Yenni Wahid Minta Kiai Sepuh Ambil Alih Muktamar NU
A
A
A
JOMBANG - Putri almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Yenny Wahid meminta agar para kiai sepuh turun tangan dan mengambil alih proses Muktamar Nahdlatul Ulama.
Permintaan ini disampaikan menyusul keributan yang terjadi dalam sidang pleno tata tertib (Tatib) Mukatamar kemarin malam.
“Saya sungguh mendorong agar yang muda-muda legawa menyerahkan ke para kiai khos. Tujuan dari pengambil alihan ini agar para nadhliyin muda tidak terjebak dalam emosinya. Sebab, eksesnya bisa parah, yakni terjadi perpecahan,” tegas cicit pendiri NU KH Hasyim Asyari ini.
Selain itu, Yenny juga mengingatkan agar para muktamirin untuk kembali ke dalam semangat Qanun Asasi.
Sebuah pedoman yang ditulis oleh KH Hasyim Asyari sendiri. Qanun tersebut berisi banyak kutipan ayat maupun hadist yang mengedepankan persatuan dan mencegah saling benci, saling dengki, saling menjerumuskan, dan saling bermusuhan.
“Mbah Hasyim mengingatkan bahwa persatuan, ikatan batin satu dengan yang lain, saling bantu menangani satu perkara dan seiya sekata adalah merupakan penyebab kebahagiaan yang terpenting dan faktor paling kuat bagi menciptakan persaudaraan dan kasih sayang,” tegasnya.
Yenny juga meminta semua pihak bahwa untuk menyikapi perbedaan pendapat dengan cara bil hikmah.
Atau dengan cara yang baik. Jika tidak, maka konflik yang terjadi akan menjadi konflik berlarut-larut.
“Dalam muktamar memang biasa terjadi beda pendapat. Tetapi jangan sampai menjurus ke konflik permanen,” ucapnya.
Terpisah, Putra KH Mainum Zubair (Mbah Mun), KH Ahmad Wafi Zubair mengatakan bahwa intrik politik pada Muktamar ke-33 NU sudah begitu luar biasa.
Bahkan sudah terjadi perang klaim dukungan. Mbah Mun misalnya, lanjut Gus Yasin (panggilan akrab KH Wafi Zubair) telah diklaim mendukung salah satu kandidar Rais Aam.
“Kalau ada kabar seperti itu, jangan percaya. Beliau tidak terlibat dalam dukung-mendukung. Yang diinginkan adalah muktamar berjalan lancar dan baik,” timpalnya.
Bukti klaim tersebut kata Gus Yasin muncul di sejumlah media online, yang menyebut bahwa Mbah Mun telah membela kubu Hasyim Musyzadi.
“Ini adalah fakta yang sulit dipercaya. Sebab, Mbah Mun sejak awal tidak mempunyai motif itu. Jadi sekali lagi jangan dipercaya,” kata dia.
Selain itu, sejumlah black propaganda juga mulai muncul. Terbaru, muncul isu mengenai adanya tim Ahwa yang mendatangi pengurus dan cabang-cabang dan pengurus wilayah dengan membawakan uang.
Menanggapi kabar tersebut, Sekjen Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) M Kholid Syeirazi membantah. Baginya isu tersebut tidak masuk akal.
“Logikanya, jika menginginkan Ahwa kenapa harus melakukan money politics. Jadi, saya pikir semua pihak harus lebih pandai lagi membaca isu,” kata lulusan Fakultas Filsafat UGM angkatan 1997 tersebut.
Sepengetahuan Kholid kubu pendukung Ahwa mayoritas mendukung KH Mustofa Bisri, pengasuh PP Raudlatut Tholibin, Rembang sebagai Rais Am.
Nah, Kholid pernah mendengar cerita bahwa Gus Mus-panggilan akrab KH Mustofa Bisri pernah memanggil para pendukungnya. Ketika itu, Gus Mus tegas melarang kepada pendukungnya untuk menggunakan money politics.
"Saya akan mundur jika pendukung saya main politik uang,” kata Kholid menirukan ucapan Gus Mus.
Kholid juga memandang bahwa sistem Ahwa itu juga demokratis. “Siapa bilang sistem itu merampas hak-hak muktamirin. Hanya orang yang belum mendalami NU pasti akan menyebut seperti itu,” tandasnya.
Menurutnya, sistem tersebut juga mempunyai sejumlah kelebihan yang tak dipunyai oleh sistem lainnya. Yakni, justru menghindari liberalisasi ormas. Ucapan Kholid tak omong kosong.
Sebab, jika menggunakan sistem pemilihan ala ketua partai, praktik jual-beli suara di arena Muktamar bakal terjadi.
“Selain berpotensi konflik, ini juga bisa merusak NU dari dalam pada jangka panjang,” terangnya.
Sebelumnya, sidang pleno tata tertib Muktamar diskors setelah terjadi keributan menyusul pembahasan Pasal 19 ayat 1 tentang tata cara pemilihan Rais Aam.
Pada pasal tersebut tertulis bahwa Rais Aam dipilih secara musyawarah mufakat atau Ahlul Halli wal ‘Aqdi (Ahwa).
Point inilah yang memicu reaksi para peserta yang tidak sependapat dengan model tersebut.
Mereka meminta pasal tersebut dihapus. Alasannya, pasal tersebut belum menjadi keputusan Muktamar dan tidak ada di dalam AD/ART. Sebaliknya, sistem Ahwa hanyalah rekomendasi Musyawarah Nasional (Munas) Alim ulama.
Hal berbeda disampaikan pendukung Ahwa. Mereka menganggap Ahwa adalah sistem yang tepat untuk menjaga marwah kiai dari intervensi dan money politics. Mereka juga meminta agar model Ahwa diberlakukan pada muktamar kali ini.
Permintaan ini disampaikan menyusul keributan yang terjadi dalam sidang pleno tata tertib (Tatib) Mukatamar kemarin malam.
“Saya sungguh mendorong agar yang muda-muda legawa menyerahkan ke para kiai khos. Tujuan dari pengambil alihan ini agar para nadhliyin muda tidak terjebak dalam emosinya. Sebab, eksesnya bisa parah, yakni terjadi perpecahan,” tegas cicit pendiri NU KH Hasyim Asyari ini.
Selain itu, Yenny juga mengingatkan agar para muktamirin untuk kembali ke dalam semangat Qanun Asasi.
Sebuah pedoman yang ditulis oleh KH Hasyim Asyari sendiri. Qanun tersebut berisi banyak kutipan ayat maupun hadist yang mengedepankan persatuan dan mencegah saling benci, saling dengki, saling menjerumuskan, dan saling bermusuhan.
“Mbah Hasyim mengingatkan bahwa persatuan, ikatan batin satu dengan yang lain, saling bantu menangani satu perkara dan seiya sekata adalah merupakan penyebab kebahagiaan yang terpenting dan faktor paling kuat bagi menciptakan persaudaraan dan kasih sayang,” tegasnya.
Yenny juga meminta semua pihak bahwa untuk menyikapi perbedaan pendapat dengan cara bil hikmah.
Atau dengan cara yang baik. Jika tidak, maka konflik yang terjadi akan menjadi konflik berlarut-larut.
“Dalam muktamar memang biasa terjadi beda pendapat. Tetapi jangan sampai menjurus ke konflik permanen,” ucapnya.
Terpisah, Putra KH Mainum Zubair (Mbah Mun), KH Ahmad Wafi Zubair mengatakan bahwa intrik politik pada Muktamar ke-33 NU sudah begitu luar biasa.
Bahkan sudah terjadi perang klaim dukungan. Mbah Mun misalnya, lanjut Gus Yasin (panggilan akrab KH Wafi Zubair) telah diklaim mendukung salah satu kandidar Rais Aam.
“Kalau ada kabar seperti itu, jangan percaya. Beliau tidak terlibat dalam dukung-mendukung. Yang diinginkan adalah muktamar berjalan lancar dan baik,” timpalnya.
Bukti klaim tersebut kata Gus Yasin muncul di sejumlah media online, yang menyebut bahwa Mbah Mun telah membela kubu Hasyim Musyzadi.
“Ini adalah fakta yang sulit dipercaya. Sebab, Mbah Mun sejak awal tidak mempunyai motif itu. Jadi sekali lagi jangan dipercaya,” kata dia.
Selain itu, sejumlah black propaganda juga mulai muncul. Terbaru, muncul isu mengenai adanya tim Ahwa yang mendatangi pengurus dan cabang-cabang dan pengurus wilayah dengan membawakan uang.
Menanggapi kabar tersebut, Sekjen Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) M Kholid Syeirazi membantah. Baginya isu tersebut tidak masuk akal.
“Logikanya, jika menginginkan Ahwa kenapa harus melakukan money politics. Jadi, saya pikir semua pihak harus lebih pandai lagi membaca isu,” kata lulusan Fakultas Filsafat UGM angkatan 1997 tersebut.
Sepengetahuan Kholid kubu pendukung Ahwa mayoritas mendukung KH Mustofa Bisri, pengasuh PP Raudlatut Tholibin, Rembang sebagai Rais Am.
Nah, Kholid pernah mendengar cerita bahwa Gus Mus-panggilan akrab KH Mustofa Bisri pernah memanggil para pendukungnya. Ketika itu, Gus Mus tegas melarang kepada pendukungnya untuk menggunakan money politics.
"Saya akan mundur jika pendukung saya main politik uang,” kata Kholid menirukan ucapan Gus Mus.
Kholid juga memandang bahwa sistem Ahwa itu juga demokratis. “Siapa bilang sistem itu merampas hak-hak muktamirin. Hanya orang yang belum mendalami NU pasti akan menyebut seperti itu,” tandasnya.
Menurutnya, sistem tersebut juga mempunyai sejumlah kelebihan yang tak dipunyai oleh sistem lainnya. Yakni, justru menghindari liberalisasi ormas. Ucapan Kholid tak omong kosong.
Sebab, jika menggunakan sistem pemilihan ala ketua partai, praktik jual-beli suara di arena Muktamar bakal terjadi.
“Selain berpotensi konflik, ini juga bisa merusak NU dari dalam pada jangka panjang,” terangnya.
Sebelumnya, sidang pleno tata tertib Muktamar diskors setelah terjadi keributan menyusul pembahasan Pasal 19 ayat 1 tentang tata cara pemilihan Rais Aam.
Pada pasal tersebut tertulis bahwa Rais Aam dipilih secara musyawarah mufakat atau Ahlul Halli wal ‘Aqdi (Ahwa).
Point inilah yang memicu reaksi para peserta yang tidak sependapat dengan model tersebut.
Mereka meminta pasal tersebut dihapus. Alasannya, pasal tersebut belum menjadi keputusan Muktamar dan tidak ada di dalam AD/ART. Sebaliknya, sistem Ahwa hanyalah rekomendasi Musyawarah Nasional (Munas) Alim ulama.
Hal berbeda disampaikan pendukung Ahwa. Mereka menganggap Ahwa adalah sistem yang tepat untuk menjaga marwah kiai dari intervensi dan money politics. Mereka juga meminta agar model Ahwa diberlakukan pada muktamar kali ini.
(sms)