Pendarahan Akibat DBD, 2 Bocah Blitar Tewas
A
A
A
BLITAR - Dua pengidap penyakit demam berdarah dengue shock syndrom di Kabupaten Blitar, Jawa Timur, meninggal dunia. Sebelum meregang nyawa kedua korban sempat mengalami pendarahan hebat.
"Masing masing (korban) masih berusia dibawah 14 tahun," ujar Kepala Seksi Pengendalian Pemberantasan Penyakit Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Blitar Eko Wahyudi kepada wartawan.
Kedua bocah bernasib nahas itu warga Kecamatan Sanankulon dan Garum. Diduga keduanya terlambat memperoleh sentuhan medis. Saat muncul gejala panas tinggi, pusing, ingin muntah hingga timbul bintik merah di sejumlah lipatan tubuh.
Pihak keluarga masih membiarkan di rumah. Keluarga baru bergegas membawa ke rumah sakit setelah kondisi keduanya betul betul kritis. "Ya, dimungkinkan terlambat ditangani. Kondisinya sudah terlanjur parah," terang Wahyudi menyesalkan.
Wahyudi mengimbau kepada keluarga, khususnya orang tua untuk tidak memandang sebelah mata penyakit DBD. Acapkali para orang tua memandang remeh gejala suhu tinggi, pusing dan muntah. "Padahal akibatnya bisa fatal. Apalagi bila sudah terjadi pendarahan," terangnya.
Wahyudi juga mengatakan kasus kematian akibat gigitan nyamuk Aedes Aigyptie di Kabupaten Blitar relatif tinggi. Mengacu tahun sebelumnya angka kematian DBD sebesar 2,8 persen. Sementara Kementrian kesehatan menargetkan kasus kematian maksimal 2 persen. Sayangnya Wahyudi tidak memberi rincian angka.
"Kasus kematian akibat penyakit DBD masih relatif tinggi. Kita menargetkan bisa ditekan hingga satu persen," terangnya.
Wahyudi menambahkan meski angka kematian masih relatif tinggi, jumlah kasus DBD cenderung turun. Tercatat sepanjang bulan Januari hingga Oktober 2017, kasus DBD mencapai 70 kasus.
Sementara pada bulan yang sama di tahun 2016, jumlah kasus mencapai 306 kasus.
Zaenal Arifin, warga Kecamatan Wonodadi mengatakan, DBD masih menjadi kasus tahunan. Penyakit DBD masih juga muncul di setiap musim penghujan. Arifin menilai hal itu membuktikan masih banyak masyarakat yang belum memiliki kesadaran pentingnya kebersihan lingkungan.
"Masing masing (korban) masih berusia dibawah 14 tahun," ujar Kepala Seksi Pengendalian Pemberantasan Penyakit Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Blitar Eko Wahyudi kepada wartawan.
Kedua bocah bernasib nahas itu warga Kecamatan Sanankulon dan Garum. Diduga keduanya terlambat memperoleh sentuhan medis. Saat muncul gejala panas tinggi, pusing, ingin muntah hingga timbul bintik merah di sejumlah lipatan tubuh.
Pihak keluarga masih membiarkan di rumah. Keluarga baru bergegas membawa ke rumah sakit setelah kondisi keduanya betul betul kritis. "Ya, dimungkinkan terlambat ditangani. Kondisinya sudah terlanjur parah," terang Wahyudi menyesalkan.
Wahyudi mengimbau kepada keluarga, khususnya orang tua untuk tidak memandang sebelah mata penyakit DBD. Acapkali para orang tua memandang remeh gejala suhu tinggi, pusing dan muntah. "Padahal akibatnya bisa fatal. Apalagi bila sudah terjadi pendarahan," terangnya.
Wahyudi juga mengatakan kasus kematian akibat gigitan nyamuk Aedes Aigyptie di Kabupaten Blitar relatif tinggi. Mengacu tahun sebelumnya angka kematian DBD sebesar 2,8 persen. Sementara Kementrian kesehatan menargetkan kasus kematian maksimal 2 persen. Sayangnya Wahyudi tidak memberi rincian angka.
"Kasus kematian akibat penyakit DBD masih relatif tinggi. Kita menargetkan bisa ditekan hingga satu persen," terangnya.
Wahyudi menambahkan meski angka kematian masih relatif tinggi, jumlah kasus DBD cenderung turun. Tercatat sepanjang bulan Januari hingga Oktober 2017, kasus DBD mencapai 70 kasus.
Sementara pada bulan yang sama di tahun 2016, jumlah kasus mencapai 306 kasus.
Zaenal Arifin, warga Kecamatan Wonodadi mengatakan, DBD masih menjadi kasus tahunan. Penyakit DBD masih juga muncul di setiap musim penghujan. Arifin menilai hal itu membuktikan masih banyak masyarakat yang belum memiliki kesadaran pentingnya kebersihan lingkungan.
(rhs)