Ini Hasil Investigasi KNKT soal Kecelakaan AirAsia QZ8501 di Selat Karimata
A
A
A
SURABAYA - Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) mengumumkan hasil investigasinya mengenai kecelakaan pesawat Airbus A320 AirAsia QZ8501 yang jatuh di perairan Selat Karimata, pada 28 Desember 2014 silam.
KNKT menyatakan, hal-hal seperti perizinan rute penerbangan tidak terkait dengan kecelakaan pesawat tersebut.
KNKT juga tidak menemukan tanda-tanda atau pengaruh cuaca yang menyebabkan terjadinya kecelakaan itu.
Investigasi KNKT terhadap catatan perawatan pesawat dalam 12 bulan terakhir menemukan adanya 23 kali gangguan yang terkait dengan sistem Rudder Travel Limiter di tahun 2014.
"Selang waktu antara kejadian menjadi lebih pendek dalam tiga bulan terakhir. Hal ini diawali oleh retakan solder pada electronic module pada Rudder Travel Limiter Unit (RTLU) yang lokasinya berada pada vertical stabilizer," kata salah satu investigator KNKT Nur Cahyo, saat jumpa pers di kantornya, Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta Pusat, Selasa (1/12/2015).
KNKT menyatakan, sistem perawatan pesawat yang ada saat itu belum memanfaatkan Post Flight Report (PFR) secara optimal, sehingga gangguan pada Rudder Travel Limiter (RTL) yang berulang tidak terselesaikan secara tuntas.
Setelah kedua Flight Augmentation Computer (FAC) Fault, maka autopilot dan autothrust tidak aktif. Pengendalian pesawat selanjutnya secara manual membuat pesawat memasuki upset condition dan stall.
Sejumlah faktor yang berkontribusi pada kecelakaan pesawat ini telah disimpulkan KNKT. Pertama, retakan solder pada electronic module di RTLU menyebabkan hubungan yang berselang dan berakibat pada masalah yang berkelanjutan dan berulang.
Kedua, sistem perawatan dan analisa di perusahaan yang belum optimal mengakibatkan tidak terselesaikannya masalah yang berulang. Kejadian yang sama terjadi sebanyak empat kali dalam penerbangan.
Ketiga, awak pesawat melaksanakan prosedur sesuai Electronic Centralized Aircraft Monitoring (ECAM) pada tiga gangguan yang pertama.
Setelah gangguan yang keempat, Flight Data Recorder (FDR) mencatat indikasi yang berbeda, indikasi ini serupa dengan kondisi dimana Circuit Breaker (CB) di-reset, sehingga berakibat terjadinya pemutusan arus listrik pada FAC.
Keempat, terputusnya arus listrik pada FAC menyebabkan autopilot disengage, flight control logic berubah dari normal law ke alternate law, rudder bergerak 2 derajat ke kiri. "Kondisi ini mengakibatkan pesawat berguling (roll) mencapai sudut 54 derajat," katanya.
Kelima, pengendalian pesawat selanjutnya secara manual pada Alternate Law oleh awak pesawat telah menempatkan pesawat dalam kondisi upset dan stall secara berkepanjangan, sehingga berada di luar batas-batas penerbangan yang dapat dikendalikan oleh awak pesawat.
"Menindaklanjuti kejadian ini, Indonesia AirAsia telah melakukan 51 tindakan perbaikan sebagai upaya dalam rangka memperbaiki keadaan yang ada," tuturnya.
Dalam investigasi ini, KNKT menerbitkan rekomendasi kepada Indonesia AirAsia, Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, Airbus, Federal Aviation Administratif dan European Aviation Safety Administration (EASA).
Sebuah pesawat Airbus A320 yang dioperasikan oleh PT Indonesia AirAsia berangkat dari Bandar Udara Juanda, Surabaya pada pukul 05.35 WIB, 28 Desember 2014, menuju Bandar Udara Changi, Singapura dengan ketinggian jelajah 32.000 kaki di atas permukaan air laut.
Pesawat itu mengangkut 162 orang, yang terdiri dari dua pilot, empat awak kabin dan 156 penumpang termasuk seorang engineer.
Sejak pukul 06.01 WIB, FDR mencatat terjadi empat kali aktivasi tanda peringatan (Master caution) yang disebabkan karena terjadinya gangguan pada sistem RTL. Gangguan ini juga mengaktifkan ECAM berupa pesan AUTO FLT RUD TRV LIM SYS.
Berdasarkan pesan ini, awak pesawat melaksanakan perintah sesuai dengan langkah-langkah yang tertera pada ECAM.
Tiga gangguan awal yang muncul pada sistem RTL, ditangani oleh awak pesawat sesuai dengan instruksi dari ECAM. Gangguan pada sistem RTL bukanlah suatu yang membahayakan penerbangan.
Gangguan keempat terjadi pada pukul 06.15 WIB, dan FDR mencatat penunjukan berbeda dengan tiga gangguan sebelumnya.
Namun menunjukkan kesamaan dengan kejadian pada tanggal 25 Desember 2014 saat pesawat masih di darat ketika CB dari FAC direset.
Tindakan awak pesawat setelah gangguan keempat ini mengaktifkan tanda peringatan kelima yang memunculkan pesan di ECAM berupa AUTO FLT FAC 1 FAULT dan keenam yang memunculkan pesan di ECAM berupa AUTO FLT FAC 1+2 FAULT.
Setelah AUTO FLT FAC 1+2 FAULT, auto-pilot dan auto thrust tidak aktif, sistem kendali fly by wire pesawat berganti dari normal law ke alternate law di mana beberapa proteksi tidak aktif.
Pengendalian pesawat oleh awak pesawat secara manual selanjutnya menyebabkan pesawat masuk dalam kondisi yang disebut sebagai upset condition dan stall hingga akhir rekaman FDR.
KNKT menyatakan, hal-hal seperti perizinan rute penerbangan tidak terkait dengan kecelakaan pesawat tersebut.
KNKT juga tidak menemukan tanda-tanda atau pengaruh cuaca yang menyebabkan terjadinya kecelakaan itu.
Investigasi KNKT terhadap catatan perawatan pesawat dalam 12 bulan terakhir menemukan adanya 23 kali gangguan yang terkait dengan sistem Rudder Travel Limiter di tahun 2014.
"Selang waktu antara kejadian menjadi lebih pendek dalam tiga bulan terakhir. Hal ini diawali oleh retakan solder pada electronic module pada Rudder Travel Limiter Unit (RTLU) yang lokasinya berada pada vertical stabilizer," kata salah satu investigator KNKT Nur Cahyo, saat jumpa pers di kantornya, Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta Pusat, Selasa (1/12/2015).
KNKT menyatakan, sistem perawatan pesawat yang ada saat itu belum memanfaatkan Post Flight Report (PFR) secara optimal, sehingga gangguan pada Rudder Travel Limiter (RTL) yang berulang tidak terselesaikan secara tuntas.
Setelah kedua Flight Augmentation Computer (FAC) Fault, maka autopilot dan autothrust tidak aktif. Pengendalian pesawat selanjutnya secara manual membuat pesawat memasuki upset condition dan stall.
Sejumlah faktor yang berkontribusi pada kecelakaan pesawat ini telah disimpulkan KNKT. Pertama, retakan solder pada electronic module di RTLU menyebabkan hubungan yang berselang dan berakibat pada masalah yang berkelanjutan dan berulang.
Kedua, sistem perawatan dan analisa di perusahaan yang belum optimal mengakibatkan tidak terselesaikannya masalah yang berulang. Kejadian yang sama terjadi sebanyak empat kali dalam penerbangan.
Ketiga, awak pesawat melaksanakan prosedur sesuai Electronic Centralized Aircraft Monitoring (ECAM) pada tiga gangguan yang pertama.
Setelah gangguan yang keempat, Flight Data Recorder (FDR) mencatat indikasi yang berbeda, indikasi ini serupa dengan kondisi dimana Circuit Breaker (CB) di-reset, sehingga berakibat terjadinya pemutusan arus listrik pada FAC.
Keempat, terputusnya arus listrik pada FAC menyebabkan autopilot disengage, flight control logic berubah dari normal law ke alternate law, rudder bergerak 2 derajat ke kiri. "Kondisi ini mengakibatkan pesawat berguling (roll) mencapai sudut 54 derajat," katanya.
Kelima, pengendalian pesawat selanjutnya secara manual pada Alternate Law oleh awak pesawat telah menempatkan pesawat dalam kondisi upset dan stall secara berkepanjangan, sehingga berada di luar batas-batas penerbangan yang dapat dikendalikan oleh awak pesawat.
"Menindaklanjuti kejadian ini, Indonesia AirAsia telah melakukan 51 tindakan perbaikan sebagai upaya dalam rangka memperbaiki keadaan yang ada," tuturnya.
Dalam investigasi ini, KNKT menerbitkan rekomendasi kepada Indonesia AirAsia, Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, Airbus, Federal Aviation Administratif dan European Aviation Safety Administration (EASA).
Sebuah pesawat Airbus A320 yang dioperasikan oleh PT Indonesia AirAsia berangkat dari Bandar Udara Juanda, Surabaya pada pukul 05.35 WIB, 28 Desember 2014, menuju Bandar Udara Changi, Singapura dengan ketinggian jelajah 32.000 kaki di atas permukaan air laut.
Pesawat itu mengangkut 162 orang, yang terdiri dari dua pilot, empat awak kabin dan 156 penumpang termasuk seorang engineer.
Sejak pukul 06.01 WIB, FDR mencatat terjadi empat kali aktivasi tanda peringatan (Master caution) yang disebabkan karena terjadinya gangguan pada sistem RTL. Gangguan ini juga mengaktifkan ECAM berupa pesan AUTO FLT RUD TRV LIM SYS.
Berdasarkan pesan ini, awak pesawat melaksanakan perintah sesuai dengan langkah-langkah yang tertera pada ECAM.
Tiga gangguan awal yang muncul pada sistem RTL, ditangani oleh awak pesawat sesuai dengan instruksi dari ECAM. Gangguan pada sistem RTL bukanlah suatu yang membahayakan penerbangan.
Gangguan keempat terjadi pada pukul 06.15 WIB, dan FDR mencatat penunjukan berbeda dengan tiga gangguan sebelumnya.
Namun menunjukkan kesamaan dengan kejadian pada tanggal 25 Desember 2014 saat pesawat masih di darat ketika CB dari FAC direset.
Tindakan awak pesawat setelah gangguan keempat ini mengaktifkan tanda peringatan kelima yang memunculkan pesan di ECAM berupa AUTO FLT FAC 1 FAULT dan keenam yang memunculkan pesan di ECAM berupa AUTO FLT FAC 1+2 FAULT.
Setelah AUTO FLT FAC 1+2 FAULT, auto-pilot dan auto thrust tidak aktif, sistem kendali fly by wire pesawat berganti dari normal law ke alternate law di mana beberapa proteksi tidak aktif.
Pengendalian pesawat oleh awak pesawat secara manual selanjutnya menyebabkan pesawat masuk dalam kondisi yang disebut sebagai upset condition dan stall hingga akhir rekaman FDR.
(sms)