Air untuk Menghidupi Negeri, Konservasi Citarum

Kamis, 01 Februari 2018 - 11:09 WIB
Air untuk Menghidupi Negeri, Konservasi Citarum
Air untuk Menghidupi Negeri, Konservasi Citarum
A A A
SUNGAI Citarum merupakan sungai terbesar dan terpanjang di Tatar Pasundan. Jutaan orang tergantung secara langsung pada sungai yang membelah Provinsi Jawa Barat tersebut.

Tingginya ketergantungan tersebut sangatlah disadari betul oleh Perum Jasa Tirta II (PJT II) selaku pengelola Waduk Jatiluhur. Sehingga BUMN ini berkomitmen untuk tetap menjaga keberlangsungan aliran sungai itu, baik dari aspek kuantitas maupun kualitasnya. Dengan mengusung tagline "Air Untuk Menghidupi Negeri", sangatlah nampak adanya fungsi sosial dari sebuah perusahaan yang tidak hanya mengejar profit. Tapi adanya peran konservasi yang menonjol di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum, mulai dari hulu hingga hilir.

Berbagai terobososan pun dilakukan PJT II, agar Sungai Citarum itu tetap bersih. Direktur Utama PJT II Djoko Saputro, mengungkapkan, banyak hal yang sudah dilakukannya untuk mewujudkan Citarum bersih, agar Waduk Jatiluhur lebih maksimal dalam menjalan fungsi irigasi bagi areal persawahan, penyediaan air baku, serta pembangkit listrik untuk interkoneksi Jawa-Bali. "Perusahaan kami ini memiliki fungsi sosial yang sangat besar. Maka, kelestarian aliran sungai, baik anak Sungai Citarum maupun Sungai Citarum bisa tetap terjaga. Tidak hanya kelestarian di daerah hulu, tapi juga hingga ke hilir," ungkap Djoko kepada KORAN SINDO.

Terobosan-terobosan yang dilakukannya, antara lain merealisasikan sterilisasi Waduk Jatiluhur dari keramba jaring apung (KJA) di tahun ini. Jumlah KJA yang kini sudah membengkak menjadi sekitar 33.000 petak harus menjadi zero atau nol. Sehingga kualitas air semakin membaik yang berimbas pada lamanya usia bendungan.

Alasan lainnya, sterilisasi KJA ini merupakan kebijakan pemerintah pusat tentang normalisasi Sungai Citarum, atau istilahnya Citarum Harum. Karena KJA sendiri menyumbang cukup besar terhadap penurunan kualitas air Waduk Jatiluhur. Hal itu diakibatkan pakan yang tidak termakan oleh ikan, sehingga menjadi endapan dan mencemari air.

"Waduk Jatiluhur berada pada aliran Sungai Citarum. Maka ketika ada normalisasi sungai, secara otomatis perairan waduk pun harus dinormalkan," ungap dia.

Program zero KJA sendiri sebenarnya sudah berlangsung cukup lama, proses pembersihannya dilakukan secara bertahap. Akhir 2017 lalu, jelas Djoko, baru sebanyak 6.000 petak KJA yang berhasil ditertibkan. Penertiban ini pun tidak hanya melibatkan PJT II, melainkan juga sejumlah stakeholder yang ada, seperti TNI/Polri, kejaksaan, serta unsur terkait lainnya.

Ke depannya, pola pembudidayaan ikan bakal digulirkan melalui program pengembangan ikan tangkap darat berbasis budidaya. Ikan ditebar dan dibiarkan tumbuh secara alamiah dan warga pun bisa menangkap ikan itu. Mengawali program itu, penebaran benih sebenarnya sudah dilakukan beberapa waktu lalu, yakni ketika Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan menebar sebanyak 2,3 juta ekor ikan, yang terdiri jenis bandeng air tawar, nila nirwana, taswes, serta ikan panon beureum.

Terobosan lain untuk normalisasi Sungai Citarum, adalah dengan pelaksanaan kegiatan konservasi berbasiskan EBT (Biogas) dan Pemberdayaan Masyarakat. Kegiatan ini sesuai dengan semangat "Air Untuk Menghidupi Negeri", yang dicanangkan pada November 2016 lalu. Selain sebagai upaya pengurangan pencemaran berbasis pemberdayaan masyarakat.

Menurut Djoko, masyarakat banyak memperoleh beragam manfaat dengan bergulirnya program biogas ini, terutama bagi para peternak sapi di Kampung Pada mukti, Desa Margamukti, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. Awalnya di perkampungan itu, banyak peternak yang membuang kotoran hewan (kohe) ke Sungai Citarum dan anak Sungai Citarum.

Akibatnya sudah bisa dipastikan, aliran sungai itu menjadi tercemar. Sehingga dilakukan langkah-langkah untuk mengedukasi masyarakat soal pemanfaatan kohe itu agar berdampak positif terhadap kelestarian lingkungan dan me ningkatkan nilai tambah ekonomi. "Pembangunan instanlasi biogas inilah yang men jadi solusi atas persoalan yang terjadi di Kampung Padamukti. Sekarang ketika instalasi biogas itu sudah terbangun, masyarakat setempat sudah mulai merasakan manfaatnya," ujar dia.

Manfaat tersebut, di antaranya kohe sudah menjadi sumber energi baru terbarukan berupa bahan bakar untuk kebutuhan sehari-hari, serta pemenuhan kebutuhan listrik. Selain ampas dari kohe itu menjadi pupuk organik serta media budidaya cacing. Pupuk organik yang di hasilkan juga banyak dimanfaatkan warga untuk bercocok tanam di pekarangan rumah. "Tak heran di sekitar rumah pengguna biogas itu menjadi asri, hijau oleh sayuran. Penerapan program ini akan terus kita tambah, sehingga tidak ada lagi warga di wilayah lain yang membuang kohe ke sungai," terangnya.

Sementara itu, banyaknya kali mati (oxbow), terutama di wilayah Kabupaten Bandung, juga tak luput dari perhatian PJT II. Oxbow yang sebelumnya terbengkalai dan dijadikan tempat pembuangan sampah bagi warga sekitar bantaran sungai, telah disulap menjadi kawasan konservasi. Sampah yang sempat menggunung berhasil disterilkan. Kini oxbow itu tampak menjadi aliran sungai yang bersih dan asri. Tidak lagi terkesan kumuh dan menjadi sarang penyakit. Bahkan, aliran sungai mati ini bisa digunakan untuk berbagai aktivitas, seperti memancing dan wisata keluarga.

Humas PJT II Jatiluhur
(amm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4408 seconds (0.1#10.140)