Budaya Ternyata Mempengaruhi Perspektif Berlalu Lintas
A
A
A
MALANG - Perilaku seseorang dalam mengemudikan kendaraan di jalan raya ternyata bisa dipakai untuk memahami bagaimana sebenarnya perspektif orang tersebut. Hal ini disampaikan Guru Besar Latvia University, Ivars Austers yang telah melakukan penelitian tentang psikologi lalu lintas.Dihadapan para dosen dan staf Program Studi (Prodi) Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), dia memaparkan hasil penelitiannya, yang menyebutkan bahwa, kebudayaan di suatu negara, berpengaruh terhadap perspektif seseorang dalam berlalu lintas.
“Perspektif seseorang, bukan bawaan sejak lahir, tetapi berkembang sepanjang hidupnya,” ujar Ivars, saat menjadi pemateri pada kuliah tamu bertema Caring about Perspective-taking, yang digelar Prodi Psikologi UMM, Senin (25/6/2018).
Lebih jauh Ivars menyampaikan, perspective taking berbeda dengan empati. Empati lebih ke kondisi emosional seseorang, sedangkan perspective taking lebih ke kondisi kognitif atau kemampuan berpikir seseorang.
Indonesia dan negara-negara Asia lainnya, dinilainya cenderung memiliki kebudayaan kolektif. Hal tersebut berbeda dengan negar-negara Amerika, dan Eropa yang individualis. Kebudayaan ini, juga turut mempengaruhi kemampuan seseorang dalam memahami perspektif orang lain.
“Jadi, tadi Prof Ivars banyak mencontohkan perspective-taking dalam berlalu lintas. Kita tidak hanya bertanggungjawab atas kendaraan yang kita bawa, tapi kita juga harus memahami pengendara lain ketika di jalan raya,” papar Dian Caesaria Widyasari, dosen Prodi Psikologi UMM.
Dian mengaku materi-materi yang dibawakan Prof Ivars, sangat menarik. Salah satunya, tentang Human Values and Risking Car Driving. “Ternyata nilai yang dibawa seseorang sejak kecil, mempengaruhi caranya mengendarai mobilnya,” imbuhnya.
Hubungan nilai dengan cara berlalu lintas, salah satu contohnya seseorang yang mengagungkan kekuasaan, cenderung apatis, dan tidak memberi aba-aba ketika hendak belok kanan atau kiri di jalan raya.Tetapi berbeda ketika seseorang tumbuh besar dengan nilai-nilai baik yang dikembangkan di lingkungannya, maka dia bisa lebih bijak dalam berkendara.
“Perspektif seseorang, bukan bawaan sejak lahir, tetapi berkembang sepanjang hidupnya,” ujar Ivars, saat menjadi pemateri pada kuliah tamu bertema Caring about Perspective-taking, yang digelar Prodi Psikologi UMM, Senin (25/6/2018).
Lebih jauh Ivars menyampaikan, perspective taking berbeda dengan empati. Empati lebih ke kondisi emosional seseorang, sedangkan perspective taking lebih ke kondisi kognitif atau kemampuan berpikir seseorang.
Indonesia dan negara-negara Asia lainnya, dinilainya cenderung memiliki kebudayaan kolektif. Hal tersebut berbeda dengan negar-negara Amerika, dan Eropa yang individualis. Kebudayaan ini, juga turut mempengaruhi kemampuan seseorang dalam memahami perspektif orang lain.
“Jadi, tadi Prof Ivars banyak mencontohkan perspective-taking dalam berlalu lintas. Kita tidak hanya bertanggungjawab atas kendaraan yang kita bawa, tapi kita juga harus memahami pengendara lain ketika di jalan raya,” papar Dian Caesaria Widyasari, dosen Prodi Psikologi UMM.
Dian mengaku materi-materi yang dibawakan Prof Ivars, sangat menarik. Salah satunya, tentang Human Values and Risking Car Driving. “Ternyata nilai yang dibawa seseorang sejak kecil, mempengaruhi caranya mengendarai mobilnya,” imbuhnya.
Hubungan nilai dengan cara berlalu lintas, salah satu contohnya seseorang yang mengagungkan kekuasaan, cenderung apatis, dan tidak memberi aba-aba ketika hendak belok kanan atau kiri di jalan raya.Tetapi berbeda ketika seseorang tumbuh besar dengan nilai-nilai baik yang dikembangkan di lingkungannya, maka dia bisa lebih bijak dalam berkendara.
(vhs)