurut dia, Kemendagri terus memonitor perkembangan proses gugatan yang sudah dilakukan oleh beberapa kelompok masyarakat. Sebab, pihaknya maupun Bawaslu tidak bisa membuat aturan baru untuk menolak PKPU.
“Bawaslu pun juga enggak boleh membuat aturan baru atau keputusan untuk menolak PKPU. Kemendagri pijakannya tetap pada Undang-Undang,” tukasnya.
Keputusan MA terkait gugatan terhadap PKPU nantinya akan dijadikan pedoman untuk penyelenggaraan Pemilu lima tahun mendatang. Dengan putusan itu, KPU dan Bawaslu akan menggunakan dasar aturan yang sama dalam menentukan orang-orang untuk maju sebagai calon legislatif.
(wib)