Penyandang Tunanetra di Bandung Ciptakan Alat Anti Nyasar
A
A
A
BANDUNG - Panti Sosial Bina Netra (PSBN) Wyataguna di Jalan Pajajaran, Kota Bandung, punya cara unik agar siswanya tidak nyasar. PSBN Wyataguna merupakan lembaga pendidikan formal dan non formal bagi para tunanetra.
Di lokasi, terpasang tiga rambu suara di tiga titik berbeda. Satu di dekat pintu masuk area kantor, satu di perempatan jalan menuju Masjid, satu lagi di area menuju tempat belajar atau ruang kelas SLB.
Rambu suara itu berbentuk kotak berwarna hitam dengan ukuran sekira 20 x 10 centimeter yang dipasang di tempat khusus dengan ketinggian sekitar 2 meter.
Dengan alat itu, para tunanetra bisa mengetahui patokan lokasi yang akan dituju hanya dengan mendengar suara yang keluar dari rambu suara. Ada pun suara yang keluar rambu itu berupa musik.
Musiknya pun berbeda-beda agar para tunanetra di lokasi bisa membedakan area mana yang akan dituju. Untuk menuju ke area Masjid misalnya, yang terdengar dari rambu suara adalah musik dengan lagu-lagu Sunda.
Deki Andriansyah (33) yang merupakan fungsional PSBN Wyataguna merupakan pembuat alat tersebut. Ia membuat alat itu tanpa belajar pada siapa pun.
Ia pun menyebut penggunaan alat tersebut satu-satunya hanya ada di Indonesia di PSBN Wyataguna.
"Saya belajarnya otodidak. Rambu suara ini dibikin selama sebulan. Dipasangnya sendiri sudah sekitar empat bulan ini," kata Deki.
Dijelaskannya, rambu suara itu menggunakan sensor cahaya agar bisa berfungsi. Secara otomatis, alat itu akan berbunyi dari pukul 07.00-17.00 WIB. "Setelah itu otomatis mati, dia baru nyala lagi besok paginya sampai sore," ucapnya.
Deki yang juga penyandang tunanetra itu mengatakan, dipasangnya alat itu adalah keinginan Kepala PSBN Wyataguna.
Tujuannya agar siswa tunanetra di lokasi tidak lagi nyasar. Sebab selama ini banyak yang nyasar saat akan menuju ke berbagai tempat di lokasi.
"Apalagi (siswa) yang baru di sini memang banyak yang nyasar karena untuk pemahaman mereka untuk hapal area di sini butuh waktu tiga minggu sampai tiga bulan," jelasnya.
Wajar jika siswa cukup sulit menghapal rute di lokasi. Sebab mereka adalah para tunanetra. Jika tidak dibantu orang lain, mereka harus menggunakan tongkat sebagai alat bantu agar bisa sampai ke tempat mana yang dituju di lokasi.
Tapi bagi mereka yang sudah hapal seluruh area di lokasi, banyak yang tidak menggunakan tongkat saat berjalan seolah mereka tidak punya kekurangan pada penglihatannya.
Mereka sudah hapal berapa langkah yang harus ditempuh dan di mana harus belok agar sampai ke tempat tujuan.
Tapi berbeda untuk yang baru berada di lokasi. Sebagai tunanetra, berada di tempat baru jelas butuh penyesuaian kembali agar hapal dengan area sekitar.
Alat itu pun sengaja dipasang agar siswa baru relatif terbantu dengan rambu suara. "Dengan alat ini mereka bisa mengetahui arah, misalnya kalau mau ke Masjid, patokannya adalah musik Sunda," tutur Deki.
Meski bernama rambu suara, bukan berarti suara yang keluar dari alat itu terdengar keras. Musik yang keluar justru terdengar samar-samar dan nyaris tidak terdengar bagi yang bukan tunanetra karena frekuensinya rendah.
Meski begitu, bunyi yang ada memang disesuaikan dengan pendengaran para tunanetra yang biasanya lebih sensitif.
"Volumenya memang sudah diatur disesuaikan dengan kebutuhan tunanetra. Tunanetra itu suara serendah apapun dia lebih sensitif. Meski ini suaranya rendah, tapi terdengar oleh mereka karena ada rambatan suara, saya menyebutnya ada harmoni modulasi otak," jelasnya.
Adapun jangkauan suara musik yang keluar dari rambu itu bisa mencapai lebih dari 10 meter. Bahkan bagi yang pendengarannya lebih sensitif, mereka bisa mendengarkan musik itu dari jarak yang lebih jauh.
Dengan dipasangnya rambu suara, para siswa di lokasi diharapkan akan benar-benar mandiri. Sehingga mereka tidak perlu membutuhkan bantuan orang lain untuk menuju ke berbagai tempat di lokasi.
Ia pun berharap alat itu ditambah dan dipasang di lebih banyak titik. Tapi persoalan anggaran menjadi kendala sehingga saat ini jumlah alat belum bisa ditambah.
Ia bahkan berkeinginan kelak di seluruh wilayah di Kota Bandung terdapat rambu-rambu serupa. Sehingga ketika tunanetra berada di tempat umum tidak akan kesulitan karena terdapat patokan.
Minimal di setiap belokan ada suara yang memberikan patokan agar tunanetra belok ke kiri atau kanan.
Di lokasi, terpasang tiga rambu suara di tiga titik berbeda. Satu di dekat pintu masuk area kantor, satu di perempatan jalan menuju Masjid, satu lagi di area menuju tempat belajar atau ruang kelas SLB.
Rambu suara itu berbentuk kotak berwarna hitam dengan ukuran sekira 20 x 10 centimeter yang dipasang di tempat khusus dengan ketinggian sekitar 2 meter.
Dengan alat itu, para tunanetra bisa mengetahui patokan lokasi yang akan dituju hanya dengan mendengar suara yang keluar dari rambu suara. Ada pun suara yang keluar rambu itu berupa musik.
Musiknya pun berbeda-beda agar para tunanetra di lokasi bisa membedakan area mana yang akan dituju. Untuk menuju ke area Masjid misalnya, yang terdengar dari rambu suara adalah musik dengan lagu-lagu Sunda.
Deki Andriansyah (33) yang merupakan fungsional PSBN Wyataguna merupakan pembuat alat tersebut. Ia membuat alat itu tanpa belajar pada siapa pun.
Ia pun menyebut penggunaan alat tersebut satu-satunya hanya ada di Indonesia di PSBN Wyataguna.
"Saya belajarnya otodidak. Rambu suara ini dibikin selama sebulan. Dipasangnya sendiri sudah sekitar empat bulan ini," kata Deki.
Dijelaskannya, rambu suara itu menggunakan sensor cahaya agar bisa berfungsi. Secara otomatis, alat itu akan berbunyi dari pukul 07.00-17.00 WIB. "Setelah itu otomatis mati, dia baru nyala lagi besok paginya sampai sore," ucapnya.
Deki yang juga penyandang tunanetra itu mengatakan, dipasangnya alat itu adalah keinginan Kepala PSBN Wyataguna.
Tujuannya agar siswa tunanetra di lokasi tidak lagi nyasar. Sebab selama ini banyak yang nyasar saat akan menuju ke berbagai tempat di lokasi.
"Apalagi (siswa) yang baru di sini memang banyak yang nyasar karena untuk pemahaman mereka untuk hapal area di sini butuh waktu tiga minggu sampai tiga bulan," jelasnya.
Wajar jika siswa cukup sulit menghapal rute di lokasi. Sebab mereka adalah para tunanetra. Jika tidak dibantu orang lain, mereka harus menggunakan tongkat sebagai alat bantu agar bisa sampai ke tempat mana yang dituju di lokasi.
Tapi bagi mereka yang sudah hapal seluruh area di lokasi, banyak yang tidak menggunakan tongkat saat berjalan seolah mereka tidak punya kekurangan pada penglihatannya.
Mereka sudah hapal berapa langkah yang harus ditempuh dan di mana harus belok agar sampai ke tempat tujuan.
Tapi berbeda untuk yang baru berada di lokasi. Sebagai tunanetra, berada di tempat baru jelas butuh penyesuaian kembali agar hapal dengan area sekitar.
Alat itu pun sengaja dipasang agar siswa baru relatif terbantu dengan rambu suara. "Dengan alat ini mereka bisa mengetahui arah, misalnya kalau mau ke Masjid, patokannya adalah musik Sunda," tutur Deki.
Meski bernama rambu suara, bukan berarti suara yang keluar dari alat itu terdengar keras. Musik yang keluar justru terdengar samar-samar dan nyaris tidak terdengar bagi yang bukan tunanetra karena frekuensinya rendah.
Meski begitu, bunyi yang ada memang disesuaikan dengan pendengaran para tunanetra yang biasanya lebih sensitif.
"Volumenya memang sudah diatur disesuaikan dengan kebutuhan tunanetra. Tunanetra itu suara serendah apapun dia lebih sensitif. Meski ini suaranya rendah, tapi terdengar oleh mereka karena ada rambatan suara, saya menyebutnya ada harmoni modulasi otak," jelasnya.
Adapun jangkauan suara musik yang keluar dari rambu itu bisa mencapai lebih dari 10 meter. Bahkan bagi yang pendengarannya lebih sensitif, mereka bisa mendengarkan musik itu dari jarak yang lebih jauh.
Dengan dipasangnya rambu suara, para siswa di lokasi diharapkan akan benar-benar mandiri. Sehingga mereka tidak perlu membutuhkan bantuan orang lain untuk menuju ke berbagai tempat di lokasi.
Ia pun berharap alat itu ditambah dan dipasang di lebih banyak titik. Tapi persoalan anggaran menjadi kendala sehingga saat ini jumlah alat belum bisa ditambah.
Ia bahkan berkeinginan kelak di seluruh wilayah di Kota Bandung terdapat rambu-rambu serupa. Sehingga ketika tunanetra berada di tempat umum tidak akan kesulitan karena terdapat patokan.
Minimal di setiap belokan ada suara yang memberikan patokan agar tunanetra belok ke kiri atau kanan.
(nag)