Sejak Nenek Moyang, Kampung Ini Selalu Krisis Air Bersih
A
A
A
MOJOKERTO - Warga Desa Kunjorowesi, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Mojokerto, Jatim tak pernah lepas dari krisis kebutuhan air. Warga selalu kesulitan untuk mendapatkan.
Di kampung yang berada di lereng Gunung Penanggungan ini, air bersih bak barang mewah yang harus mereka beli dengan harga mahal. Lantaran susah mendapatkan air bersih, warga pun jarang mandi dengan alasan berhemat.
Bagi warga kampung yang dihuni 1.650 kepala keluarga ini, musim kemarau menjadi musim yang berat. Untuk mendapatkan air bersih dalam jumlah yang sedikit saja, mereka harus berjalan sekitar 3 kilometer menuju sumber air dengan medan yang terjal.
Pilihan lain, mereka harus membeli air dengan harga Rp15.000 per jeriken. Harga itu dianggap mahal menyusul kondisi ekonomi masyarakat yang terbilang rendah.
Setidaknya ada empat dusun yang mengalami krisis air bersih di kampung ini. Diantaranya Dusun Sumberan, Telaga, Kunjorowesi dan Kandangan. Di musim kemarau seperti saat ini, mereka tak lagi bisa mengharapkan air bersih yang dialirkan dengan pipa kecil ke salah satu dusun.
Jika pun ada, mereka harus antre mulai subuh hingga tengah hari untuk sekedar mendapatkan air sejeriken. ”Sumber dari pipa sudah mati. Hanya mengandalkan air beli atau antre dari bantuan pemerintah,” ujar Mukim, salah seorang warga setempat.
Di kampung ini, terdapat tiga tandon air yang dipasang di tiga dusun. Air bersih didapat dari bantuan BPBD Kabupaten Mojokerto. Namun jumlah itu tak bisa memenuhi kebutuhan minimum air bersih untuk keluarga.
Untuk mendapatkan bantuan air bersih ini, warga juga harus rela mengantre sejak pagi buta agar kebagian air. Tak sedikit warga yang pulang membawa jeriken kosong lantaran stok air bersih habis.
”Sejak subuh harus antre. Kalau sudah kehabisan, kami beli dengan harga mahal,” kata Akhmad Halim, warga Desa Kunjorowesi lainnya.
Ia mengatakan, setidaknya, satu keluarga membutuhkan dua jeriken air bersih. Selain untuk memasak, juga mencuci piring. Jumlah itu, terkadang terpaksa digunakan untuk mencuci baju atau mandi.
”Kalaupun mandi, tak lebih dari setengah jeriken yang dihabiskan. Karena memang air mahal. Ini terjadi sejak nenek moyang kami dahulu. Kami ingin lepas dari masalah ini. Tapi dari tahun ke tahun selalu saja seperti ini,” keluhnya.
Di kampung yang berada di lereng Gunung Penanggungan ini, air bersih bak barang mewah yang harus mereka beli dengan harga mahal. Lantaran susah mendapatkan air bersih, warga pun jarang mandi dengan alasan berhemat.
Bagi warga kampung yang dihuni 1.650 kepala keluarga ini, musim kemarau menjadi musim yang berat. Untuk mendapatkan air bersih dalam jumlah yang sedikit saja, mereka harus berjalan sekitar 3 kilometer menuju sumber air dengan medan yang terjal.
Pilihan lain, mereka harus membeli air dengan harga Rp15.000 per jeriken. Harga itu dianggap mahal menyusul kondisi ekonomi masyarakat yang terbilang rendah.
Setidaknya ada empat dusun yang mengalami krisis air bersih di kampung ini. Diantaranya Dusun Sumberan, Telaga, Kunjorowesi dan Kandangan. Di musim kemarau seperti saat ini, mereka tak lagi bisa mengharapkan air bersih yang dialirkan dengan pipa kecil ke salah satu dusun.
Jika pun ada, mereka harus antre mulai subuh hingga tengah hari untuk sekedar mendapatkan air sejeriken. ”Sumber dari pipa sudah mati. Hanya mengandalkan air beli atau antre dari bantuan pemerintah,” ujar Mukim, salah seorang warga setempat.
Di kampung ini, terdapat tiga tandon air yang dipasang di tiga dusun. Air bersih didapat dari bantuan BPBD Kabupaten Mojokerto. Namun jumlah itu tak bisa memenuhi kebutuhan minimum air bersih untuk keluarga.
Untuk mendapatkan bantuan air bersih ini, warga juga harus rela mengantre sejak pagi buta agar kebagian air. Tak sedikit warga yang pulang membawa jeriken kosong lantaran stok air bersih habis.
”Sejak subuh harus antre. Kalau sudah kehabisan, kami beli dengan harga mahal,” kata Akhmad Halim, warga Desa Kunjorowesi lainnya.
Ia mengatakan, setidaknya, satu keluarga membutuhkan dua jeriken air bersih. Selain untuk memasak, juga mencuci piring. Jumlah itu, terkadang terpaksa digunakan untuk mencuci baju atau mandi.
”Kalaupun mandi, tak lebih dari setengah jeriken yang dihabiskan. Karena memang air mahal. Ini terjadi sejak nenek moyang kami dahulu. Kami ingin lepas dari masalah ini. Tapi dari tahun ke tahun selalu saja seperti ini,” keluhnya.
(vhs)