Berakhirnya Penyamaran Tan Malaka setelah Seperempat Abad

Jum'at, 21 Agustus 2015 - 05:05 WIB
Berakhirnya Penyamaran...
Berakhirnya Penyamaran Tan Malaka setelah Seperempat Abad
A A A
HARI sudah mulai gelap saat azan magrib berkumandang. Tiba-tiba, pintu rumah Sukarni, tokoh pemuda gerakan bawah tanah, di Jalan Fort de Kock, diketuk oleh seorang tua bercelana hitam pendek dengan kaus lusuh, dan memegang topi.

Orang tua itu memperkenalkan dirinya sebagai Ilyas Hussien, perwakilan pemuda dari kawasan tambang di wilayah Bayah-Banten Kosha. Hussien adalah nama samaran Tan Malaka. Saat itu, Sukarni belum mengetahui siapa sebenarnya Hussien.

Ketidak tahuan Sukarni yang sangat disesalinya kemudian hari itu terjadi pada tanggal 14-15 Agustus 1945. Inilah awal keterlibatan Tan Malaka dalam Proklamasi Kemerdekaan, pada 17 Agustus 1945.

Dalam pertemuan itu, Sukarni dan Hussien banyak membicarakan soal-soal politik dan arah perjuangan kemerdekaan. Analisis Hussien yang dialektis-materialis sangat memikat dan sejalan dengan pemikiran Sukarni.

Saat pembicaraan sedang panas-panasnya, Sukarni teringat dengan agenda rapat kelompok pemuda pergerakan bawah tanah yang akan membahas berita menyerahnya Jepang dan merumuskan persiapan proklamasi.

Rapat itu awalnya akan dilangsungkan di rumah Sukarni. Karena saat itu Sukarni belum mengetahui sosok Hussien yang datang ke rumahnya, dia tidak memberitahu rencana rapat itu kepada Hussien.

Sikap Sukarni yang sangat hati-hati saat itu cukup beralasan. Apalagi setelah kalah perang, Jepang bertugas sebagai polisi keamanan yang menjaga status quo. Rapat rahasia akhirnya dipindah ke rumah M Nitimiharjo, di Jalan Bogor Lama.

Pada awalnya, Hussien ingin pamit pulang saat Sukarni akan menggelar rapat, di Jalan Bogor Lama. Tetapi Sukarni menahannya dengan alasan ingin melanjutkan pembicaraan yang terputus. Hussien diminta menginap di rumah Sukarni.

Dalam rapat itu, Sukarni mengingat analisis Hussien. Dengan nada berapi-api, Sukarni mendorong pembicaraan dalam rapat agar proklamasi kemerdekaan segera dilakukan dan diatur taktik strateginya selanjutnya.

Sukarni juga menceritakan dalam rapat itu usul Hussien yang meminta diadakannya persiapan seluruh murba untuk menghadapi kemungkinan timbulnya peperangan setelah dilangsungkannya proklamasi.

Setelah rapat, Sukarni kembali pulang. Namun dia tidak melanjutkan pembicaraannya yang terputus dengan Hussien. Bahkan dia tidak memberi tahu jika waktu itu Jepang telah kalah perang. Sukarni malah sibuk dengan pikirannya sendiri.

Besoknya, saat Hussien pamit untuk pulang, Sukarni berpesan kepada Hussien menyiapkan para pemuda di Bayah jika sewaktu-waktu terjadi proklamasi kemerdekaan. Dia mengatakan akan menyiapkan segala sesuatunya.

Akhirnya, Hussien pamit pulang. Namun, dia tidak kembali ke Banten. Melainkan melanjutkan perjalanan ke rumah Khairul Saleh, di Jalan Pengangsaan Barat No 30. Dengan berjalan kaki, Hussien pergi ke rumah Khairul Saleh.

Nahas, saat tiba di rumah itu, Khairul Saleh sedang tidak berada di rumah. Dengan perasaan kecewa, Hussien melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki mencari alamat orang-orang yang dikenalnya.

Saat tengah berjalan kaki itulah, Hussien mendengar pembicaraan orang-orang tentang menyerahnya Jepang. Besoknya, pada 16 Agustus 1945, Hussien kembali ke rumah Sukarni di Jalan Fort de Kock. Tetapi Sukarni tidak ada.

Dia lalu menuju ke rumah Khairul Saleh, di Jalan Pengangsaan Barat No 30, dan orang yang dicarinya juga tidak ada. Saat itu, Hussien sempat berputus asa kalau-kalau pemuda tidak mengambil tindakan apa-apa.

Namun, kekhawatiran Hussien sirna setelah pada 17 Agustus 1945, dia mendengar proklamasi kemerdekaan Indonesia telah dikumandangkan oleh Ir Soekarno dan Drs Mohammad Hatta atas nama rakyat Indonesia.

Tidak ada satu orang pun di Indonesia yang paling bahagia saat itu selain Hussien. Setelah hampir seperempat abad berjuang dalam perantauan di luar negeri, akhirnya Hussien dapat menyaksikan kemerdekaan bangsa yang sangat dicintainya.

Besoknya, pada 18 Agustus 1945, Hussien menemui Dr Subardjo, orang yang dikenalnya 26 tahun lalu, di Negeri Belanda. Setelah lama tidak bertemu, Subardjo kaget saat melihat Hussien masih hidup dan langsung mengenalinya.

"Wah, kau Tan Malaka? Saya kira kau sudah mati. Sebab saya baca di surat kabar kau disebut menjadi korban kerusuhan Birma. Ada kabar kau di Yerussalem, dan dikatakan mati dalam kerusuhan di Israel," terang Subardjo.

Mendengar cerita-cerita mengenai dirinya, Tan Malaka menjawab dengan bahasa Belanda, "Onkruid vergaat toch niet (Alang-alang tidak dapat musnah kalau tidak dicabut dengan akar-akarnya)."

"Sampai sekarang saya hidup incigno (tidak resmi), di bawah tanah. Sekarang Indonesia sudah merdeka, saya ingin hidup dan bergerak di atas tanah. Saya ingin menemui dan mengenal pemimpin-pemimpin Indonesia," tambahnya.

Sejak pertemuan dengan Subardjo, penyamaran Tan Malaka berakhir. Tan Malaka dibuang ke luar negeri sejak tahun 1922. Setelah seperempat abad hidup sebagai orang buangan dengan nama palsu, Tan Malaka kembali sebagai dirinya sendiri.

Dari Subardjo, Tan Malaka kemudian lalu dikenalkan dengan para pemimpin Indonesia, seperti Mr Iwa Koesoema Soemantri, Gatot Taroenamihardjo, dan Boentaran Martoatmodjo. Para pemimpin ini pernah aktif di Perhimpunan Indonesia (PI).

Dari rumah Subardjo, Tan Malaka lalu pindah ke Bogor. Namun begitu, perhubungan para tokoh itu dengan Tan Malaka terus berlanjut, bahkan semakin erat saja. Berbagai rencana aksi pun mulai melibatkan Tan Malaka.

Seperti dalam perencanaan kegiatan Kabinet Pertama Pemerintah Indonesia. Subardjo yang saat itu menjabat sebagai Menteri Luar Negeri meminta nasihat Tan Malaka tentang langkah-langkah yang pertama harus dikerjakan.

Tan Malaka lalu membuat propaganda dalam bentuk semboyan-semboyan yang kemudian ditulis oleh para pemuda di tembok-tembok, mobil, kereta api, dan seluruh tempat di Jakarta untuk menarik perhatian dunia.

Saat para pemuda berencana membuat rapat raksasa dan aksi demonstrasi di Lapangan Ikada, pada 19 September 1945, Tan Malaka juga dilibatkan. Dia mengusulkan demonstrasi dibuat dengan melibatkan massa yang sangat besar.

Dengan melibatkan massa yang sangat besar, Tan Malaka dan para pemuda radikal yang tergabung dalam Menteng 31 ingin mengukur seberapa jauh rakyat Indonesia mendukung proklamasi 17 Agustus 1945.

Seruan itu mendapatkan respon positif dari massa rakyat. Berpuluh-puluh gerbong kereta api dari Cikampek, Bogor, Tangerang, dan lain-lain daerah membawa massa rakyat ke lapangan Ikada.

Rakyat dari luar daerah, seperti Cirebon, Tegal, Banten, Bandung, dan lainnya juga hadir dalam rapat itu. Massa rakyat yang datang tidak bisa dibendung lagi, bagaikan air bah yang bergulung-gulung sejak pagi.

Sore harinya, saat rapat akan dimulai, Jepang mengeluarkan tank-tank dan pasukannya bersiap-siap di jalan-jalan sekitar lapangan Ikada. Mitraliur dipasang, dan bayonet dihunus. Suasana berubah menjadi tegang.

Di antara massa, terdapat pemuda Pramoedya Ananta Toer. Saat situasi sedang panas, DN Aidit naik ke atas mimbar untuk mengobarkan semangat rakyat dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Darah Rakyat.

Baru pada sore harinyalah Presiden Soekarno datang. Saat Soekarno berjalan di tengah lautan massa, tampak di sampingnya berjalan Tan Malaka dengan menggunakan topi dan celana pendek.

"Massa menjadi liar ketika melihatku. Meski dilengkapi dengan senapan mesin dan tank-tank, tentara Jepang tidak berani melaksanakan perintah atasannya untuk melarangku berpidato," kata Soekarno.

Di atas mimbar, Soekarno hanya berpidato selama lima menit. Dengan pelan, dalam pidatonya Soekarno meminta massa rakyat untuk membubarkan diri meninggalkan lapangan Ikada setelah menunggu berjam-jam.

"Apabila engkau masih setia dan percaya kepada Presidenmu, patuhilah perintahnya yang pertama. Pulanglah dengan tenang. Tinggalkan rapat ini sekarang juga dengan tertib dan teratur," demikian Soekarno.

Dengan ulasan singkat peran Tan Malaka dalam proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 ini diakhiri. Tulisan ini menyambut Peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-70.

Sumber Tulisan
Adam Malik, Riwayat Proklamasi Agustus 1945, Widjaya Jakarta, cetakan ketujuh 1982.
Sidik Kertapati, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, Pustaka Pena, Juli 2000.
Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Yayasan Bung Karno-Media Pressindo, cetakan kedua 2011.
Hendri F Isnaeni, Penyamaran Terakhir Tan Malaka di Banten 1943-1945, Mas Media Alam Semesta, cetakan pertama 2009.
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1258 seconds (0.1#10.140)