Aktivis: Kampanye Hitam Tak Berpengaruh, Malah Bikin Pemilih Sebal
A
A
A
PALEMBANG - Hari-hari menjelang pemungutan suara, Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub) Sumatera Selatan (Sumsel) mulai diwarnai maraknya kampanye hitam, fitnah, penggalangan kebencian dan perendahan harkat martabat kemanusiaan para kontestan.
Yang menarik, saat peraturan perundang-undangan begitu ketat melarang kampanye hitam, berita bohong, hoaks, fitnah dan rekayasa isu, justru ada orang perorang yang berusaha tampil untuk menjadi torpedo menyerang pribadi calon. Hal itu tentu membuat suasana pilkada yang seharusnya demokratis menjadi tercela.
Adalah pasangan Herman Deru-Mawardi Yahya korban kampanye hitam terbanyak. Selebaran fitnah terlihat dibagikan ke rumah-rumah penduduk dan secara sengaja dimaksudkan untuk menggalang kebencian serta merendahkan martabatnya.
Deru difitnah bertindak asusila. Isu lama yang "direproduksi" untuk menjatuhkannya. Hal sama juga menimpa Mawardi Yahya, bahkan dalam kasus Mawardi, ada perempuan yang dimunculkan ke publik seolah menuntut tanggung jawab atas tindak asusilanya.
Apakah dua peristiwa itu akan terjadi jika tak ada pilkada? Apakah dua peristiwa itu akan terjasi jika pasangan Herman Deru-Mawardi Yahya tidak dominan dan jadi pasangan underdog?
Pertanyaan ini seharusnya menjadi konsen penyelenggara pilkada dan Penegak Hukum Terpandu (Gakumdu). Badan Pengwas Pemilu (Bawaslu) dinilai seharusnya turun tangan dan mengamati secara serius gerakan-gerakan kampanye hitam seperti itu, karena akan membuat Pilkada Sumsel tercela.
Aktivis pro demokrasi Husnul Khotimah menyesalkan kurang gregetnya penyelenggara Pilgub Sumsel. Husnul yang juga ketua Kelompok Diskusi Demokrasi Digital Sumsel menyampaikan, seharusnya KPU, Bawaslu dan kepolisian ikut memantau arus informasi dan perdebatan di media sosial. Misalnya langsung memproses saat mengetahui ada situs atau link berita hoaks yang muncul dan menyerang pribadi calon.
“Itu kerja mudah sekali, asal mau,” ujarnya kepada wartawan saat diskusi bertajuk Quo Vadis Pilkada Sumsel 2018, di Kota Palembang, Sumsel, Jumat 28 April 2018 malam.
Husnul menjelaskan, kasus penghinaan dan perendahan martabat paslon kerap terjadi di Sumsel. Di Pilkada 2013, Alex Noerdin diisukan selingkuh dan link-link berita hoaks tersebut juga masih ditemukan di dunia maya. Husnul menyesalkan hal demikian masih berulang pada Pilkada 2018. Padahal pemilih sekarang justru lebih cerdas dan kritis.
“Jika kita amati tanggapan publik atas situs-situs yang menuliskan kampanye hitam tersebut, tanggapan publik justru sebaliknya. Mereka memandang hal tersebut sebagai isu murahan dan pengecut. Kalau mau menang, adu program saja. Jangan menyerang pribadi, begitu kira-kira kesimpulan tanggapan mereka. Intinya black campaign itu tidak ada pengaruhnya, pemilih justru sebal dengan hal demikian,” tuturnya.
Yang menarik, saat peraturan perundang-undangan begitu ketat melarang kampanye hitam, berita bohong, hoaks, fitnah dan rekayasa isu, justru ada orang perorang yang berusaha tampil untuk menjadi torpedo menyerang pribadi calon. Hal itu tentu membuat suasana pilkada yang seharusnya demokratis menjadi tercela.
Adalah pasangan Herman Deru-Mawardi Yahya korban kampanye hitam terbanyak. Selebaran fitnah terlihat dibagikan ke rumah-rumah penduduk dan secara sengaja dimaksudkan untuk menggalang kebencian serta merendahkan martabatnya.
Deru difitnah bertindak asusila. Isu lama yang "direproduksi" untuk menjatuhkannya. Hal sama juga menimpa Mawardi Yahya, bahkan dalam kasus Mawardi, ada perempuan yang dimunculkan ke publik seolah menuntut tanggung jawab atas tindak asusilanya.
Apakah dua peristiwa itu akan terjadi jika tak ada pilkada? Apakah dua peristiwa itu akan terjasi jika pasangan Herman Deru-Mawardi Yahya tidak dominan dan jadi pasangan underdog?
Pertanyaan ini seharusnya menjadi konsen penyelenggara pilkada dan Penegak Hukum Terpandu (Gakumdu). Badan Pengwas Pemilu (Bawaslu) dinilai seharusnya turun tangan dan mengamati secara serius gerakan-gerakan kampanye hitam seperti itu, karena akan membuat Pilkada Sumsel tercela.
Aktivis pro demokrasi Husnul Khotimah menyesalkan kurang gregetnya penyelenggara Pilgub Sumsel. Husnul yang juga ketua Kelompok Diskusi Demokrasi Digital Sumsel menyampaikan, seharusnya KPU, Bawaslu dan kepolisian ikut memantau arus informasi dan perdebatan di media sosial. Misalnya langsung memproses saat mengetahui ada situs atau link berita hoaks yang muncul dan menyerang pribadi calon.
“Itu kerja mudah sekali, asal mau,” ujarnya kepada wartawan saat diskusi bertajuk Quo Vadis Pilkada Sumsel 2018, di Kota Palembang, Sumsel, Jumat 28 April 2018 malam.
Husnul menjelaskan, kasus penghinaan dan perendahan martabat paslon kerap terjadi di Sumsel. Di Pilkada 2013, Alex Noerdin diisukan selingkuh dan link-link berita hoaks tersebut juga masih ditemukan di dunia maya. Husnul menyesalkan hal demikian masih berulang pada Pilkada 2018. Padahal pemilih sekarang justru lebih cerdas dan kritis.
“Jika kita amati tanggapan publik atas situs-situs yang menuliskan kampanye hitam tersebut, tanggapan publik justru sebaliknya. Mereka memandang hal tersebut sebagai isu murahan dan pengecut. Kalau mau menang, adu program saja. Jangan menyerang pribadi, begitu kira-kira kesimpulan tanggapan mereka. Intinya black campaign itu tidak ada pengaruhnya, pemilih justru sebal dengan hal demikian,” tuturnya.
(dam)