Ini Penyebab Gas Melon Subsidi di DIY Langka
A
A
A
YOGYAKARTA - Hampir satu bulan terakhir, warga masyarakat di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) kesulitan mendapatkan gas melon berukuran tiga kilogram (3 kg). Sejumlah pangkalan dan penjualan eceran kehabisan stok barang bersubsidi itu.
"Kami juga bingung kenapa sudah digelontor kok masih kurang," kata Ketua Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas (Hiswana Migas) DIY, Siswanto di Kepatihan, Yogyakarta, Jum'at (15/9/2017).
Ia memprediksi banyak dari pengguna gas bersubsudi itu tidak sesuai peraturan pemerintah. Sebab, gas subsidi itu diperuntukan bagi masyarakat kurang mampu yang rata-rata pendapatan di bawah Rp1,5 juta perbulan.
"Banyak masyarakat yang seharusnya tidak membeli gas bersubsidi, tetapi praktek di lapangan menggunakannya. Begitu juga industri dan pelaku bisnis yang menggunakan gas subsidi 3 kg," katanya.
Seharusnya, gas subsidi itu bukan untuk kalangan pengusaha dan masyarakat mampu. Karena banyak yang menggunakan gas melon tersebut, otomanis mengurangi jatah yang seharusnya diperoleh bagi masyarakat kategori miskin.
Siswanto melihat aturan penggunaan gas 3 kg ini tidak jelas. Begitu juga peruntukannya. Aturan dari pemerintah pusat ini dinilai abu-abu karena tidak ada sanksi tegas, jika ditemukan kalangan menengah ke atas menggunakan gas bersubsidi.
Harga gas yang cukup jauh dari gas subsidi dan non subsidi membuat masyarakat mengambil jalan pintas membeli gas bersubsidi. Padahal, seharusnya gas subsidi itu diperuntukan hanya untuk rumah tangga miskin yang berhak membeli.
"Enggak ada sanksi tegas, aturan dari pusat ini abu-abu, regulasi di daerah juga tidak bisa memilah. Siapa yang beli gas tiga kilo tetap dilayani, jika barangnya ada," jelasnya.
Sebaiknya, kata dia, harga gas 3 kg itu dinaikkan. Namun, menaikkan harga gas 3 kg ini dinilai tidak populis karena aturan gas subsidi 3 kg ini dinilai bernuansa politis.
"Saat ini kan lagi jamannya pencitraan, kalau pemerintah menaikkan harga gas nanti tidak populis. Tapi menurut saya sebaiknya dinaikkan," katanya.
Di Gunung Kidul, kata dia, harga eceran gas 3 kg hingga Rp25.000. Masyarakat tetap membeli karena stok barang tidak banyak. Sehingga, harus membeli gas tersebut karena sudah menjadi kebutuhan.
"Mereka mau beli, yang penting ada barangnya karena saat ini sulit mendapat barang," tandasnya.
Di sama, Market Branch Manager Pertamina DIY-Surakarta, Dody Prasetyo mengaku sudah menambah pasokan untuk wilayah DIY. Bahkan, kata dia, gas subsidi untuk DIY sudah melebihi kuota yang ditentukan.
"Kita sudah menambah 1,45% dari kuota yang ditentukan saat ini," katanya.
Hingga akhir September 2017 ini, kuota untuk gas subsidi di DIY mencapai 25.680.000 tabung. Jumlah itu belum mencukupi karena pihak pertamina sudah menambah ribuan tabung untuk didistribusikan kepada masyarakat.
"Kita hanya mengimbau agar masyarakat yang mampu, industri, dan juga usaha-usaha lain berskala menengah ke atas untuk tidak menggunakan gas bersubsidi," katanya.
Pihaknya juga tidak memiliki kewenangan untuk menindak pelaku-pelaku usaha dan masyarakat mampu yang nekat mengonsumsi gas subsidi. Diharapkan, bagi pelaku usaha dan masyarakat menengah ke atas itu menggunakan gas non subsidi, mulai dari 5,kg, 12 kg, hingga 50 kg.
Sebagai gambaran, harga eceran untuk tabung gas subsidi di sekitar Prambanan, Sleman Rp20.000-23.000 pertabung. Sementara untuk harga gas non subsidi ukuran 5,5 kilogram Rp68.000, dan untuk gas tabung 12 kg seharga Rp140.000.
"Kami juga bingung kenapa sudah digelontor kok masih kurang," kata Ketua Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas (Hiswana Migas) DIY, Siswanto di Kepatihan, Yogyakarta, Jum'at (15/9/2017).
Ia memprediksi banyak dari pengguna gas bersubsudi itu tidak sesuai peraturan pemerintah. Sebab, gas subsidi itu diperuntukan bagi masyarakat kurang mampu yang rata-rata pendapatan di bawah Rp1,5 juta perbulan.
"Banyak masyarakat yang seharusnya tidak membeli gas bersubsidi, tetapi praktek di lapangan menggunakannya. Begitu juga industri dan pelaku bisnis yang menggunakan gas subsidi 3 kg," katanya.
Seharusnya, gas subsidi itu bukan untuk kalangan pengusaha dan masyarakat mampu. Karena banyak yang menggunakan gas melon tersebut, otomanis mengurangi jatah yang seharusnya diperoleh bagi masyarakat kategori miskin.
Siswanto melihat aturan penggunaan gas 3 kg ini tidak jelas. Begitu juga peruntukannya. Aturan dari pemerintah pusat ini dinilai abu-abu karena tidak ada sanksi tegas, jika ditemukan kalangan menengah ke atas menggunakan gas bersubsidi.
Harga gas yang cukup jauh dari gas subsidi dan non subsidi membuat masyarakat mengambil jalan pintas membeli gas bersubsidi. Padahal, seharusnya gas subsidi itu diperuntukan hanya untuk rumah tangga miskin yang berhak membeli.
"Enggak ada sanksi tegas, aturan dari pusat ini abu-abu, regulasi di daerah juga tidak bisa memilah. Siapa yang beli gas tiga kilo tetap dilayani, jika barangnya ada," jelasnya.
Sebaiknya, kata dia, harga gas 3 kg itu dinaikkan. Namun, menaikkan harga gas 3 kg ini dinilai tidak populis karena aturan gas subsidi 3 kg ini dinilai bernuansa politis.
"Saat ini kan lagi jamannya pencitraan, kalau pemerintah menaikkan harga gas nanti tidak populis. Tapi menurut saya sebaiknya dinaikkan," katanya.
Di Gunung Kidul, kata dia, harga eceran gas 3 kg hingga Rp25.000. Masyarakat tetap membeli karena stok barang tidak banyak. Sehingga, harus membeli gas tersebut karena sudah menjadi kebutuhan.
"Mereka mau beli, yang penting ada barangnya karena saat ini sulit mendapat barang," tandasnya.
Di sama, Market Branch Manager Pertamina DIY-Surakarta, Dody Prasetyo mengaku sudah menambah pasokan untuk wilayah DIY. Bahkan, kata dia, gas subsidi untuk DIY sudah melebihi kuota yang ditentukan.
"Kita sudah menambah 1,45% dari kuota yang ditentukan saat ini," katanya.
Hingga akhir September 2017 ini, kuota untuk gas subsidi di DIY mencapai 25.680.000 tabung. Jumlah itu belum mencukupi karena pihak pertamina sudah menambah ribuan tabung untuk didistribusikan kepada masyarakat.
"Kita hanya mengimbau agar masyarakat yang mampu, industri, dan juga usaha-usaha lain berskala menengah ke atas untuk tidak menggunakan gas bersubsidi," katanya.
Pihaknya juga tidak memiliki kewenangan untuk menindak pelaku-pelaku usaha dan masyarakat mampu yang nekat mengonsumsi gas subsidi. Diharapkan, bagi pelaku usaha dan masyarakat menengah ke atas itu menggunakan gas non subsidi, mulai dari 5,kg, 12 kg, hingga 50 kg.
Sebagai gambaran, harga eceran untuk tabung gas subsidi di sekitar Prambanan, Sleman Rp20.000-23.000 pertabung. Sementara untuk harga gas non subsidi ukuran 5,5 kilogram Rp68.000, dan untuk gas tabung 12 kg seharga Rp140.000.
(rhs)