Festival Sagu Perdana di Jayapura, Pohon Bernilai Filosofi Tinggi
A
A
A
JAYAPURA - Bagi masyarakat Papua, pohon sagu tak ubahnya sebagai pohon kehidupan. Selain sebagai makanan pokok, tanaman sagu juga merupakan pohon yang memiliki nilai filosofi tertinggi dibanding pohon lain, karena mampu menyediakan kebutuhan sandang, pangan sekaligus papan bagi masyarakat di Bumi Cenderawasih itu.
Begitu pentingnya tanaman sagu bagi masyarakat Papua, dari pedalaman hutan Sagu di Kampung Kwadewar, Distrik Waibu, Kabupaten Jayapura, masyarakat adat bersama para petani dan pencinta tanaman sagu mendeklarasikan tanggal 21 Juni sebagai hari sagu se-Papua.
Deklarasi ditandai dengan digelarnya Festival Sagu yang diselenggarakan sekelompok pencinta alam di tanah Sentani.
Dalam festival ditampilkan beberapa cara mengolah sagu sesuai dengan tradisinya, yakni cara tokok (membuat) sagu, cara membuat sagu bakar ulat khas suku Korowai, cara membangun spot haimaluop (rumah tinggi) milik suku Korowai, dan cara membakar sagu forna dengan sagu asar khas suku Sentani.
"Kita berharap Festival Sagu di Jayapura ini sebagai cikal bakal ditetapkannya hari sagu se-Papua bahkan Indonesia. Karena sagu tidak hanya ada di Papua, tapi juga seluruh Indonesia," kata inisiator kegiatan Festival Sagu Charles Tato.
Alasan dipilihnya 21 Juni sebagai hari sagu, karena bertepatan dengan hari krida, hari untuk melakukan sesuatu yang berkaitan dengan pertanian, serta masuk pekan lingkungan sedunia.
Selain menetapkan hari sagu se-Papua, dalam festival kemarin juga meminta pemerintah daerah untuk membuat perda tentang hutan sagu /kawasan sagu/kebun sagu untuk kesejahteraan masyarakat Papua.
Lalu, memperjuangkan sagu menjadi makanan sajian di Istana Negara Republik Indonesia. Juga memperjuangkan terlaksananya pekan Festival Sagu setiap tahun, dan berharap kehadiran Presiden pada festival sagu selanjutnya.
Charles melanjutkan, saat ini penyelamatan hutan sagu di tanah Papua mendesak dilakukan, karena kawasannya yang semakin tereksploitasi pembangunan.
Akibatnya terjadi pergeseran budaya dimana masyarakat lebih memilih makanan instan daripada makanan asli orang Papua yakni sagu.
Masyarakat Papua, lanjut Charles, tanpa sadar juga terdegradasi pola makannya dan mengganti makanan pokoknya ke nasi. "Padahal jauh sebelum ada nasi, masyarakat Papua sudah mengonsumsi banyak makanan dari alam seperti ubi-ubian, sayuran, dan sagu. Hutan adalah toko untuk berbelanja semua keperluan kita, tanpa mengeluarkan uang sepeser pun,” kata Charles.
Master Chef Jungle Papua ini menambahkan, selain dikonsumsi dalam bentuk makanan, akar sagu juga menghasilkan air bagi semua ekosistem yang tumbuh di tanah Papua.
Sementara papan pohon sagu dapat digunakan untuk lantai, atap, dan dinding rumah bahkan serat pohon sagu bisa dibuat pakaian dan beragam kerajinan.
"Intinya sagu ini sangat penting untuk kehidupan, bahkan salah satu alternatif ketahanan pangan sebagaimana yang diharapkan pemerintah," pungkas Charles.
Begitu pentingnya tanaman sagu bagi masyarakat Papua, dari pedalaman hutan Sagu di Kampung Kwadewar, Distrik Waibu, Kabupaten Jayapura, masyarakat adat bersama para petani dan pencinta tanaman sagu mendeklarasikan tanggal 21 Juni sebagai hari sagu se-Papua.
Deklarasi ditandai dengan digelarnya Festival Sagu yang diselenggarakan sekelompok pencinta alam di tanah Sentani.
Dalam festival ditampilkan beberapa cara mengolah sagu sesuai dengan tradisinya, yakni cara tokok (membuat) sagu, cara membuat sagu bakar ulat khas suku Korowai, cara membangun spot haimaluop (rumah tinggi) milik suku Korowai, dan cara membakar sagu forna dengan sagu asar khas suku Sentani.
"Kita berharap Festival Sagu di Jayapura ini sebagai cikal bakal ditetapkannya hari sagu se-Papua bahkan Indonesia. Karena sagu tidak hanya ada di Papua, tapi juga seluruh Indonesia," kata inisiator kegiatan Festival Sagu Charles Tato.
Alasan dipilihnya 21 Juni sebagai hari sagu, karena bertepatan dengan hari krida, hari untuk melakukan sesuatu yang berkaitan dengan pertanian, serta masuk pekan lingkungan sedunia.
Selain menetapkan hari sagu se-Papua, dalam festival kemarin juga meminta pemerintah daerah untuk membuat perda tentang hutan sagu /kawasan sagu/kebun sagu untuk kesejahteraan masyarakat Papua.
Lalu, memperjuangkan sagu menjadi makanan sajian di Istana Negara Republik Indonesia. Juga memperjuangkan terlaksananya pekan Festival Sagu setiap tahun, dan berharap kehadiran Presiden pada festival sagu selanjutnya.
Charles melanjutkan, saat ini penyelamatan hutan sagu di tanah Papua mendesak dilakukan, karena kawasannya yang semakin tereksploitasi pembangunan.
Akibatnya terjadi pergeseran budaya dimana masyarakat lebih memilih makanan instan daripada makanan asli orang Papua yakni sagu.
Masyarakat Papua, lanjut Charles, tanpa sadar juga terdegradasi pola makannya dan mengganti makanan pokoknya ke nasi. "Padahal jauh sebelum ada nasi, masyarakat Papua sudah mengonsumsi banyak makanan dari alam seperti ubi-ubian, sayuran, dan sagu. Hutan adalah toko untuk berbelanja semua keperluan kita, tanpa mengeluarkan uang sepeser pun,” kata Charles.
Master Chef Jungle Papua ini menambahkan, selain dikonsumsi dalam bentuk makanan, akar sagu juga menghasilkan air bagi semua ekosistem yang tumbuh di tanah Papua.
Sementara papan pohon sagu dapat digunakan untuk lantai, atap, dan dinding rumah bahkan serat pohon sagu bisa dibuat pakaian dan beragam kerajinan.
"Intinya sagu ini sangat penting untuk kehidupan, bahkan salah satu alternatif ketahanan pangan sebagaimana yang diharapkan pemerintah," pungkas Charles.
(nag)