Diburu Pemerintah Kolonial, Jadi Pemborong di Jawa Barat
A
A
A
Rokok (kretek) selalu mempunyai dua sisi yang bertolak belakang. Yaitu penyumbang pendapatan dan di sisi lain biang masalah kesehatan hingga kemiskinan.
Siapa sebenarnya penemu rokok kretek ini. Literatur menyebut, dialah H Djamhari, seorang pengusaha asal Kudus. Berbagai upaya dilakukan untuk mengetahui lebih detail kehidupan Djamhari.
Mantan Gubernur Jawa Tengah Soepardjo Roestam pernah menjanjikan akan memberikan penghargaan bagi siapa pun yang bisa menemukan jejak Djamhari. Persatuan Perusahaan Rokok Kudus (PPRK) juga sudah berupaya menelusuri jejaknya namun kabur di tengah jalan. Jejak Djamhari terlihat jelas setelah ditelusuri oleh mantan jurnalis, Edy Supratno.
Nama Djamhari muncul dalam B Van Der Reijden pada 1929 yang meneliti kondisi perusahaan rokok di Hindia Belanda. Djamhari disebut di buku jilid I (Jawa Barat) sebagai penemu kretek. “Meski berasal dari Kudus, tapi Djamhari meninggal di Jawa Barat,” ujar Edy beberapa waktu lalu.
Djamhari lahir di keluarga pedagang. Ayahnya, Mirkam alias Abdul Shomad, seorang pedagang kain dan batik, sedangkan ibunya bernama Ganirah (dipanggil Aisyah). Ibunya juga memiliki latar belakang dari keluarga pedagang kain.Seperti pedagang Kudus lainnya yang suka berdagang sampai luar kota, Abdul Somad juga melakukan itu. Aktivitas perdagangan Abdul Somad terlacak hingga Cirebon dan Tasikmalaya. Aktivitas ini diteruskan oleh anaknya, Djamhari.
Selain berdagang, Djamhari juga aktif dalam organisasi yang menaungi para saudagar pribumi yakni Serikat Islam (SI), bahkan duduk di jajaran pengurus. Nama Djamhari mulai menghilang saat terjadi peristiwa kerusuhan anti- China pada 31 Oktober 1918. Waktu itu, anggota SI dituding berada di balik peristiwa ini.
Pemerintah kolonial Hindia Belanda ingin menangkap anggota dan pengurus SI. Menghindari penangkapan, Djamhari dan beberapa pengurus SI memilih meninggalkan Kudus, termasuk Ketua SI Kudus H Djoefri. Djamhari pindah ke Cirebon, tak lama berselang dia bergeser ke Tasikmalaya dan pindah lagi ke Singaparna. Di tempat baru ini dia menekuni profesi sebagai pemborong pekerjaan jalan raya.
Dari Singaparna, Djamhari pindah lagi ke Tasikmalaya hingga meninggal pada 10 Juni 1962. Peneliti Pusat Studi Kretek Indonesia (Puskindo) Universitas Muria Kudus (UMK) Zamhuri mengatakan mestinya masyarakat juga harus mengapresiasi jasa besar Djamhari untuk negeri ini. Temuan Djamhari berperan besar menyokong perekonomian masyarakat.
“Pemerintah Hindia Belanda saja mengapresiasi tapi mengapa kita tidak? Tak semestinya kita ikut-ikutan arus melakukan diskriminasi terhadap Industri Hasil Tembakau (IHT) yang merupakan kepanjangan tangan temuan Djamhari,” tandas Zamhuri.
Muhammad Oliez
Kudus
Siapa sebenarnya penemu rokok kretek ini. Literatur menyebut, dialah H Djamhari, seorang pengusaha asal Kudus. Berbagai upaya dilakukan untuk mengetahui lebih detail kehidupan Djamhari.
Mantan Gubernur Jawa Tengah Soepardjo Roestam pernah menjanjikan akan memberikan penghargaan bagi siapa pun yang bisa menemukan jejak Djamhari. Persatuan Perusahaan Rokok Kudus (PPRK) juga sudah berupaya menelusuri jejaknya namun kabur di tengah jalan. Jejak Djamhari terlihat jelas setelah ditelusuri oleh mantan jurnalis, Edy Supratno.
Nama Djamhari muncul dalam B Van Der Reijden pada 1929 yang meneliti kondisi perusahaan rokok di Hindia Belanda. Djamhari disebut di buku jilid I (Jawa Barat) sebagai penemu kretek. “Meski berasal dari Kudus, tapi Djamhari meninggal di Jawa Barat,” ujar Edy beberapa waktu lalu.
Djamhari lahir di keluarga pedagang. Ayahnya, Mirkam alias Abdul Shomad, seorang pedagang kain dan batik, sedangkan ibunya bernama Ganirah (dipanggil Aisyah). Ibunya juga memiliki latar belakang dari keluarga pedagang kain.Seperti pedagang Kudus lainnya yang suka berdagang sampai luar kota, Abdul Somad juga melakukan itu. Aktivitas perdagangan Abdul Somad terlacak hingga Cirebon dan Tasikmalaya. Aktivitas ini diteruskan oleh anaknya, Djamhari.
Selain berdagang, Djamhari juga aktif dalam organisasi yang menaungi para saudagar pribumi yakni Serikat Islam (SI), bahkan duduk di jajaran pengurus. Nama Djamhari mulai menghilang saat terjadi peristiwa kerusuhan anti- China pada 31 Oktober 1918. Waktu itu, anggota SI dituding berada di balik peristiwa ini.
Pemerintah kolonial Hindia Belanda ingin menangkap anggota dan pengurus SI. Menghindari penangkapan, Djamhari dan beberapa pengurus SI memilih meninggalkan Kudus, termasuk Ketua SI Kudus H Djoefri. Djamhari pindah ke Cirebon, tak lama berselang dia bergeser ke Tasikmalaya dan pindah lagi ke Singaparna. Di tempat baru ini dia menekuni profesi sebagai pemborong pekerjaan jalan raya.
Dari Singaparna, Djamhari pindah lagi ke Tasikmalaya hingga meninggal pada 10 Juni 1962. Peneliti Pusat Studi Kretek Indonesia (Puskindo) Universitas Muria Kudus (UMK) Zamhuri mengatakan mestinya masyarakat juga harus mengapresiasi jasa besar Djamhari untuk negeri ini. Temuan Djamhari berperan besar menyokong perekonomian masyarakat.
“Pemerintah Hindia Belanda saja mengapresiasi tapi mengapa kita tidak? Tak semestinya kita ikut-ikutan arus melakukan diskriminasi terhadap Industri Hasil Tembakau (IHT) yang merupakan kepanjangan tangan temuan Djamhari,” tandas Zamhuri.
Muhammad Oliez
Kudus
(ars)