Hingga Awal Februari, 700 Orang di Kobar Jadi Janda dan Duda
A
A
A
PANGKALAN - Tahun 2018 baru berjalan 40 hari, sudah banyak mamah muda (mahmud) di Pangkalan Bun, Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar), Kalteng menjanda. Data ini didapat dari Pengadilan Agama Kelas 1B, Pangkalan Bun.
Pada tahun 2017, ada 1.000 perkara perceraian yang ditangani dan 843 perkara sudah diputus. Ironisnya, 700 di antaranya merupakan warga Kabupaten Kotawaringin Barat, sementara sisanya merupakan warga dari kabupaten tetangga seperti Lamandau dan Sukamara. "Jadi pada 2018 ini sudah ada 700 warga Kobar yang berstatus janda atau duda."
Ratusan janda dan duda tersebut rata-rata berusia antara 20 tahun hingga 40 tahun, bahkan masih ada yang berusia sekitar 18 tahun saat diputus cerai.
Humas Pengadilan Agama Pangkalan Bun Ahmad Zuhri menjelaskan, dalam perkara perceraian yang ditangani ada dua kategori yakni perceraian yang diajukan oleh istri (cerai gugat) dan perceraian yang diajukan oleh suami (cerai talak). Secara umum, cerai gugat maupun talak ada sebanyak 843 perkara. Dari jumlah perkara tersebut masih ada 50 yang perkaranya masih berproses.
Sementara itu, dari jumlah tersebut ada 20 perkara yang dicabut karena hasil mediasi yang dilakukan pasangan tersebut bisa didamaikan.
Saat ditanyakan kenapa angka perceraian di Kobar masuk dalam kategori tinggi, Zuhri mengatakan, faktor ekonomi menempati peringkat pertama alasan terjadi perceraian, kemudian disusul faktor penelantaran atau ditinggal pergi suaminya, dan faktor perselingkuhan. "Kalau pada 2017 faktor yang paling dominan adalah masalah ekonomi," ungkapnya.
Menurutnya, alasan perceraian yang terjadi didominasi oleh masalah ekonomi yaitu sang suami tidak lagi memberikan nafkah lahir dan batin kepada istrinya. Kemudian, dilanjutkan oleh masalah perselingkuhan.
Pihaknya pada tahapan sidang sudah dilaksanakan memasuki sidang pertama sudah ada upaya untuk bagi pasangan mengurungkan niatnya bercerai dengan menggelar sidang mediasi. Walaupun di antara salah satu pasangan ada yang tidak hadir, pihaknya akan tetap mengadakan mediasi.
Ia mengakui bahwa kebanyakan perkara perceraian yang ditangani adalah sifatnya verstek atau sidang yang tidak dihadiri oleh salah satu pihak dari awal sidang sampai akhir sehingga hal ini menjadi kendala bagi Pengadilan Agama untuk mendamaikan kedua belah pihak.
Untuk menekan angka perceraian, berbagai upaya sudah dilakukan, di antaranya melalui Kementerian Agama Kotawaringin Barat dengan program Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4).
"Kita harapkan agar orang tua, keluarga, dan tokoh masyarakat dapat berperan dalam memberikan pencerahan kepada pasangan yang akan mengajukan gugatan cerai atau gugat talak."
Pada tahun 2017, ada 1.000 perkara perceraian yang ditangani dan 843 perkara sudah diputus. Ironisnya, 700 di antaranya merupakan warga Kabupaten Kotawaringin Barat, sementara sisanya merupakan warga dari kabupaten tetangga seperti Lamandau dan Sukamara. "Jadi pada 2018 ini sudah ada 700 warga Kobar yang berstatus janda atau duda."
Ratusan janda dan duda tersebut rata-rata berusia antara 20 tahun hingga 40 tahun, bahkan masih ada yang berusia sekitar 18 tahun saat diputus cerai.
Humas Pengadilan Agama Pangkalan Bun Ahmad Zuhri menjelaskan, dalam perkara perceraian yang ditangani ada dua kategori yakni perceraian yang diajukan oleh istri (cerai gugat) dan perceraian yang diajukan oleh suami (cerai talak). Secara umum, cerai gugat maupun talak ada sebanyak 843 perkara. Dari jumlah perkara tersebut masih ada 50 yang perkaranya masih berproses.
Sementara itu, dari jumlah tersebut ada 20 perkara yang dicabut karena hasil mediasi yang dilakukan pasangan tersebut bisa didamaikan.
Saat ditanyakan kenapa angka perceraian di Kobar masuk dalam kategori tinggi, Zuhri mengatakan, faktor ekonomi menempati peringkat pertama alasan terjadi perceraian, kemudian disusul faktor penelantaran atau ditinggal pergi suaminya, dan faktor perselingkuhan. "Kalau pada 2017 faktor yang paling dominan adalah masalah ekonomi," ungkapnya.
Menurutnya, alasan perceraian yang terjadi didominasi oleh masalah ekonomi yaitu sang suami tidak lagi memberikan nafkah lahir dan batin kepada istrinya. Kemudian, dilanjutkan oleh masalah perselingkuhan.
Pihaknya pada tahapan sidang sudah dilaksanakan memasuki sidang pertama sudah ada upaya untuk bagi pasangan mengurungkan niatnya bercerai dengan menggelar sidang mediasi. Walaupun di antara salah satu pasangan ada yang tidak hadir, pihaknya akan tetap mengadakan mediasi.
Ia mengakui bahwa kebanyakan perkara perceraian yang ditangani adalah sifatnya verstek atau sidang yang tidak dihadiri oleh salah satu pihak dari awal sidang sampai akhir sehingga hal ini menjadi kendala bagi Pengadilan Agama untuk mendamaikan kedua belah pihak.
Untuk menekan angka perceraian, berbagai upaya sudah dilakukan, di antaranya melalui Kementerian Agama Kotawaringin Barat dengan program Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4).
"Kita harapkan agar orang tua, keluarga, dan tokoh masyarakat dapat berperan dalam memberikan pencerahan kepada pasangan yang akan mengajukan gugatan cerai atau gugat talak."
(zik)