Hanya Ajal yang Memisahkan Persahabatan Sejati Painem- Saparini
A
A
A
Kisah persahabatan dua jamaah haji dari Kelompok Terbang (Kloter) 8 Embarkasi Medan, Painem Dalio binti Abdullah, 57, dan Saparini binti Baharuddin Abdullah, 50, layak diteladani.
Persahabatan keduanya begitu kekal, hanya ajal yang mampu memisahkan keduanya. Berawal dari seringnya mengikuti berbagai kegiatan pengajian, perwiritan, dan lainnya secara bersama, keduanya pun memutuskan untuk menunaikan ibadah haji secara bersama-sama pula. Pada 2010 lalu, keduanya mendaftarkan diri untuk menjadi duyufurrahman di sebuah bank milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Sebagai ibu rumah tangga, keduanya sangat rajin membantu suaminya dalam mencari rezeki untuk memenuhi kebutuhan keluarga serta melunasi Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH). “Istri saya itu mendaftar haji pada 2010 bersama temannya, bu Saparini. Alhamdulillah , di tahun pertama istri saya melunasi cicilan biaya haji untuk mendapatkan nomor porsi sebesar Rp25,5 juta.”
“Istri saya tidak bekerja, tapi saya yang kerja sebagai satpam di gudang elektronik dan alat-alat pertanian,” papar suami Painem , Muhammad Tayeb, 60, di rumah duka, Jalan Mangaan V Lingkungan 13 nomor 58, Mabar, Medan Deli, Sabtu (12/9). Tayeb menambahkan persahabatan almarhumah istrinya dengan almarhumah Saparini sudah terjalin sejak lama. Bahkan Tayeb tidak ingat kapan pertemanan mereka dimulai.
“Sejak kami berdomisili di sini pada 1980- an, istri saya dan bu Saparini sudah berteman akrab. Kemanamana, mereka selalu berdua seperti pergi ke pengajian berdua, ikut wirid berdua dan bahkan mendaftar haji pun berdua, sampai ke Tanah Suci pun mereka berdua,” ujarnya sembari menghapus airmata mengingat kenangan istrinya. Bahkan, ajal keduanya datang juga secara bersamaan.
Keduanya meninggal dunia akibat tertimpa crane raksasa di areal Masjidilharam pada Jumat (11/9). “Karena saking kompaknya, saat di Tanah Suci pun mereka selalu berdua. Buktinya, mereka berdua meninggal dunia tertimpa crane saat berdzikir usai menunaikan ibadah salat Magrib.
Itu informasi yang kami terima dari Pak Ilyas Halim langsung dari Mekkah, kepala KBIH Raudhoh tempat mereka berdua menjalankan bimbingan manasik haji,” jelasnya. Mungkin, kata Tayeb, Allah SWT sangat mencintai mereka berdua dan tidak ingin memisahkan persahabatan mereka, hingga mereka meregang nyawa.
Tayeb menambahkan, dia bersama istrinya sudah dikaruniai enam anak, namun dua di antaranya sudah meninggal dunia lebih dulu. “Sekarang, anak kami ada empat dan semuanya sudah menikah. Cucu kami ada sembilan. Kami sudah mengikhlaskan kepergiannya,” ujarnya. Namun demikian, Tayeb menyayangkan kejadian itu.
Soalnya sudah ada rencana, dia dan istrinya akan menunaikan ibadah umroh setelah kepulangan Painem dari berhaji di Tanah Suci. Namun sayang, rencana itu telah sirna. Allah SWT memiliki rencana lain. “Saya sendiri sudah pernah menunaikan ibadah haji 2007 lalu. Makanya, tahun ini istri saya yang berangkat sendiri, tanpa saya. Namun kami telah berjanji, untuk menunaikan ibadah umroh bersama.
Uang hasil kerja keras saya sebagai satpam sudah saya kumpulkan sedikit demi sedikit untuk biaya kami umroh. Namun kenyataannya berbeda. Istri saya sudah mendahului saya. Saya mendoakan agar dia tenang di sana dan mendapatkan tempat yang layak,” pungkasnya. Sementara itu, suami Saparini binti Saparuddin Abdullah, Ngatirin mengungkapkan jarak rumahnya dengan dan rumah almarhumah Painem begitu dekat.
Jarak rumah yang dekat itulah membuat persahabatan keduanya sangat erat terjalin. Ya, rumah kedua jamaah haji tersebut sama-sama berada di Jalan Mangaan V, Lingkungan 13 Mabar, Medan Deli. Rumah kedua jamaah haji itu hanya berbeda jarak 30- meteran saja. “Saya rasa, persahabatan mereka sudah puluhan tahun. Soalnya, sejak 1980- an kami di sini, mereka sudah bersahabat,” paparnya.
Ngatirin mengaku tidak memiliki firasat apapun terkait kepergian istrinya ke pangkuan Ilahi. Bahkan, satu hari sebelum kejadian itu, Ngatirin mengungkapkan almarmuhamah istrinya sempat meminta kiriman pulsa dari Medan. “Kebetulan, istri saya itu sering menelpon anak saya dan bahkan satu hari sebelumnya dia masih meminta diisikan pulsa. Semuanya, berjalan seperti biasa saja.
Ketika, dia menelepon, kami saling menanyakan kabar dan dia jawab baik-baik saja. Pokoknya, tidak ada firasat sama sekali. Itu mungkin, kami memang ikhlas melepas kepergiannya sejak awal, dia berangkat haji,” paparnya. Sebagai, suami, Ngatirin mendoakan agar istrinya mendapatkan pahala yang setimpal. “Karena, keberadaannya di Mekkah untuk beribadah, menunaikan ibadah haji. Mudah-mudahan saja, istri saya mendapatkan tempat yang sebaik-baiknya,” pungkasnya.
Masnauli Hasibuan Ingin Wafat di Tanah Air
Hati siapa yang tidak sedih ketika mendengar kabar orang tuanya meninggal dunia. Itulah yang dirasakan anakanak almarhumah Masnauli Hasibuan, 59, warga Desa Sisoma, Kecamatan Sosa, Kabupaten Padanglawas, yang menjadi korban runtuhnya crane di Majidilharam, Mekkah, Jumaat (11/9).
Isak tangis anak-anak Masnauli tidak bisa lagi ditahan ketika ratusan pelayat mendatangi rumah mereka. Mereka seakan-akan tidak menyangka jika ibunda yang mereka sayangi dan cintai menjadi korban. Ternyata, banyak firasat aneh yang dirasakan oleh anak-anak Masnauli sebelum kejadian crane runtuh.
Salmaidah Nasution, 25, putri kandung almarhumah Masnauli Hasibuan menceritakan, beberapa hari sebelum mendengar kabar orang tuanya meninggal, dia pernah bermimpi yang aneh. Dalam mimpi tersebut, dia melihat ada angin kencang. Selain itu, dia juga bermimpi giginya patah. Setelah terbangun dari tidurnya, perasaannya jadi tidak enak.
Namun, dia mencoba untuk tidak memikirkan hal-hal yang negatif terhadap ibunya. “Sebenarnya, firasat buruk saya sudah ada, karena mimpi yang aneh-aneh, seperti gigi saya copot hingga badai,”ucap Salmaidah Nasution kepada KORAN SINDO MEDAN, ketika ditemui di rumah duka Sabtu (12/9).
Mimpi yang dialami Salmaidah lalu disampaikan kepada saudaranya yang lain. Ternyata, hal serupa juga terjadi pada kakak Salmaidah yakni Nurhabibah Nasution. Menurutnya, sebelum mendengar kabar orang tuanya meninggal, dia pernah bermimpi kebakaran.”Dalam mimpi itu, saya melihat rumah orangtua saya ini terbakar,”ujarnya. Setelah mengalami kejadian tersebut, perasaan dia pun langsung tidak menentu.
Sebelum berangkat ke Mekkah, kata Nurhabibah, ibunya sempat memberi amanah agar anak-anaknya tidak bertengkar.Saat memberikan amanah tersebut, Masnauli terus menangis.”Sebelum ke Mekkah, orangtua saya sering menangis, karena ingin berpisah dengan kami,”tuturnya menceritakan mimpinya.
Saat ini, Nurhabibah hanya bisa berdoa agar arwah orang tuanya tersebut diterima di sisi Allah SWT. Lain lagi pernyataan anak lelaki Masnauli Hasibuan, Dirman Nasution, 38. Dirman bercerita, sebelum orangtuanya berangkat ke Mekkah, Masnauli menyebutkan kalimat yang aneh. Kalimat itu yakni “Saya tidak mau mati di Mekkah, saya mau mati di sini (Sisoma) saja,”.
Mendengar pernyataan Masnauli, dia langsung bertanya kepada ibunya. “Kenapa ibu ngomong seperti itu” kata Dirman menceritakan kembali kenangan tersebut. Namun, Masnauli hanya menangis dan tidak menjawab pertanyaan Dirman. Diceritakannya, keseharian ibunya hanya bekerja sebagai petani. Sejak ditinggal suaminya, dia harus menghidupi dirinya sendiri.
Masnauli menjadi panutan anak-anaknya karena tidak pernah mengeluh kepada anak-anaknya. Masnauli juga mempunyai perhatian yang besar kepada 16 cucu dari enam orang anaknya. ”Ibu saya sangat penyayang, terutama kepada 16 cucunya,”ujarnya. Dia menambahkan, apabila tidak ada kegiatan di rumah, Masnauli yang ramah selalu bermain dengan cucunya.
Selama hidupnya, para tetangga tidak pernah kecewa dengan sikap Masnauli. “Setahu saya, ibu tidak pernah ada sikap yang buat kecewa orang lain,”ujarnya. Dia berharap amal ibadah orang tuanya itu diterima disisi Allah SWT.
DICKY IRAWAN ZIA UL HAQ NASUTION
Medan-Padanglawas
Persahabatan keduanya begitu kekal, hanya ajal yang mampu memisahkan keduanya. Berawal dari seringnya mengikuti berbagai kegiatan pengajian, perwiritan, dan lainnya secara bersama, keduanya pun memutuskan untuk menunaikan ibadah haji secara bersama-sama pula. Pada 2010 lalu, keduanya mendaftarkan diri untuk menjadi duyufurrahman di sebuah bank milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Sebagai ibu rumah tangga, keduanya sangat rajin membantu suaminya dalam mencari rezeki untuk memenuhi kebutuhan keluarga serta melunasi Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH). “Istri saya itu mendaftar haji pada 2010 bersama temannya, bu Saparini. Alhamdulillah , di tahun pertama istri saya melunasi cicilan biaya haji untuk mendapatkan nomor porsi sebesar Rp25,5 juta.”
“Istri saya tidak bekerja, tapi saya yang kerja sebagai satpam di gudang elektronik dan alat-alat pertanian,” papar suami Painem , Muhammad Tayeb, 60, di rumah duka, Jalan Mangaan V Lingkungan 13 nomor 58, Mabar, Medan Deli, Sabtu (12/9). Tayeb menambahkan persahabatan almarhumah istrinya dengan almarhumah Saparini sudah terjalin sejak lama. Bahkan Tayeb tidak ingat kapan pertemanan mereka dimulai.
“Sejak kami berdomisili di sini pada 1980- an, istri saya dan bu Saparini sudah berteman akrab. Kemanamana, mereka selalu berdua seperti pergi ke pengajian berdua, ikut wirid berdua dan bahkan mendaftar haji pun berdua, sampai ke Tanah Suci pun mereka berdua,” ujarnya sembari menghapus airmata mengingat kenangan istrinya. Bahkan, ajal keduanya datang juga secara bersamaan.
Keduanya meninggal dunia akibat tertimpa crane raksasa di areal Masjidilharam pada Jumat (11/9). “Karena saking kompaknya, saat di Tanah Suci pun mereka selalu berdua. Buktinya, mereka berdua meninggal dunia tertimpa crane saat berdzikir usai menunaikan ibadah salat Magrib.
Itu informasi yang kami terima dari Pak Ilyas Halim langsung dari Mekkah, kepala KBIH Raudhoh tempat mereka berdua menjalankan bimbingan manasik haji,” jelasnya. Mungkin, kata Tayeb, Allah SWT sangat mencintai mereka berdua dan tidak ingin memisahkan persahabatan mereka, hingga mereka meregang nyawa.
Tayeb menambahkan, dia bersama istrinya sudah dikaruniai enam anak, namun dua di antaranya sudah meninggal dunia lebih dulu. “Sekarang, anak kami ada empat dan semuanya sudah menikah. Cucu kami ada sembilan. Kami sudah mengikhlaskan kepergiannya,” ujarnya. Namun demikian, Tayeb menyayangkan kejadian itu.
Soalnya sudah ada rencana, dia dan istrinya akan menunaikan ibadah umroh setelah kepulangan Painem dari berhaji di Tanah Suci. Namun sayang, rencana itu telah sirna. Allah SWT memiliki rencana lain. “Saya sendiri sudah pernah menunaikan ibadah haji 2007 lalu. Makanya, tahun ini istri saya yang berangkat sendiri, tanpa saya. Namun kami telah berjanji, untuk menunaikan ibadah umroh bersama.
Uang hasil kerja keras saya sebagai satpam sudah saya kumpulkan sedikit demi sedikit untuk biaya kami umroh. Namun kenyataannya berbeda. Istri saya sudah mendahului saya. Saya mendoakan agar dia tenang di sana dan mendapatkan tempat yang layak,” pungkasnya. Sementara itu, suami Saparini binti Saparuddin Abdullah, Ngatirin mengungkapkan jarak rumahnya dengan dan rumah almarhumah Painem begitu dekat.
Jarak rumah yang dekat itulah membuat persahabatan keduanya sangat erat terjalin. Ya, rumah kedua jamaah haji tersebut sama-sama berada di Jalan Mangaan V, Lingkungan 13 Mabar, Medan Deli. Rumah kedua jamaah haji itu hanya berbeda jarak 30- meteran saja. “Saya rasa, persahabatan mereka sudah puluhan tahun. Soalnya, sejak 1980- an kami di sini, mereka sudah bersahabat,” paparnya.
Ngatirin mengaku tidak memiliki firasat apapun terkait kepergian istrinya ke pangkuan Ilahi. Bahkan, satu hari sebelum kejadian itu, Ngatirin mengungkapkan almarmuhamah istrinya sempat meminta kiriman pulsa dari Medan. “Kebetulan, istri saya itu sering menelpon anak saya dan bahkan satu hari sebelumnya dia masih meminta diisikan pulsa. Semuanya, berjalan seperti biasa saja.
Ketika, dia menelepon, kami saling menanyakan kabar dan dia jawab baik-baik saja. Pokoknya, tidak ada firasat sama sekali. Itu mungkin, kami memang ikhlas melepas kepergiannya sejak awal, dia berangkat haji,” paparnya. Sebagai, suami, Ngatirin mendoakan agar istrinya mendapatkan pahala yang setimpal. “Karena, keberadaannya di Mekkah untuk beribadah, menunaikan ibadah haji. Mudah-mudahan saja, istri saya mendapatkan tempat yang sebaik-baiknya,” pungkasnya.
Masnauli Hasibuan Ingin Wafat di Tanah Air
Hati siapa yang tidak sedih ketika mendengar kabar orang tuanya meninggal dunia. Itulah yang dirasakan anakanak almarhumah Masnauli Hasibuan, 59, warga Desa Sisoma, Kecamatan Sosa, Kabupaten Padanglawas, yang menjadi korban runtuhnya crane di Majidilharam, Mekkah, Jumaat (11/9).
Isak tangis anak-anak Masnauli tidak bisa lagi ditahan ketika ratusan pelayat mendatangi rumah mereka. Mereka seakan-akan tidak menyangka jika ibunda yang mereka sayangi dan cintai menjadi korban. Ternyata, banyak firasat aneh yang dirasakan oleh anak-anak Masnauli sebelum kejadian crane runtuh.
Salmaidah Nasution, 25, putri kandung almarhumah Masnauli Hasibuan menceritakan, beberapa hari sebelum mendengar kabar orang tuanya meninggal, dia pernah bermimpi yang aneh. Dalam mimpi tersebut, dia melihat ada angin kencang. Selain itu, dia juga bermimpi giginya patah. Setelah terbangun dari tidurnya, perasaannya jadi tidak enak.
Namun, dia mencoba untuk tidak memikirkan hal-hal yang negatif terhadap ibunya. “Sebenarnya, firasat buruk saya sudah ada, karena mimpi yang aneh-aneh, seperti gigi saya copot hingga badai,”ucap Salmaidah Nasution kepada KORAN SINDO MEDAN, ketika ditemui di rumah duka Sabtu (12/9).
Mimpi yang dialami Salmaidah lalu disampaikan kepada saudaranya yang lain. Ternyata, hal serupa juga terjadi pada kakak Salmaidah yakni Nurhabibah Nasution. Menurutnya, sebelum mendengar kabar orang tuanya meninggal, dia pernah bermimpi kebakaran.”Dalam mimpi itu, saya melihat rumah orangtua saya ini terbakar,”ujarnya. Setelah mengalami kejadian tersebut, perasaan dia pun langsung tidak menentu.
Sebelum berangkat ke Mekkah, kata Nurhabibah, ibunya sempat memberi amanah agar anak-anaknya tidak bertengkar.Saat memberikan amanah tersebut, Masnauli terus menangis.”Sebelum ke Mekkah, orangtua saya sering menangis, karena ingin berpisah dengan kami,”tuturnya menceritakan mimpinya.
Saat ini, Nurhabibah hanya bisa berdoa agar arwah orang tuanya tersebut diterima di sisi Allah SWT. Lain lagi pernyataan anak lelaki Masnauli Hasibuan, Dirman Nasution, 38. Dirman bercerita, sebelum orangtuanya berangkat ke Mekkah, Masnauli menyebutkan kalimat yang aneh. Kalimat itu yakni “Saya tidak mau mati di Mekkah, saya mau mati di sini (Sisoma) saja,”.
Mendengar pernyataan Masnauli, dia langsung bertanya kepada ibunya. “Kenapa ibu ngomong seperti itu” kata Dirman menceritakan kembali kenangan tersebut. Namun, Masnauli hanya menangis dan tidak menjawab pertanyaan Dirman. Diceritakannya, keseharian ibunya hanya bekerja sebagai petani. Sejak ditinggal suaminya, dia harus menghidupi dirinya sendiri.
Masnauli menjadi panutan anak-anaknya karena tidak pernah mengeluh kepada anak-anaknya. Masnauli juga mempunyai perhatian yang besar kepada 16 cucu dari enam orang anaknya. ”Ibu saya sangat penyayang, terutama kepada 16 cucunya,”ujarnya. Dia menambahkan, apabila tidak ada kegiatan di rumah, Masnauli yang ramah selalu bermain dengan cucunya.
Selama hidupnya, para tetangga tidak pernah kecewa dengan sikap Masnauli. “Setahu saya, ibu tidak pernah ada sikap yang buat kecewa orang lain,”ujarnya. Dia berharap amal ibadah orang tuanya itu diterima disisi Allah SWT.
DICKY IRAWAN ZIA UL HAQ NASUTION
Medan-Padanglawas
(bbg)