Kisruh Penggunaan Dua Nama Sultan Berakhir
A
A
A
YOGYAKARTA - Kisruh penggunaan dua nama oleh Raja Yogyakarta dalam proses penetapan Gubernur DIY dan Wakil Gubernur DIY selesai sudah. Pansus Penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY merekomendasikan penggunaan satu nama sesuai UU No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY.
Anggota Pansus dari Fraksi Partai Golkar Sukarman mengungkapkan, rekomendasi pansus tersebut dituangkan dalam berita acara penetapan Sultan Hamengku Buwono X sebagai gubernur DIY periode 2017-2022. Dalam rekomendasi disebutkan tidak ada nama lain selain yang dimaksudkan oleh Pasal 1 angka 4 UU No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY.
"Sultan tidak lagi dapat menggunakan nama selain yang dimaksudkan dalam UUK No 13 Tahun 2012. Berita acara itu mengikat secara internal dan eksternal. Tidak ada nama lain yang berlaku di internal keraton dan di luar keraton," kata Sukarman seusai rapat pansus yang berlangsung sekitar delapan jam, mulai pukul 11.00 WIB hingga 19.00 WIB di Gedung DPRD DIY, Senin (24/7/2017).
Seperti diketahui, di dalam UUK DIY Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat (4) disebutkan bahwa Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, selanjutnya disebut kasultanan adalah warisan budaya bangsa yang berlangsung secara turun temurun dan dipimpin oleh Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifullah, selanjutnya disebut Sultan Hamengku Buwono.
Polemik soal nama ini muncul setelah 30 April 2015 Sultan mengeluarkan Sabdaraja yang mengganti namanya menjadi Hamengku Bawono Kasepuluh. Sabdaraja ini kemudian ditindaklanjuti dengan undhang (semacam surat keputusan) nomor 080/KHPP/rejep V/EHE.1948.2015 yang dikeluarkan oleh Kawedanan Hageng Panitra Pura pada 4 Mei 2015 dan ditandatangani oleh GKR Condrokirono.
Dalam rapat pansus kemarin, anggota pansus Sadar Narima juga mempertanyakan soal adanya dua undhang yang sama-sama ditandangani Penghageng Kawedanan Hageng Panitrapura Kasultanan GKR Condrokirono. Dalam penyerahan berkas kemarin, Keraton menggunakan undhang tertanggal 7 Maret 1989 tentang pengukuhan KGPH Haji Mangkubumi sebagai Sultan Hamengku Buwono X yang juga dikeluarkan oleh Kawedanan Hageng Panitrapura dan telah dilegalisasi oleh Condrokirono pada 14 Juli 2017.
"Munculnya dua nama Sultan itu telah menimbulkan kerancuan dan membingungkan masyarakat. Ini perlu diklarifikasi oleh pansus," katanya.
Di sisi lain, anggota pansus dari Fraksi PDIP Joko Purnomo menolak usulan klarifikasi dengan menghadirkan penghageng Panitrapura. Joko menyebut sesuai berkas yang dikirim ke Dewan, nama Sultan sudah sesuai dengan yang tercantum dalam UUK DIY.
Perdebatan sengit terjadi. Tercatat ada tujuh kali skors yang dilakukan oleh Ketua Pansus Yoeke Indra Agung Laksana akibat perdebatan sengit ini. Akhirnya, pansus mengundang Penghageng Panitra Pura untuk melakukan klarifikasi.
Kasultanan pun mengirimkan KPH Yudhahadiningrat mewakili Condrokirono untuk memenuhi klarifikasi dengan pansus. Di hadapan pansus, Romo Noer, sapaan akrab KPH Yudhahadiningrat, berdalih bahwa di lingkungan internal keraton adalah hal yang lazim jika sesorang abdi dalem mempunyai dua nama. Namun, terkait dua nama yang disandang Sultan, dirinya mempersilakan agar pansus bertanya langsung kepada yang bersangkutan.
Jawaban Romo Noer ini mengundang rekasi keras anggota pansus. Namun, seusai rapat diskors yang ketujuh, pansus akhirnya berhasil mencapai kata mufakat. Rumusan dalam berita acara menyebutkan secara terang nama sultan dan gubernur DIY adalah Sultan Hamengku Buwono X sesuai Pasal 1 angka 4 UU Keistimewaan DIY dan tidak mengenal nama lain.
Anggota Pansus dari Fraksi Partai Golkar Sukarman mengungkapkan, rekomendasi pansus tersebut dituangkan dalam berita acara penetapan Sultan Hamengku Buwono X sebagai gubernur DIY periode 2017-2022. Dalam rekomendasi disebutkan tidak ada nama lain selain yang dimaksudkan oleh Pasal 1 angka 4 UU No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY.
"Sultan tidak lagi dapat menggunakan nama selain yang dimaksudkan dalam UUK No 13 Tahun 2012. Berita acara itu mengikat secara internal dan eksternal. Tidak ada nama lain yang berlaku di internal keraton dan di luar keraton," kata Sukarman seusai rapat pansus yang berlangsung sekitar delapan jam, mulai pukul 11.00 WIB hingga 19.00 WIB di Gedung DPRD DIY, Senin (24/7/2017).
Seperti diketahui, di dalam UUK DIY Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat (4) disebutkan bahwa Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, selanjutnya disebut kasultanan adalah warisan budaya bangsa yang berlangsung secara turun temurun dan dipimpin oleh Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifullah, selanjutnya disebut Sultan Hamengku Buwono.
Polemik soal nama ini muncul setelah 30 April 2015 Sultan mengeluarkan Sabdaraja yang mengganti namanya menjadi Hamengku Bawono Kasepuluh. Sabdaraja ini kemudian ditindaklanjuti dengan undhang (semacam surat keputusan) nomor 080/KHPP/rejep V/EHE.1948.2015 yang dikeluarkan oleh Kawedanan Hageng Panitra Pura pada 4 Mei 2015 dan ditandatangani oleh GKR Condrokirono.
Dalam rapat pansus kemarin, anggota pansus Sadar Narima juga mempertanyakan soal adanya dua undhang yang sama-sama ditandangani Penghageng Kawedanan Hageng Panitrapura Kasultanan GKR Condrokirono. Dalam penyerahan berkas kemarin, Keraton menggunakan undhang tertanggal 7 Maret 1989 tentang pengukuhan KGPH Haji Mangkubumi sebagai Sultan Hamengku Buwono X yang juga dikeluarkan oleh Kawedanan Hageng Panitrapura dan telah dilegalisasi oleh Condrokirono pada 14 Juli 2017.
"Munculnya dua nama Sultan itu telah menimbulkan kerancuan dan membingungkan masyarakat. Ini perlu diklarifikasi oleh pansus," katanya.
Di sisi lain, anggota pansus dari Fraksi PDIP Joko Purnomo menolak usulan klarifikasi dengan menghadirkan penghageng Panitrapura. Joko menyebut sesuai berkas yang dikirim ke Dewan, nama Sultan sudah sesuai dengan yang tercantum dalam UUK DIY.
Perdebatan sengit terjadi. Tercatat ada tujuh kali skors yang dilakukan oleh Ketua Pansus Yoeke Indra Agung Laksana akibat perdebatan sengit ini. Akhirnya, pansus mengundang Penghageng Panitra Pura untuk melakukan klarifikasi.
Kasultanan pun mengirimkan KPH Yudhahadiningrat mewakili Condrokirono untuk memenuhi klarifikasi dengan pansus. Di hadapan pansus, Romo Noer, sapaan akrab KPH Yudhahadiningrat, berdalih bahwa di lingkungan internal keraton adalah hal yang lazim jika sesorang abdi dalem mempunyai dua nama. Namun, terkait dua nama yang disandang Sultan, dirinya mempersilakan agar pansus bertanya langsung kepada yang bersangkutan.
Jawaban Romo Noer ini mengundang rekasi keras anggota pansus. Namun, seusai rapat diskors yang ketujuh, pansus akhirnya berhasil mencapai kata mufakat. Rumusan dalam berita acara menyebutkan secara terang nama sultan dan gubernur DIY adalah Sultan Hamengku Buwono X sesuai Pasal 1 angka 4 UU Keistimewaan DIY dan tidak mengenal nama lain.
(zik)