Mesin Mati, Tabrak Tower Lalu Jatuh
A
A
A
MEDAN - Hasil investigasi awal kecelakaan pesawat Hercules C-130 di Jalan Jamin Ginting, Medan, Sumatera Utara, menemukan bukti tragedi maut itu dipicu kerusakan mesin.
Sebelum jatuh, pesawat juga menghantam pemancar radio di dekat Pangkalan Udara Soewondo. “Ada tiga bukti yang diperoleh dari tim penyelidikan. Pertama , sebelum pesawat jatuh pilot meminta kembali ke pangkalan. Jelas ini ada sesuatu yang rusak,” kata Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI Agus Supriatna kepada wartawan di Lanud Soewondo Medan, kemarin.
“Kedua , dilihat dari pesawatitu lari ke kanan, dimana pesawat itu sendiri secara normal dari offlinenya, jadi diperkirakan engine sebelah kanan mati. Ke-napa dikatakan mati, pada saat dicek posisi dari propeller engine pesawat adabaling-balingyangberhenti.
Jadi, saat ketinggiannya normal dan ketika posisi climb , pesawat pun menabrak tower di dekat runway itu,” bebernya. Menurut dia, sesuai prosedur seharusnya posisi pemancar radio tersebut harus jauh dari runway (landasan pacu) sehingga tidak mengganggu penerbangan dari maupun ke Lanud Soewondo.
“Ini posisi towerhanya berjarak 3.200 meter dari runway,” imbuh Agus. KSAU menuturkan, apabila pesawat tidak mengenai tower walaupun keadaan posisi baling- baling kanan mati, pilot masih dapat melakukan climb (terbang ke atas) dengan merecover mesin yang mati. Akan tetapi, ketika menabrak tower, kecepatan pesawat masih pelan sehingga jatuh.
Saat ini timnya masih terus melakukan penyelidikan dan investivigasi karena hasil ini masih bersifat sementara dan belumfinal. “Mungkin saja hasil penyelidikankedepannya mengarah ke electric engine maupun hydraulic engine,” tandas KSAU. Kepala Dinas Penerangan Angkatan Udara (Kadispenau) Marsekal Pertama TNI Dwi Badarmanto menambahkan, antena milik stasiun radio itu setinggi 35 meter.
Berdasarkan peraturan di dunia penerbangan, sebenarnya tidak boleh ada bangunan setinggi itu di wilayah dekat bandara. Dia menuturkan, dalam kasus kecelakaan di Medan, mesin yang mati berada di sisi kanan luar atau mesin nomor 4. Dia mengakui secara teknis tak berfungsinya mesin itu masih dapat diantisipasi meski pada ketinggian rendah. “Persoalannya ada pemancar radio.
Kalau saja kita berandai- andai ya, menurut pengalaman, penerbang itu (pesawat) bisa diselamatkan,” ujarnya. Seperti diberitakan, pesawat Hercules C-130 A-1310 yang mengangkut 101 penumpang dan 12 kru jatuh di Medan (30/6). Seluruh penumpang tewas. Belasan warga yang berada di lokasi kejadian turut menjadi korban.
Sempat simpang siur, data korban kemarin dirilis menjadi 142 orang meninggal dunia. Kepala Bidang Humas Polda Sumatera Utara (Sumut), Komisaris Besar (Kombes) Pol Helfi Assegaf mengatakan, sampai pada pukul 18.00 WIB kemarin, jumlah korban pesawat Hercules yang berhasil diidentifikasi tim Disaster Victim Investigation (DVI) sebanyak 96 orang.
“Seiring dengan itu, jumlah kantong jenazah makin bertambah menjadi 146 kantong. Sebelumnya kan 140 jenazah yang utuh dan dua kantong berisi potongan tubuh. Namun, kemarin bertambah enam kantong lagi,” ujarnya. Sedangkan jumlah warga yang melaporkan anggota keluarganya ke Posko Ante Mortem mencapai 92 orang. Posko pengaduan masyarakat masih terus dibuka sampai seluruh jenazah korban berhasil diidentifikasi.
Helfi mengungkapkan, untuk proses pemulihan traumatic, Polda Sumut bersama Himpunan Psikologi Indonesia dan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara (USU) akan melakuakan healing trauma kepada keluarga korban, maupun masyarakat sekitar lokasi kejadian. “Untuk keluarga korban akan dilakukan mulai besok (hari ini).
Sedangkan, untuk warga sekitar akan dilakukan mulai Senin (6/7) di SD Baptis Jalan Jamin Ginting. Terpisah, Ketua Tim DVI Brigjen Pol Arthur Tampi mengampaikan, proses identifikasi korban pesawat Hercules diperkirakan akan mengalami perlambatan mulai Kamis (2/7) malam hingga seterusnya. Sebab, secara visual jenazah korban sudah sulit untuk dikenali, baik dari postur tubuh, wajah maupun properti (aksesoris) yang dipakai.
Menurut dia, kemungkinan keterlambatan itu juga dikarenakan tidak mendapatkan data primer seperti sidik jari dan rekam gigi korban. “Jika sudah tidak lagi kami dapatkan, maka data primer yang mendukung untuk proses identifikasi cuma DNA,” kata pria yang juga Kepala Pusat Dokkes Mabes Polri dalam konferensi pers di RSUP H Adam Malik Medan, kemarin.
Dalam proses pengambilan DNA, tim DVI harus membuat terlebih dulu profil DNA korban baru mencari data pembanding dari keluarga korban. “Pemeriksaan DNA ini memerlukan waktu, karena sampel harus kita bawa ke laboratorium DNA Mabes Polri,” ungkapnya.
Dia mengharapkan adanya pemahaman dari keluarga korban tentang proses identifikasi ini. Sebab, proses ini adalah pekerjaan kemanusiaan. “Sangat penting status meninggalnya seseorang. Kalau dia orang tua, maka untuk keperluan warisan, perbankan dan lainnya. Maka, tidak perlu kita tutuptutupi karena identifikasi ini untuk kepentingan dari keluarga korban,” imbuhnya.
Arthur membantah adanya informasi bahwa Tim DVI memprioritas jenazah anggota TNI untuk diidentifikasi. Menurut di, pada jenazah anggota TNI masih melekat properti atau aksesoris, seperti baju dinas dan rekaman gigi sehingga bisa cepat diproses. Direktur Utama RSUP H Adam Malik Medan Yusirwan menambahkan, mereka akan memberikan penanganan terlebih dulu kepada korban pesawat Hercules.
Adapun dana yang sudah dikeluarkan untuk pasien ditanggung mereka dan akan dipertanggungjawaban kepada pemerintah.
Renstra Alutsista
Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko mengaku telah menyusun rencana strategis (renstra) pemeliharaan dan perbaikan untuk semua alat utama sistem persenjataan (alutsista).
Renstra sangat penting dalam pendataan dan mengidentifikasi kelayakan alutsista sekaligus salah satu bentuk perhatian terhadap sarana dan prasarana yang dimiliki TNI. “Agar semua detail. Seperti pesawat itu, per itemnya, per menit, per jam, dan per hari, pakainya, semua tercatat dengan baik,” katanya. Dia mengakui pemeliharaan dan perbaikan alutsista memang membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Namun hal itu tetapharusdilakukan.
Anggaran penyediaanalutsista, kata Moeldoko, pada 2016 sebesar Rp101 triliun sudah dibagi-bagi pada lima organisasi yang ada di TNI untuk keperluan belanja rutin dan sebagainya. “Yang angkatan 1960-an ada 8 buah. Hercules yang sekarang itu (buatan) tahun 1960 digunakan tahun 64. Yang kedua, angkatan atau keluaran 78, jumlahnya 12 pesawat dan yang 1980-an sekitar 6 pesawat.
Jadi alutsista khusus alat angkut udara kita usianya cukup tua karena memang tidak ada yang baru,” kata Panglima.
Panggabean Hasibuan/ Eko Agustyo Fb/ Frans Marbun/ Sucipto/Arsyani S
Sebelum jatuh, pesawat juga menghantam pemancar radio di dekat Pangkalan Udara Soewondo. “Ada tiga bukti yang diperoleh dari tim penyelidikan. Pertama , sebelum pesawat jatuh pilot meminta kembali ke pangkalan. Jelas ini ada sesuatu yang rusak,” kata Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI Agus Supriatna kepada wartawan di Lanud Soewondo Medan, kemarin.
“Kedua , dilihat dari pesawatitu lari ke kanan, dimana pesawat itu sendiri secara normal dari offlinenya, jadi diperkirakan engine sebelah kanan mati. Ke-napa dikatakan mati, pada saat dicek posisi dari propeller engine pesawat adabaling-balingyangberhenti.
Jadi, saat ketinggiannya normal dan ketika posisi climb , pesawat pun menabrak tower di dekat runway itu,” bebernya. Menurut dia, sesuai prosedur seharusnya posisi pemancar radio tersebut harus jauh dari runway (landasan pacu) sehingga tidak mengganggu penerbangan dari maupun ke Lanud Soewondo.
“Ini posisi towerhanya berjarak 3.200 meter dari runway,” imbuh Agus. KSAU menuturkan, apabila pesawat tidak mengenai tower walaupun keadaan posisi baling- baling kanan mati, pilot masih dapat melakukan climb (terbang ke atas) dengan merecover mesin yang mati. Akan tetapi, ketika menabrak tower, kecepatan pesawat masih pelan sehingga jatuh.
Saat ini timnya masih terus melakukan penyelidikan dan investivigasi karena hasil ini masih bersifat sementara dan belumfinal. “Mungkin saja hasil penyelidikankedepannya mengarah ke electric engine maupun hydraulic engine,” tandas KSAU. Kepala Dinas Penerangan Angkatan Udara (Kadispenau) Marsekal Pertama TNI Dwi Badarmanto menambahkan, antena milik stasiun radio itu setinggi 35 meter.
Berdasarkan peraturan di dunia penerbangan, sebenarnya tidak boleh ada bangunan setinggi itu di wilayah dekat bandara. Dia menuturkan, dalam kasus kecelakaan di Medan, mesin yang mati berada di sisi kanan luar atau mesin nomor 4. Dia mengakui secara teknis tak berfungsinya mesin itu masih dapat diantisipasi meski pada ketinggian rendah. “Persoalannya ada pemancar radio.
Kalau saja kita berandai- andai ya, menurut pengalaman, penerbang itu (pesawat) bisa diselamatkan,” ujarnya. Seperti diberitakan, pesawat Hercules C-130 A-1310 yang mengangkut 101 penumpang dan 12 kru jatuh di Medan (30/6). Seluruh penumpang tewas. Belasan warga yang berada di lokasi kejadian turut menjadi korban.
Sempat simpang siur, data korban kemarin dirilis menjadi 142 orang meninggal dunia. Kepala Bidang Humas Polda Sumatera Utara (Sumut), Komisaris Besar (Kombes) Pol Helfi Assegaf mengatakan, sampai pada pukul 18.00 WIB kemarin, jumlah korban pesawat Hercules yang berhasil diidentifikasi tim Disaster Victim Investigation (DVI) sebanyak 96 orang.
“Seiring dengan itu, jumlah kantong jenazah makin bertambah menjadi 146 kantong. Sebelumnya kan 140 jenazah yang utuh dan dua kantong berisi potongan tubuh. Namun, kemarin bertambah enam kantong lagi,” ujarnya. Sedangkan jumlah warga yang melaporkan anggota keluarganya ke Posko Ante Mortem mencapai 92 orang. Posko pengaduan masyarakat masih terus dibuka sampai seluruh jenazah korban berhasil diidentifikasi.
Helfi mengungkapkan, untuk proses pemulihan traumatic, Polda Sumut bersama Himpunan Psikologi Indonesia dan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara (USU) akan melakuakan healing trauma kepada keluarga korban, maupun masyarakat sekitar lokasi kejadian. “Untuk keluarga korban akan dilakukan mulai besok (hari ini).
Sedangkan, untuk warga sekitar akan dilakukan mulai Senin (6/7) di SD Baptis Jalan Jamin Ginting. Terpisah, Ketua Tim DVI Brigjen Pol Arthur Tampi mengampaikan, proses identifikasi korban pesawat Hercules diperkirakan akan mengalami perlambatan mulai Kamis (2/7) malam hingga seterusnya. Sebab, secara visual jenazah korban sudah sulit untuk dikenali, baik dari postur tubuh, wajah maupun properti (aksesoris) yang dipakai.
Menurut dia, kemungkinan keterlambatan itu juga dikarenakan tidak mendapatkan data primer seperti sidik jari dan rekam gigi korban. “Jika sudah tidak lagi kami dapatkan, maka data primer yang mendukung untuk proses identifikasi cuma DNA,” kata pria yang juga Kepala Pusat Dokkes Mabes Polri dalam konferensi pers di RSUP H Adam Malik Medan, kemarin.
Dalam proses pengambilan DNA, tim DVI harus membuat terlebih dulu profil DNA korban baru mencari data pembanding dari keluarga korban. “Pemeriksaan DNA ini memerlukan waktu, karena sampel harus kita bawa ke laboratorium DNA Mabes Polri,” ungkapnya.
Dia mengharapkan adanya pemahaman dari keluarga korban tentang proses identifikasi ini. Sebab, proses ini adalah pekerjaan kemanusiaan. “Sangat penting status meninggalnya seseorang. Kalau dia orang tua, maka untuk keperluan warisan, perbankan dan lainnya. Maka, tidak perlu kita tutuptutupi karena identifikasi ini untuk kepentingan dari keluarga korban,” imbuhnya.
Arthur membantah adanya informasi bahwa Tim DVI memprioritas jenazah anggota TNI untuk diidentifikasi. Menurut di, pada jenazah anggota TNI masih melekat properti atau aksesoris, seperti baju dinas dan rekaman gigi sehingga bisa cepat diproses. Direktur Utama RSUP H Adam Malik Medan Yusirwan menambahkan, mereka akan memberikan penanganan terlebih dulu kepada korban pesawat Hercules.
Adapun dana yang sudah dikeluarkan untuk pasien ditanggung mereka dan akan dipertanggungjawaban kepada pemerintah.
Renstra Alutsista
Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko mengaku telah menyusun rencana strategis (renstra) pemeliharaan dan perbaikan untuk semua alat utama sistem persenjataan (alutsista).
Renstra sangat penting dalam pendataan dan mengidentifikasi kelayakan alutsista sekaligus salah satu bentuk perhatian terhadap sarana dan prasarana yang dimiliki TNI. “Agar semua detail. Seperti pesawat itu, per itemnya, per menit, per jam, dan per hari, pakainya, semua tercatat dengan baik,” katanya. Dia mengakui pemeliharaan dan perbaikan alutsista memang membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Namun hal itu tetapharusdilakukan.
Anggaran penyediaanalutsista, kata Moeldoko, pada 2016 sebesar Rp101 triliun sudah dibagi-bagi pada lima organisasi yang ada di TNI untuk keperluan belanja rutin dan sebagainya. “Yang angkatan 1960-an ada 8 buah. Hercules yang sekarang itu (buatan) tahun 1960 digunakan tahun 64. Yang kedua, angkatan atau keluaran 78, jumlahnya 12 pesawat dan yang 1980-an sekitar 6 pesawat.
Jadi alutsista khusus alat angkut udara kita usianya cukup tua karena memang tidak ada yang baru,” kata Panglima.
Panggabean Hasibuan/ Eko Agustyo Fb/ Frans Marbun/ Sucipto/Arsyani S
(ftr)