Pernikahan Usia Dini di Daerah Masih Tinggi

Minggu, 25 Februari 2018 - 08:31 WIB
Pernikahan Usia Dini di Daerah Masih Tinggi
Pernikahan Usia Dini di Daerah Masih Tinggi
A A A
SLEMAN - Pengajuan dispensasi pernikahan dini di Sleman masih cukup tinggi. Data pengadilan agama (PA) setempat. Pada 2017 tercatat ada 89 dispensasi pernikahan dini.

Bahkan dalam dua tahun terakhir, angkanya di atas 100. Pada 2015, tercatat ada 132 dispensasi dan pada 2016 ada 100 dispensasi. Pengajuan dispensasi pernikahan ini karena usia, baik laki-laki maupun perempuan belum memenuhi ketentuan. Sesuai dengan UU No 1/1974 tentang Perkawinan, usia laki-laki 19 tahun dan perempuan 16 tahun.

Alasannya beragam, mulai dari masalah agama hingga budaya. Termasuk hamil di luar nikah. Padahal, ikatan sejoli yang belum cukup umur sangat rentan terhadap sejumlah masalah. Itu tidak lepas dari belum matangnya mental dan emosi si pasangan.

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga berencana (DP3AP2KB) Sleman Mafilindati Nuraini mengatakan, pernikahan dini rentan terhadap berbagai masalah, baik kesehatan seperti reproduksi bagi wanita maupun kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Oleh karena itu, dia berpendapat, harus dicegah perkawinan di bawah umur. Di antaranya perlu adanya pembinaan dan pen dampingan kepada mereka, terutama dari orang tua, termasuk perlu adanya konseling pranikah, penyuluhan calon pengantin, dan sosialisasi pendewasaan usia perkawinan (PUP).

Jadi, usia perkawinan mereka cukup matang, baik jasmani maupun rohani. “Selain memenuhi ketentuan, hal ini juga agar dapat memenuhi tujuan luhur dari perkawinan dan mendapat keturunan yang baik dan sehat,” kata Linda, panggilan Mafilindati Nurani, di ruang kerjanya, Jumat (23/2) Menurut Linda, ada beberapa faktor mengapa pernikahan dini tinggi.

Selain faktor hubungan dengan orang tua kurang dekat, juga moral keagamaan. Untuk hubungan dengan orang tua, lantaran orang tua sibuk bekerja sehingga apa yang dilakukan anak-anaknya kurang diperhatikan. Moral keagamaan karena pendalaman agama sangat kurang, terutama ibadah mereka tidak teratur.

“Untuk itu, upaya preventif lainnya, yakni dengan penguatan pengarusutamaan gender dan penguatan agama,” paparnya. Hal lainnya, yakni dengan melibatkan pusat informasi konseling remaja (PIKR) dan forum anak Sleman (Forans), serta memberikan konseling bagi keluarga muda di Pusat Pembelajaran Keluarga Sejahtera yang Sembada (Puspaga Kesengsem) dan membentuk Satgas Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) di seluruh desa.

“Untuk perlindungan anak, juga telah membentuk gugus kabupaten layak anak, kecamatan layak anak, dan desa layak anak se-Kabupaten Sleman,” ujarnya. Ketua Pem binaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Sleman Kustini Sri Purnomo mengaku sangat prihatin dengan kondisi tersebut.

Untuk itu, guna menekan angka pernikahan dini, selain akan melakukan pendampingan juga pembinaan keluarga. Untuk pendampingan keluarga, akan memprioritaskan daerah pinggiran, seperti Turi dan Cangkringan. Sebab, di wilayah tersebut banyak aktivitas penambangan dan pertanian.

Di mana orang tua lebih sibuk dengan kegiatannya sendiri daripada mengurus anak. Untuk pembinaan, dengan penguatan keluarga. Termasuk menyosialisasikan mengenai kesehatan seks bagi anak laki-laki dan perempuan serta peningkatan kepedulian orang tua terhadap buah hatinya.

“Ke depannya PKK akan upayakan penguatan dasar iman dan agama,” ujarnya. Sekretaris Komisi D DPRD Sleman Arif Kurniawan mengatakan, pernikahan anak merupakan salah satu masalah bersama. Agar kasus ini dapat ditekan, harus ada kebijakan tersendiri.

Terutama kebijakan yang menyangkut soal norma dan etika. Sebab, dilihat penyebabnya, pernikahan dini tersebut disebabkan oleh faktor keagamaan remaja. “Dengan melihat kondisi ini berarti, untuk pembangunan bidang mental dan rohani di masyarakat belum menyentuh atau belum mengena,” tandas politisi PAN ini.

Selain itu, sebagai upaya pencegahan pernikahan dini, anak juga perlu diberi pemahaman untuk mengenali, memahami, dan berani membela dirinya terhadap bentuk-bentuk kekerasan seksual, kesehatan reproduksi, dan penyadaran akan hak-haknya sebagai manusia dan warga negara.

“Kelompok rentan tersebut tidak hanya anak perempuan, tetapi juga pada anak lakilaki yang perlu diberi pemahaman terhadap kekerasan seksual sehingga mereka tidak menjadi korban dan pelaku,” ungkapnya.

Sosiolog UGM Partini mengatakan, ada beberapa penyebab terjadinya pernikahan dini tersebut, di antaranya rendahnya tingkat pendidikan kedua pasangan, tuntutan ekonomi, sistem nilai budaya, pernikahan yang sudah diatur, dan seks bebas. Bahkan sebagian masyarakat masih ada yang menganggap nikah dini sebagai faktor keturunan, padahal bukan.

“Nikah dini sebenarnya hasil dari pola pikir yang kurang rasional. Nikah dini dianggap sebagai jalan keluar dari persolan hidup, tetapi kenyataannya justru sebaliknya. Bahkan, nikah dini dianggap jalan keluar dari pergaulan bebas remaja,” paparnya.

Guru besar Fisipol UGM ini menambahkan dampak lain yang bisa ditimbulkan dari pernikahan dini, meliputi risiko menurunnya kesehatan reproduksi, beban ekonomi yang makin bertambah berat, kekerasan dalam rumah tangga, perceraian, dan bunuh diri. Untuk itu, pernikahan dini harus dice gah dengan meningkatkan kesadaran laki-laki dan perempuan sejak masih remaja.

Sebab, usia remaja merupakan masa tran sisi di mana anak masih suka meniru dan suka mencoba hal-hal yang baru. “Umum nya, anak remaja masih bergantung pada lingkungan sosial dan belum mampu mandiri, tetapi sudah ingin dilepas oleh orang tuanya untuk belajar mandiri,” ujarnya. (Priyo Setyawan)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0430 seconds (0.1#10.140)