Dikabarkan Sering Keluar Lapas, Anggoro Widjojo Dipindahkan ke Gunung Sindur
A
A
A
BANDUNG - Mantan Direktur PT Masaro Radiokom Anggoro Widjojo terpaksa dipindahkan dari Lapas Sukamiskin Bandung. Terpidana lima tahun kasus korupsi pengadaan sistem komunikasi radio terpadu (SKRT) di Departemen Kehutanan itu kini menghuni Lapas Gunung Sindur Bogor.
Kepala Kanwil Kemenkumham Jawa Barat Susi Susilawati mengakui, pemindahan terpidana yang divonis majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Juli 2014 itu tidak terlepas dari kabar yang beredar mengenai mudahnya sejumlah warga binaan Lapas Sukamiskin keluar masuk sesuka hati bahkan tanpa pengawalan.
"Kami selidiki dengan melibatkan Inspektorat Jenderal. Tadi malam sekitar pukul 00.30 Anggoro dipindahkan ke Lapas Gunung Sindur," ungkapnya kepada wartawan di Lapas Sukamiskin, Jalan AH Nasution Kota Bandung, Senin (6/2/2017).
Selain Anggoro, dikabarkan ada sejumlah warga binaan lain yang bisa melakukan hal yang serupa. Per orang bisa mengeluarkan uang Rp5-10 juta setiap kali keluar sesuai jarak dan waktunya.
Menurut Susi, warga binaan lapas bisa dipindahkan ke mana pun. Terlebih, Lapas Sukamiskin baru saja ditetapkan sebagai salah satu lapas industri yang dikhususkan ke percetakan. Karena itu juga belum tentu Anggoro dikembalikan.
"Pemindahan Anggoro untuk penelitian saja, sementara ke Bogor. Ada beberapa warga binaan lain yang sudah masuk daftar yang bisa dipindahkan," katanya.
Dia menambahkan, setiap warga binaan memiliki hak untuk keluar lapas terutama untuk berobat. Namun, ada prosedur yang harus dilalui seperti ada surat rujukan dokter hingga pengawalan dari petugas lapas dan polisi yang memberi laporan per jam.
"Selama ini laporannya baik-baik saja. Sampai pada akhirnya ada temuan dugaan penyimpangan. Kami masih klarifikasi. Ini harus diusut kepada pegawainya. Makanya secara internal kami akan mengusut, termasuk melibatkan inspektorat. Jika terbukti salah akan ditindak tegas," tuturnya.
Lebih lanjut dia menjelaskan, tidak menutup kemungkinan terjadinya penyimpangan meski sudah ada pengetatan prosedur. Tapi, kalau disebutkan tanpa pengawalan, Susi dengan tegas menyanggahnya.
"Pengawal warga binaan itu tidak pakai baju dinas. Tidak mungkin mereka keluar tanpa pengawalan. SOP-nya dua orang. Harus selalu ada dari polisi salah satunya," bebernya.
Dalam kesempatan yang sama, Kalapas Sukamiskin Dedi Handoko menyebutkan, warga binaan hanya diperbolehkan keluar masuk lapas dengan tiga alasan yakni sakit berat, keluarga inti meninggal dunia, dan menjadi wali pernikahan. Di luar itu pihak lapas seharusnya tidak memberikan izin.
"Sebelum saya datang (tiga bulanan) izin berobat banyak bisa 10 sampai 15 orang per hari. Sekarang yang benar-benar sakit baru bisa keluar. Sekarang cuma empat sampai lima orang. Kalau hanya gatal-gatal biasa atau pilek berobat. Makanya sekarang harus berdasarkan rujukan dokter. Tapi tidak menutup kemungkinan adanya penyelewengan," katanya.
Kepala Kanwil Kemenkumham Jawa Barat Susi Susilawati mengakui, pemindahan terpidana yang divonis majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Juli 2014 itu tidak terlepas dari kabar yang beredar mengenai mudahnya sejumlah warga binaan Lapas Sukamiskin keluar masuk sesuka hati bahkan tanpa pengawalan.
"Kami selidiki dengan melibatkan Inspektorat Jenderal. Tadi malam sekitar pukul 00.30 Anggoro dipindahkan ke Lapas Gunung Sindur," ungkapnya kepada wartawan di Lapas Sukamiskin, Jalan AH Nasution Kota Bandung, Senin (6/2/2017).
Selain Anggoro, dikabarkan ada sejumlah warga binaan lain yang bisa melakukan hal yang serupa. Per orang bisa mengeluarkan uang Rp5-10 juta setiap kali keluar sesuai jarak dan waktunya.
Menurut Susi, warga binaan lapas bisa dipindahkan ke mana pun. Terlebih, Lapas Sukamiskin baru saja ditetapkan sebagai salah satu lapas industri yang dikhususkan ke percetakan. Karena itu juga belum tentu Anggoro dikembalikan.
"Pemindahan Anggoro untuk penelitian saja, sementara ke Bogor. Ada beberapa warga binaan lain yang sudah masuk daftar yang bisa dipindahkan," katanya.
Dia menambahkan, setiap warga binaan memiliki hak untuk keluar lapas terutama untuk berobat. Namun, ada prosedur yang harus dilalui seperti ada surat rujukan dokter hingga pengawalan dari petugas lapas dan polisi yang memberi laporan per jam.
"Selama ini laporannya baik-baik saja. Sampai pada akhirnya ada temuan dugaan penyimpangan. Kami masih klarifikasi. Ini harus diusut kepada pegawainya. Makanya secara internal kami akan mengusut, termasuk melibatkan inspektorat. Jika terbukti salah akan ditindak tegas," tuturnya.
Lebih lanjut dia menjelaskan, tidak menutup kemungkinan terjadinya penyimpangan meski sudah ada pengetatan prosedur. Tapi, kalau disebutkan tanpa pengawalan, Susi dengan tegas menyanggahnya.
"Pengawal warga binaan itu tidak pakai baju dinas. Tidak mungkin mereka keluar tanpa pengawalan. SOP-nya dua orang. Harus selalu ada dari polisi salah satunya," bebernya.
Dalam kesempatan yang sama, Kalapas Sukamiskin Dedi Handoko menyebutkan, warga binaan hanya diperbolehkan keluar masuk lapas dengan tiga alasan yakni sakit berat, keluarga inti meninggal dunia, dan menjadi wali pernikahan. Di luar itu pihak lapas seharusnya tidak memberikan izin.
"Sebelum saya datang (tiga bulanan) izin berobat banyak bisa 10 sampai 15 orang per hari. Sekarang yang benar-benar sakit baru bisa keluar. Sekarang cuma empat sampai lima orang. Kalau hanya gatal-gatal biasa atau pilek berobat. Makanya sekarang harus berdasarkan rujukan dokter. Tapi tidak menutup kemungkinan adanya penyelewengan," katanya.
(zik)