Kampung Glintung Go Green: Dahulu Kumuh dan Langganan Banjir, Kini Asri

Jum'at, 14 Juli 2017 - 23:00 WIB
Kampung Glintung Go Green: Dahulu Kumuh dan Langganan Banjir, Kini Asri
Kampung Glintung Go Green: Dahulu Kumuh dan Langganan Banjir, Kini Asri
A A A
MALANG - Daerah kumuh dan langganan banjir di kawasan RW 23 Kelurahan Purwantoro, Kecamatan Blimbing, Kota Malang, kini nampak hijau sejuk oleh banyaknya tanaman. Daerah itu kini dikenal sebagai Kampung Glintung Go Green.

Kegiatan menabung air yang dilakukan masyarakat RW 23, Kelurahan Purwantoro, Kecamatan Blimbing, Kota Malang, Jawa Timur selama lima tahun tahun terakhir membuahkan hasil positif. Mata air di sumur-sumur warga tetap terjaga.

Dampak positif ini bukan sekadar dinikmati warga RW 23. Kini, warga di wilayah RW 5, yang lokasi wilayahnya berdampingan dengan RW 23, juga mulai merasakan hadirnya sumber air baru, sebagai hasil dari upaya menabung air dengan memanfaatkan sumur injeksi dan biopori.

Munculnya sumber air ini menurut Ketua RW 5 Kelurahan Purwantoro Ageng Wijayakusuma, terjadi mulai tahun ini. "Awalnya air yang muncul sedikit. Warga kami menyangka air tersebut dari pipa PDAM yang bocor. Setelah diselidiki, ternyata air tersebut berasal dari sumber baru," ungkapnya.

Sumber air baru ini muncul di banyak tempat. Beberapa di antaranya nampak mengalir deras di saluran air yang ada di permukiman warga. Selama ini, warga hanya mengalirkan air tersebut ke saluran pembuangan, supaya tidak mengganggu dan menggenang.

Dia bersama warganya masih bingung untuk pemanfaatan sumber-sumber air baru tersebut. "Wilayah kami sebelum menjadi permukiman memang banyak mata air. Tetapi, setelah itu banyak yang hilang karena tumbuhnya permukiman," kata Ageng.

Ketua RW 23 Kelurahan Purwantoro Bambang Irianto mengaku sudah menerima laporan munculnya sumber air baru di wilayah RW tetangga. "Kami juga melaporkannya ke Pemkot Malang dan Universitas Brawijaya (UB) Malang, untuk dilakukan kajian terkait mata air baru tersebut," tuturnya.

Apabila dalam kajian yang dilakukan memang ditemukan adanya keterkaitan munculnya mata air baru dengan gerakan menabung air yang telah dilakukan, dia sangat berharap ada upaya dukungan pemerintah dengan membuat sumur bor di wilayah RW 5, agar air bisa termanfaatkan.

Saat ini, di wilayah RW 23 terdapat sebanyak tujuh sumur injeksi dan ratusan biopori dengan berbagai ukuran. Selain mampu menabung air dengan meresapkan air yang melimpas di permukaan tanah secara cepat, biopori juga mampu menghasilkan pupuk organik.

Sebelum mengembangkan biopori dan sumur injeksi, kampung padat penduduk ini selalu menjadi langganan banjir di musim penghujan.

Apabila datang ke kampung ini dua atau tiga tahun silam, menurut Bambang, akan terasa sekali perbedaannya. Kampung Glintung selalu menjadi langganan banjir. Genangan air luapan dari selokan, sulit sekali surut dan menggenangi rumah warga. "Genangannya, bisa sampai setinggi 50 sentimeter," ujarnya.

Selain genangan air yang menggenangi rumah warga, jalanan kampung juga penuh dengan sampah, utamanya puntung rokok yang dibuang sembarangan. Hal ini membuat siapa saja yang datang ke kampung itu akan merasa risih.

Dia memulai gerakan revolusioner ini pada bulan Desember 2012. Setelah terpilih menjadi Ketua RW 23, mulai mencoba melakukan perubahan, dengan menawarkan membuat biopori atau sumur resapan. Tujuannya, air hujan bisa masuk ke dalam tanah dan tidak menggenangi rumah warga.

Tetapi, ide, gagasan, dan gerakan yang dibangun ketua RW tersebut tidak bisa diterima dengan mudah oleh warganya. "Bahkan ada yang mengajak bertengkar juga. Katanya, air dalam sumur resapan atau biopori dapat merusak tembok rumah dan septic tank," katanya.

Penolakan itu tidak membuat Bambang surut langkah. Upaya membuat biopori dimulai dari sekitar rumahnya sendiri. Hasilnya mulai nampak. Saat hujan deras, air tidak lagi menggenang dan langsung surut.

Melihat keberhasilan tersebut, warga yang lain mulai tertarik dan akhirnya bersedia membuat biopori. Saat ini, total jumlah biopori di kampung tersebut mencapai 600 buah lebih. Selain ukuran kecil, juga banyak biopori berukuran besar. Bahkan, kini mereka juga memiliki beberapa titik sumur penampung air yang dibangun bekerja sama dengan Universitas Brawijaya (UB) Malang.

Bambang mengatakan, lubang biopori tersebut bukan hanya berfungsi sebagai resapan air. Lubang juga dimanfaatkan untuk menampung sampah organik rumah tangga. Sampah organik ini akan terurai di dalam lubang biopori dan bisa dipanen sebagai pupuk organik.

Pupuk organik yang dipanen tersebut bukan hanya digunakan untuk menenam sayuran, tanaman obat, tanaman buah, dan tanaman obat keluarga di dalam kampung. Pupuk organik juga dikemas lalu dijual secara umum.

Panen pupuk organik ini bisa dilakukan setiap tiga bulan sekali pada musim penghujan. Tetapi, saat musim kemarau, panennya bisa mencapai selama tujuh bulan. "Satu lubang biopori bisa menghasilkan sekitar 10 kg pupuk organik. Sekali panen, kami bisa menghasilkan sekitar 5 ton pupuk organik," ungkap Bambang.

Apabila dijual di pasaran, pupuk organik ini dihargai Rp2.000/kg. Sehingga, apabila rata-rata sekali panennya mencapai 5 ton, ada pemasukan bagi kampung tersebut dari penjualan pupuk organik, sekitar Rp10 juta. Dia mengaku, sampah organik rumah tangga tidak lagi membikin masalah, tetapi bisa menghasilkan uang.

Kampung ini juga sudah mengelurkan dua peraturan kampung (perkam), yakni Perkam No. 1/2014 tentang Larangan Membuang Puntung Rokok Sembarangan dan Perkam No. 2/2014 tentang Larangan Membuang Sampah Sembarangan. Setiap pelanggar dikenai sanksi denda sebesar Rp10 ribu atau menyapu jalan selama minimal satu jam.

Kehadiran peraturan ini juga dibarengi dengan penyediaan asbak serta tempat sampah di setiap titik jalan. Tempat sampah disediakan untuk sampah anorganik yang dikelola bank sampah kampung. Sedangkan asbak disediakan untuk puntung rokok. Setiap hari, puntung rokok dikumpulkan warga, lalu dibersihkan dan dijadikan media tanam sayuran hidroponik organik.

Banyak inovasi dan kreativitas yang dikembangkan masyarakat kampung tersebut, demi menjaga kelestarian lingkungan. Selain itu, ada juga keuntungan ekonomi bagi setiap keluarga yang tinggal di kampung tersebut.

Kini, kampung padat penduduk ini terasa asri. Banyak tanaman buah, tanaman hias, sayuran, dan tanaman obat keluarga yang menghiasi setiap gang sempit, teras, dan ruang-ruang sempit di antara rumah-rumah warga.

Suasananya begitu bersih dan menyegarkan. Tidak nampak kekumuhan, meski perkampungan ini begitu padat. Jalan-jalan kampung yang sempit juga begitu banyak dihiasi oleh lubang-lubang biopori, untuk menampung air hujan.

Keberhasilan gerakan di Kampung Glintung ini mendorong Kementerian BUMN untuk mereplikasinya ke berbagai desa di Indonesia, utamanya desa-desa yang menjadi binaan Kementerian BUMN.

Keseriusan Kementerian BUMN terhadap gerakan menjaga kelestarian lingkungan berbasis pada masyarakat tersebut dibuktikan dengan hadirnya Deputi Bidang Energi Logistik Kawasan dan Pariwisata Kementerian BUMN Edwin Hidayat Abdulah.

Edwin menyatakan, gerakan di RW 23 ini sangat menginspirasi. Dari awalnya sebuah kampung yang terpuruk, akhirnya menjadi kampung yang sangat baik. "Kami akan menjadikannya sebagai kampung percontohan dan mencoba mereplikasi gerakan pemberdayaannya ke daerah-daerah lain," tuturnya.

Menurutnya, upaya yang dibangun di Kampung Glintung sangat layak untuk direplikasi demi meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Diharapkan, kerja sama antara Kementerian BUMN, dengan Kampung Glintung akan saling menguntungkan dan menebarkan kebaikan ke seluruh wilayah Indonesia.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5643 seconds (0.1#10.140)