Mereka Pahlawan Masa Kini
A
A
A
Kau telah memberantas kebodohan, dengan berbekal kepandaian. Kau telah memajukan nasib bangsa Indonesia dengan kecerdasanmu, Memajukan nasib bangsa Indonesia menjadi Merdeka… Merdeka… Merdeka…
Itulah penggalan puisi yang dibacakan Dinda, 12, saat latihan persiapan acara peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-70 RI di lingkungannya. Dinda adalah satu dari seratusan anak yang hidup di bantaran Sungai Deli. Jarak rumah mereka hanya beberapa jengkal dari bibir sungai. Malam itu, Rabu (12/8), puluhan anak berkumpul berlatih bersama dalam penuh keceriaan.
Mereka berbagi peran, belasan anak membentuk lingkaran latihan seni peran dan teater. Terlihat ada enam remaja perempuan latihan tari persembahan, ada yang teriak-teriak latihan membaca puisi. Tidak ketinggalan anak-anak usia lima tahunan berkumpul berbincang ringan bercerita mengenai citacita dan masa depan. Semuanya dibimbing oleh sejumlah pemuda yang tergabung dalam Komunitas Peduli Anak dan Sungai Deli (Kopasude).
Mereka membaur dalam suasana riang. Seakan telah menemukan sosok pahlawan di lingkungan pinggiran sungai yang sudah lama mereka nantikan. Sosok pahlawan yang membuka jalan masa depan bagi anak-anak bantaran sungai yang mereka sebut sebagai Kampung Badur di Kelurahan Hamdan, Kecamatan Medan Maimun. Adryan Dwi Pradipta, Astarina, dan Ari Hidayat sudah tiba sejak awal di Kampung Badur.
Ryan-sapaan akrab Adryan Dwi Pradipta- merupakan alumni Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang saat ini dipercaya memimpin Kopasude. Sementara Astarina, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), berperan sebagai pelatih tari bagi anak remaja pinggiran sungai. Lalu, Ari Hidayat, mahasiswa Fakultas Ekonomi UMSU biasa mengambil peran mengajar anak-anak usia taman kanak-kanak (TK).
Sekitar 15 menit setelah azan Isya berkumandang, mereka langsung mengambil peran masing-masing mengoordinasi puluhan anak yang tanpa dikomando sudah berkumpul di sebuah lahan kosong berbatasan langsung dengan bibir sungai. Astarina melatih enam remaja untuk menari, sedangkan Ryan membariskan anak-anak lain sambil menunggu fasilitator dari Kopasude yang belum datang.
Tak lama berselang, Fakhrozi mahasiswa UMSU, Muhammad Adjie Akbar (UMSU), Adi Pranata (Univ Al Azhar), Fahri Alamsyah (USU), Agung Rizky Prayogi (UMSU), dan Lady Sky (UIN Jakarta) tiba di lokasi. Mereka pemuda-pemuda yang sudah sangat familier dengan warga. Satu per satu anak yang sudah berkumpul langsung datang menghampiri memberi salam dan mencium tangan mereka.
Sebuah sikap hormat dan sayang yang pertama kali mereka tanamkan ke anak-anak sebagai sebuah keluarga besar. Tanpa basa-basi, enam pemuda tersebut langsung ambil peran masing-masing menuntun anak-anak yang sudah bersiap untuk diberikan edukasi sesuai dengan keahlian masing-masing.
Ryan mengatakan, Kopasude baru hadir Maret 2015 di Kampung Badur. Sebuah pemukiman padat penduduk yang terbentuk persis di Jalan Badur samping Kantor PTPN IV. Meski terbilang baru, sudah banyak kegiatan rutin yang berjalan setiap malamnya. Selesai magrib, mulai Senin– Jumat sudah ada yang mengajar mengaji di musala mulai dari usia TK hingga SMA.
Adapun setiap Rabu selesai isya latihan teater, baca puisi, serta latihan menulis cerpen. “Malam Jumat ada kelas psikologi kejiwaan terhadap anak-anak yang difasilitasi mahasiswa Psikologi USU dan UMA,” ungkap pria yang bertempat tinggal di Jalan Eka Prima, Kelurahan Gedung Johor, Medan Johor ini. Mereka memberikan pendidikan ekstrakulikuler yang cukup padat bagi anak-anak agar tidak lagi berkeliaran saat malam hari.
Sebab, sebelum ada program kegiatan tersebut, puluhan anak lebih sering bermain tanpa arah dan tujuan di jembatan Sungai Deli, Jalan R Soeprapto. Jarang ada yang terpantau orang tua sehingga sangat rentan mengganggu perkembangan psikologis anak. Pergaulan di usia anakanak umumnya sangat mudah mencontoh sesuatu yang mereka temui dan lihat langsung di lingkungan.
Jika sehari-hari mendengarkan bahasa-bahasa kotor yang tidak etis dari lingkungannya, mereka dengan mudahnya ikut mengucapkan serta mempraktikkannya ketika bermain. Tanpa sadar, pola itu terbentuk dan tertanam hingga dewasa. Untuk itu, anak-anak butuh wadah dan ruang edukasi yang sesuai dengan perkembangan umur. Agar terbentengi dari pengaruh buruk lingkungan.
“Setidaknya, mereka tidak lagi berkeliaran di pinggir jembatan kalau malam. Itu sudah kuingatkan ke anak-anak ini. Karena lingkungan mereka ini sangat dekat dengan aktivitas hiburan malam,” ungkapnya. Ryan tidak menampik kehadiran mereka sempat dipandang sebelah mata oleh warga. Dia menilai hal itu reaksi yang wajar dan tidak perlu dikhawatirkan.
Justru harusnya menjadi tantangan untuk membuktikan bahwa mereka hadir memberikan manfaat, bukan untuk mengganggu aktivitas warga yang sudah ada. Apalagi keberadaan mereka di Kampung Badur atas permintaan warga sendiri. Sebelum beraktivitas membuat beragam program di Kampung Badur, jauh sebelumnya mereka sudah membangun komunitas yang sama di Kampung Aur yang berbatasan dengan jembatan Jalan R Soeprapto.
“Sejak 2008 kami sudah di Kampung Aur dan 2010 sudah berjalan programnya. Alhamdulillah sekarang mereka sudah bisa jalan sendiri. Dari situlah warga Kampung Badur meminta kami untuk melakukan hal yang sama di Kampung Badur,” papar Ryan. Hal itu dibenarkan oleh Ade, 38, dan beberapa warga Kampung Badur lainnya yang ikut menemani KORAN SINDO MEDANmelihat kegiatan warga setelah Kopasude ikut memfasilitasi kegiatan mereka.
“Kami sebenarnya punya kemauan untuk berubah, tapi penggeraknya enggak ada. Itulah kami undang orang-orang Ryan ini kemari,” katanya. Persoalan utama masyarakat pinggiran sungai ini bukan banjir seperti yang dipikirkan masyarakat luar. Bagi mereka, banjir itu sudah konsekuensi tinggal di bantaran sungai. Mereka sudah terbiasa. Banyak yang tidak mengetahui masalah utama warga saat ini adalah pendidikan akhlak bagi anak-anak mereka.
Sebelumnya, anak-anak mereka tidak pernah mendapatkan pendidikan akhlak dan moral sehingga sering lepas kendali. Sekolah saat ini tidak mampu memfasilitasi pendidikan akhlak bagi siswanya. Karena itu, butuh tambahan pendidikan seperti yang selama ini dilakukan oleh Kopasude. Menurut pengamat sosial dari Universitas Negeri Medan (Unimed) Muhammad Iqbal, apa yang dilakukan Kopasude adalah bukti bahwa jiwa kepahlawanan itu ada dan nyata di sekitar kita.
Sayangnya, apa yang mereka lakukan kurang terpublikasi dengan baik. Padahal jika mendapat tempat yang baik, bukan tidak mungkin apa yang mereka lakukan akan menginspirasi orang lain melakukan hal yang sama di lingkungannya yaitu memberikan manfaat. Selama 70 tahun Indonesia merdeka, masyarakat lebih sering disuguhi dengan publikasi dan pemberitaan negatif yang dilakukan sejumlah pejabat serta penjahat.
Seolah-olah bangsa ini kehilangan sosok panutan. Semua dianggap buruk dan jahat. Tanpa sadar, hal itu menggiring masyarakat untuk saling membentengi diri sendiri, tanpa peduli dengan lingkungannya serta cenderung menyalahkan kondisi lingkungan dan mudah mengeluh. “Kita harusnya malu dengan aktivitas mereka-mereka yang sudah berbuat banyak dan memberikan manfaat tanpa harus berkeluh kesah dan menyalahkan kondisi.
Karena jika ditanya ke dalam hati, apakah kita sudah memberikan manfaat bagi lingkungan dan orang lain, tentu banyak yang tidak bisa menjawab,” kata dosen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial (FIS), Unimed ini. Karena itu, orang-orang yang sudah menginspirasi dengan menebar manfaat bagi lingkungannya harus diberi tempat yang layak, selayaknya seorang pahlawan. Mereka ada dan nyata, tidak jauh dari kita. Hanya, terkadang mereka memilih jalan yang sepi dan sunyi, jauh dari hingar-bingar publisitas.
M rinaldi khair
Itulah penggalan puisi yang dibacakan Dinda, 12, saat latihan persiapan acara peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-70 RI di lingkungannya. Dinda adalah satu dari seratusan anak yang hidup di bantaran Sungai Deli. Jarak rumah mereka hanya beberapa jengkal dari bibir sungai. Malam itu, Rabu (12/8), puluhan anak berkumpul berlatih bersama dalam penuh keceriaan.
Mereka berbagi peran, belasan anak membentuk lingkaran latihan seni peran dan teater. Terlihat ada enam remaja perempuan latihan tari persembahan, ada yang teriak-teriak latihan membaca puisi. Tidak ketinggalan anak-anak usia lima tahunan berkumpul berbincang ringan bercerita mengenai citacita dan masa depan. Semuanya dibimbing oleh sejumlah pemuda yang tergabung dalam Komunitas Peduli Anak dan Sungai Deli (Kopasude).
Mereka membaur dalam suasana riang. Seakan telah menemukan sosok pahlawan di lingkungan pinggiran sungai yang sudah lama mereka nantikan. Sosok pahlawan yang membuka jalan masa depan bagi anak-anak bantaran sungai yang mereka sebut sebagai Kampung Badur di Kelurahan Hamdan, Kecamatan Medan Maimun. Adryan Dwi Pradipta, Astarina, dan Ari Hidayat sudah tiba sejak awal di Kampung Badur.
Ryan-sapaan akrab Adryan Dwi Pradipta- merupakan alumni Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang saat ini dipercaya memimpin Kopasude. Sementara Astarina, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), berperan sebagai pelatih tari bagi anak remaja pinggiran sungai. Lalu, Ari Hidayat, mahasiswa Fakultas Ekonomi UMSU biasa mengambil peran mengajar anak-anak usia taman kanak-kanak (TK).
Sekitar 15 menit setelah azan Isya berkumandang, mereka langsung mengambil peran masing-masing mengoordinasi puluhan anak yang tanpa dikomando sudah berkumpul di sebuah lahan kosong berbatasan langsung dengan bibir sungai. Astarina melatih enam remaja untuk menari, sedangkan Ryan membariskan anak-anak lain sambil menunggu fasilitator dari Kopasude yang belum datang.
Tak lama berselang, Fakhrozi mahasiswa UMSU, Muhammad Adjie Akbar (UMSU), Adi Pranata (Univ Al Azhar), Fahri Alamsyah (USU), Agung Rizky Prayogi (UMSU), dan Lady Sky (UIN Jakarta) tiba di lokasi. Mereka pemuda-pemuda yang sudah sangat familier dengan warga. Satu per satu anak yang sudah berkumpul langsung datang menghampiri memberi salam dan mencium tangan mereka.
Sebuah sikap hormat dan sayang yang pertama kali mereka tanamkan ke anak-anak sebagai sebuah keluarga besar. Tanpa basa-basi, enam pemuda tersebut langsung ambil peran masing-masing menuntun anak-anak yang sudah bersiap untuk diberikan edukasi sesuai dengan keahlian masing-masing.
Ryan mengatakan, Kopasude baru hadir Maret 2015 di Kampung Badur. Sebuah pemukiman padat penduduk yang terbentuk persis di Jalan Badur samping Kantor PTPN IV. Meski terbilang baru, sudah banyak kegiatan rutin yang berjalan setiap malamnya. Selesai magrib, mulai Senin– Jumat sudah ada yang mengajar mengaji di musala mulai dari usia TK hingga SMA.
Adapun setiap Rabu selesai isya latihan teater, baca puisi, serta latihan menulis cerpen. “Malam Jumat ada kelas psikologi kejiwaan terhadap anak-anak yang difasilitasi mahasiswa Psikologi USU dan UMA,” ungkap pria yang bertempat tinggal di Jalan Eka Prima, Kelurahan Gedung Johor, Medan Johor ini. Mereka memberikan pendidikan ekstrakulikuler yang cukup padat bagi anak-anak agar tidak lagi berkeliaran saat malam hari.
Sebab, sebelum ada program kegiatan tersebut, puluhan anak lebih sering bermain tanpa arah dan tujuan di jembatan Sungai Deli, Jalan R Soeprapto. Jarang ada yang terpantau orang tua sehingga sangat rentan mengganggu perkembangan psikologis anak. Pergaulan di usia anakanak umumnya sangat mudah mencontoh sesuatu yang mereka temui dan lihat langsung di lingkungan.
Jika sehari-hari mendengarkan bahasa-bahasa kotor yang tidak etis dari lingkungannya, mereka dengan mudahnya ikut mengucapkan serta mempraktikkannya ketika bermain. Tanpa sadar, pola itu terbentuk dan tertanam hingga dewasa. Untuk itu, anak-anak butuh wadah dan ruang edukasi yang sesuai dengan perkembangan umur. Agar terbentengi dari pengaruh buruk lingkungan.
“Setidaknya, mereka tidak lagi berkeliaran di pinggir jembatan kalau malam. Itu sudah kuingatkan ke anak-anak ini. Karena lingkungan mereka ini sangat dekat dengan aktivitas hiburan malam,” ungkapnya. Ryan tidak menampik kehadiran mereka sempat dipandang sebelah mata oleh warga. Dia menilai hal itu reaksi yang wajar dan tidak perlu dikhawatirkan.
Justru harusnya menjadi tantangan untuk membuktikan bahwa mereka hadir memberikan manfaat, bukan untuk mengganggu aktivitas warga yang sudah ada. Apalagi keberadaan mereka di Kampung Badur atas permintaan warga sendiri. Sebelum beraktivitas membuat beragam program di Kampung Badur, jauh sebelumnya mereka sudah membangun komunitas yang sama di Kampung Aur yang berbatasan dengan jembatan Jalan R Soeprapto.
“Sejak 2008 kami sudah di Kampung Aur dan 2010 sudah berjalan programnya. Alhamdulillah sekarang mereka sudah bisa jalan sendiri. Dari situlah warga Kampung Badur meminta kami untuk melakukan hal yang sama di Kampung Badur,” papar Ryan. Hal itu dibenarkan oleh Ade, 38, dan beberapa warga Kampung Badur lainnya yang ikut menemani KORAN SINDO MEDANmelihat kegiatan warga setelah Kopasude ikut memfasilitasi kegiatan mereka.
“Kami sebenarnya punya kemauan untuk berubah, tapi penggeraknya enggak ada. Itulah kami undang orang-orang Ryan ini kemari,” katanya. Persoalan utama masyarakat pinggiran sungai ini bukan banjir seperti yang dipikirkan masyarakat luar. Bagi mereka, banjir itu sudah konsekuensi tinggal di bantaran sungai. Mereka sudah terbiasa. Banyak yang tidak mengetahui masalah utama warga saat ini adalah pendidikan akhlak bagi anak-anak mereka.
Sebelumnya, anak-anak mereka tidak pernah mendapatkan pendidikan akhlak dan moral sehingga sering lepas kendali. Sekolah saat ini tidak mampu memfasilitasi pendidikan akhlak bagi siswanya. Karena itu, butuh tambahan pendidikan seperti yang selama ini dilakukan oleh Kopasude. Menurut pengamat sosial dari Universitas Negeri Medan (Unimed) Muhammad Iqbal, apa yang dilakukan Kopasude adalah bukti bahwa jiwa kepahlawanan itu ada dan nyata di sekitar kita.
Sayangnya, apa yang mereka lakukan kurang terpublikasi dengan baik. Padahal jika mendapat tempat yang baik, bukan tidak mungkin apa yang mereka lakukan akan menginspirasi orang lain melakukan hal yang sama di lingkungannya yaitu memberikan manfaat. Selama 70 tahun Indonesia merdeka, masyarakat lebih sering disuguhi dengan publikasi dan pemberitaan negatif yang dilakukan sejumlah pejabat serta penjahat.
Seolah-olah bangsa ini kehilangan sosok panutan. Semua dianggap buruk dan jahat. Tanpa sadar, hal itu menggiring masyarakat untuk saling membentengi diri sendiri, tanpa peduli dengan lingkungannya serta cenderung menyalahkan kondisi lingkungan dan mudah mengeluh. “Kita harusnya malu dengan aktivitas mereka-mereka yang sudah berbuat banyak dan memberikan manfaat tanpa harus berkeluh kesah dan menyalahkan kondisi.
Karena jika ditanya ke dalam hati, apakah kita sudah memberikan manfaat bagi lingkungan dan orang lain, tentu banyak yang tidak bisa menjawab,” kata dosen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial (FIS), Unimed ini. Karena itu, orang-orang yang sudah menginspirasi dengan menebar manfaat bagi lingkungannya harus diberi tempat yang layak, selayaknya seorang pahlawan. Mereka ada dan nyata, tidak jauh dari kita. Hanya, terkadang mereka memilih jalan yang sepi dan sunyi, jauh dari hingar-bingar publisitas.
M rinaldi khair
(bbg)