GSM Dorong Sekolah Lakukan Self-Disrupsi Hadapi Tantangan Masa Depan

Senin, 04 Juni 2018 - 16:14 WIB
GSM Dorong Sekolah Lakukan Self-Disrupsi Hadapi Tantangan Masa Depan
GSM Dorong Sekolah Lakukan Self-Disrupsi Hadapi Tantangan Masa Depan
A A A
YOGYAKARTA - Untuk menghadapi masa depan, sistem pendidikan di Indonesia harus melakukan self-disruption. Yakni melakukan sendiri perubahan yang fundamental (mendasar) pada sistim, pengelolaan hingga proses belajar mengajar agar adaptif terhadap perubahan yang sangat cepat dan tidak menentu.

Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) Muhammad Nur Rizal mengatakan, untuk itu self-disruption harus diawali dengan mengubah pola pikir atau ideologi pendidikan saat ini bagi guru atau orang tua agar transformasi perubahan dapat cepat dilakukan berdampak langsung kepada siswa serta terjamin keberlanjutannya (sustainable).

"Self-disruption akan mendorong sekolah gesit untuk berubah tidak perlu menunggu pihak lain atau kebijakan top-down pemerintah yang cenderung berbelit-belit. Karena prasyarat untuk memenangkan persaingan di era milenial adalah yang cepat dan gesit bukan yang kuat atau besar," katanya dalam keterangan tertulis, Senin (4/6/2018).

Muhammad Nur Rizal menegaskan, pola pikir self-disruption tersebut antara lain, Pertama, sekolah tidak boleh merasa nyaman dengan kondisi pendidikan saat ini, melainkan harus gelisah menanyakan pada dirinya sendiri apakah pendidikan yang diselenggarakan cocok dengan kebutuhan generasi milenial atau dapat membangun kompetensi yang dibutuhkan dunia kerja kedepan."Menurut Jim Clifton, generasi milenial membutuhkan pendidikan yang "personalised" yang memberikan otonomi dalam belajar bukan yang menyeragamkan. Mereka butuh pengajaran pendampingan bukan ceramah "klasikal" karena cenderung monoton dan tidak mengembangkan setiap kekuatan siswa. Cara belajarnya bergaya eksploratif bukan abstrak sehingga pembelajarannya lebih otentik dan memicu kekritisan," timpalnya.

Kedua, jangan takut bertransformasi dari sistem lama ke sistem baru. Transformasi meliputi mindset, ekosistem, budaya atau lingkungan belajar hingga sistem pedagogi.

Ketiga, membuat disruptive innovation agar situasi disrupsi tidak dimaknai sebagai ancaman melainkan peluang untuk menciptakan iklim kreativitas atau pemikiran yang beragam (divergent).

Sementara itu, kata dia, dua strategi dalam membangun pola pikir self-disruption adalah, Kesatu, membangun kesadaran tentang kebutuhan mentransformasi sekolah secara adaptif dan cepat. Kedua, mengkomunikasikan visi dan misi serta melakukan koalisi dengan guru, orang tua (masyarakat) dan siswa selaku stakeholder sekolah.

"Dua langkah itu akan mempermudah perubahan budaya dan strategi organisasi sekolah. Berdasarkan strategi diatas, pada pelaksanaannya, strategi formulasi GSM menseleksi sekolah serta lebih memilih sekolah yang non-favorit atau terpinggirkan dari aspek lokasi atau perhatian pemerintah, agar sekolah tidak memiliki beban psikologis dan terpaku dengan zona nyaman mereka," ungkapnya.

Dengan tanpa beban, ungkap dia, transformasi akan dilakukan dengan ringan serta berani membuat keputusan radikal dalam mengubah budaya serta cara belajar mengajar yang membuat anak berdaulat dalam belajarnya sehingga dimampukan untuk membuat keputusan yang tepat.

"Jadi self-disruption dapat menyentuh pada penciptaan ekosistem sekolah baru yang menyenangkan, aman serta kreatif menciptakan lingkungan yang membuat anak betah dan "kasmaran" belajar. Karena dengan kasmaran, mereka akan bersungguh-sungguh untuk memberikan yang terbaik dalam belajar, dengan kasmaran mereka akan kreatif mencari jalan terbaik untuk karir masa depannya," tandasnya.
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4622 seconds (0.1#10.140)