AJI Tetapkan Polisi sebagai Musuh Kebebasan Pers

Sabtu, 07 Mei 2016 - 06:19 WIB
AJI Tetapkan Polisi...
AJI Tetapkan Polisi sebagai Musuh Kebebasan Pers
A A A
RANTAUPRAPAT - Aliansi Jurnalis Independen (AJi) Kota Medan menilai Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) gagal melindungi hak warga negaranya dalam menyampaikan pendapat atau ekspresi di tahun 2016.

Hal itu termasuk disebabkan sejumlah kasus pembubaran diskusi, pemutaran film, dan penyampaian ekspresi lainnya oleh kelompok intoleran yang terkesan ada pembiaran oleh polisi.

Koordinator Divisi Advokasi AJI Medan Dewantoro mengatakan, ranah kebebasan bereskpresi juga tengah mendapat ancaman serius, setelah lebih dari 170 kasus kriminalisasi karena dilaporkan melanggar UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Warga yang menjadi korban karena mengeluarkan pendapat melalui ranah internet ini terus bertambah.

“Peran polisi menegakkan hukum terkait kasus-kasus kebebasan berekspresi dan kebebasan berpendapat dinilai telah gagal. Maka AJI menetapkan polisi sebagai musuh kebebasan pers tahun 2016," katanya, Jumat (7/5/2016).

Ditetapkannya polisi sebagai musuh kebebasan pers telah terjadi sejak tahun 2007. Permasalahan kekerasan terhadap pers dalam berbagai bentuk juga kerap terjadi.

Misalnya, kasus terbaru peristiwa tewasnya kameraman Salam TV Zulfan Syaiful, akibat bergumul dengan perompak di perairan Belawan, usai melakukan tugas peliputan bersama rekan-rekannya yang lain, pada Rabu 27 April 2016.

“Dalam momentum Hari Kebebasan Pers Internasional tahun 2016, AJI Medan mendesak Polda Sumut untuk dapat mengungkap kasus yang menyebabkan tewasnya kameraman Salam TV Zulfan Syaiful, dan menangkap serta mengadili pelakunya,” pungkas Dewantoro.

Ketua AJI Medan Agoez Perdana menyatakan, WPFD diperingati sebagai momentum demi mempertahankan kebebasan media dari serangan atas independensi, dan memberikan penghormatan kepada para jurnalis yang gugur dalam menjalankan tugas.

Menurut Agus, jaminan atas hak asasi manusia telah diatur dalam pasal 19 DUHAM dan pasal 28F UUD 1945. Di dalamnya mencakup dua hal mendasar, yaitu hak untuk memperoleh informasi dan hak untuk menyebarluaskan informasi atau berekspresi.

Namun hak dasar itu justru kerap diabaikan oleh Negara. Salah satu bentuknya adalah yang terjadi belakangan ini, ketika berbagai ekspresi yang “berbeda” kerap kali digagalkan, karena tindakan intoleran kelompok warga yang lain.

“Tindakan represi atas kebebasan berekspresi warga adalah ancaman bagi kebebasan pers dan fungsi pers untuk mengembangkan pendapat umum,” tandasnya.
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0934 seconds (0.1#10.140)