Nasib Guru Seni Tatah Sungging di Wonogiri (2/Habis)
A
A
A
WONOGIRI - Meski honor guru teramat pahit, sebagai seniman, Siti Nur Khotimah (30) yang mengajar di SMPN 2 Kecamatan Manyaran, Wonogiri, berharap kurikulum tatah sungging nantinya bisa melejit dan dijadikan kurikulum daerah bahkan nasional.
Hal ini sebagai upaya untuk melestarikan warisan budaya. Diharapkan, kesejahteraan guru seni tatah sungging pun akan lebih diperhatikan.
Sekadar diketahui, SMP Negeri 2 Manyaran merupakan satu-satunya sekolah yang memiliki kurikulum unik dan jarang ada duanya dalam lembaga pendidikan di Tanah Air, yakni mata pelajaran tatah sungging atau seni memahat wayang.
Dari mata pelajaran seni bermuatan lokal tersebut, menghasilkan generasi seniman pembuat wayang dan berbagai souvenir dari kulit binatang yang indah menawan. Kelangkaan kurikulum yang satu ini bisa jadi dikarenakan tenaga pengajarnya juga semakin langka.
Memang, profesi guru seni tatah sungging seperti Siti, terhitung masih langka. Karena kelangkaan guru seni tatah sungging, ayahanda Siti yang telah pensiun dari guru sejak lima tahun lalu, masih difungsikan untuk mengajar di SMP Negeri 2 Manyaran.
Sayangnya, sejak masih aktif mengajar hingga pensiun dan difungsikan lagi sebagai guru, honornya tetap sama, yakni Rp200 ribu sebulan.
Keluarga seniman wayang tersebut tidak protes, hanya berharap seni tatah sungging tidak punah ditelan zaman.
"Honornya sangat-sangat minim, Mas. Hanya dua ratus ribu sebulan. Tetapi tidak apa-apa, yang penting seni tatah sungging ini jangan sampai punah. Itu saja," ungkap Dwi Sunaryo, ayah Siti.
Ironis memang. Di negeri ini, intelektualitas seni selalu dibatasi dengan formalitas administrasi. Meski upaya melestarikan budaya senantiasa digembar-gemborkan, kenyataannya pemerintah masih berpikir instan soal angggaran. Akibatnya, banyak kreativitas seni langka yang justru dibiarkan mati suri.
Hal ini sebagai upaya untuk melestarikan warisan budaya. Diharapkan, kesejahteraan guru seni tatah sungging pun akan lebih diperhatikan.
Sekadar diketahui, SMP Negeri 2 Manyaran merupakan satu-satunya sekolah yang memiliki kurikulum unik dan jarang ada duanya dalam lembaga pendidikan di Tanah Air, yakni mata pelajaran tatah sungging atau seni memahat wayang.
Dari mata pelajaran seni bermuatan lokal tersebut, menghasilkan generasi seniman pembuat wayang dan berbagai souvenir dari kulit binatang yang indah menawan. Kelangkaan kurikulum yang satu ini bisa jadi dikarenakan tenaga pengajarnya juga semakin langka.
Memang, profesi guru seni tatah sungging seperti Siti, terhitung masih langka. Karena kelangkaan guru seni tatah sungging, ayahanda Siti yang telah pensiun dari guru sejak lima tahun lalu, masih difungsikan untuk mengajar di SMP Negeri 2 Manyaran.
Sayangnya, sejak masih aktif mengajar hingga pensiun dan difungsikan lagi sebagai guru, honornya tetap sama, yakni Rp200 ribu sebulan.
Keluarga seniman wayang tersebut tidak protes, hanya berharap seni tatah sungging tidak punah ditelan zaman.
"Honornya sangat-sangat minim, Mas. Hanya dua ratus ribu sebulan. Tetapi tidak apa-apa, yang penting seni tatah sungging ini jangan sampai punah. Itu saja," ungkap Dwi Sunaryo, ayah Siti.
Ironis memang. Di negeri ini, intelektualitas seni selalu dibatasi dengan formalitas administrasi. Meski upaya melestarikan budaya senantiasa digembar-gemborkan, kenyataannya pemerintah masih berpikir instan soal angggaran. Akibatnya, banyak kreativitas seni langka yang justru dibiarkan mati suri.
(zik)