Kelahiran Down Syndrome di Indonesia Capai 3.000 Kasus
A
A
A
SURABAYA - Universitas Nahdlatul Ulama (Unusa) Surabaya membangun kepedulian dan empaty kepada penyandang down syndrome. Kepedulian tersebut dinisiasi oleh BEM Fakultas Kedokteran dan BEM Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan dengan melibatkan para pemangku kepentingan, Sabtu (17/3/2019)
Rektor Unusa, Prof. Dr. Ir. Achmad Jazidie, M.Eng menjelaskan, keikutsertaan Unusa ini, selain bagian dari membangun kepedulian dan kesadaran juga empaty civitas akademika, juga karena karena hingga kini masih banyak terjadi kesalahpahaman terhadap penyandang down syndrome. Masyarakat seringkali memberikan stigma dan penyebutan yang kurang pas.
"Peringatan Hari Down Syndrome Sedunia ini bertujuan agar masyarakat lebih mengenal dan mengetahui seperti apa anak down syndrome itu, dan mengajak orang tua yang mempunyai anak berkebutuhan khusus untuk tidak malu dan bisa mengetahui bahwa anak tersebut benar-benar mampu berbuat seperti anak normal lainnya. Mereka bukan penderita, karena mereka tidak menderita," ungkapnya.
Mengutip dari Clinic for Children, Rektor mengungkapkan, dalam 17 tahun terakhir jumlah kelahiran down syndrome meningkat cukup pesat dengan perbandingan 1:700 dari kelahiran hidup. Saat ini jumlahnya masih belum diketahui pasti.
Di seluruh dunia jumlahnya mencapai 8 juta kasus. Sedangkan di Indonesia diperkirakan ada lebih dari 3 ribu kasus (3.75%). Di Surabaya sendiri diperkirakan mencapai 924 anak. Angka ini diperoleh dari perhitungan perbandingan kelahiran anak down syndrome dengan jumlah anak usia 0-18 tahun di Surabaya yang mencapai 659.328 anak.
“Pendidikan formal tidaklah cukup. Dengan inteligensi yang rendah anak down syndrome perlu dilatih terus menerus untuk bisa mandiri. Keikutsertaan komunitas dan civitas Unusa untuk mendampingi adalah salah satu langkah dalam membangun kepercayaan diri dan kemandirian. Saya kira masih sedikit perguruan tinggi yang peduli dan bahkan menerima anak down syndrome. Unusa adalah yang sedikit itu,” katanya.
Acara yang dikemas dalam bentuk talkshow ini menghadirkan para pakar dan praktisi antara lain dari Direktorat PKLK Kemendikbud, Praktisi, dan Akademisi. Mereka membahas masalah down syndrome dari berbagai sisi, pendidikan dan medis mulai dari kebijakan dan cara menanganinya.
Selain talkshow Unusa juga mengajak Persatuan Orang Tua Anak dengan Down Syndrome (POTADS) Surabaya, Lembaga Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, Yayasan Penyelengga Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, dan Komunitas Anak Berkebutuhan Khusus menggelar serangkaian Lomba Kreasi Okupasi, unjuk kreativitas penampilan dan unjuk produk hasil karya Anak Berkebutuhan Khusus.
Hari Down Syndrome Internasional merupakan hari istimewa bagi mereka yang menghadapi sindrom down di seluruh dunia. Hari itu diperingati setiap tahun dengan berbagai pelaksanaan aktivitas dan acara bagi meningkatkan kesedaran awam terhadap hak dan kesejahteraan kepada mereka yang mengalami penyakit ini.
Anak yang terkena down syndrome bukanlah sebuah kutukan dalam keluarga. Mereka hanya memiliki kelebihan satu kromosom (47 kromosom). Karena secara normal ada 46 kromosom dalam sel seseorang, yang diwariskan masing-masing 23 dari ayah dan ibu. Penderita down syndrome biasanya memiliki perkembangan lebih lambat, baik dari segi motorik, sosialisasi maupun kognisi. Penderita down syndrome memang terlambat dalam proses pertumbuhannya dibanding anak normal. Meski demikian banyak bukti yang menunjukkan bahwa penderita down syndrome bisa berprestasi dan hidup mandiri.
Kelainan yang berdampak pada keterbelakangan pertumbuhan fisik dan mental ini pertama kali dikenal pada tahun 1866 oleh Dr.John Longdon Down. Gejala yang muncul akibat down syndrome dapat bervariasi mulai dari yang tidak tampak sama sekali, tampak minimal sampai muncul tanda yang khas.
Rektor Unusa, Prof. Dr. Ir. Achmad Jazidie, M.Eng menjelaskan, keikutsertaan Unusa ini, selain bagian dari membangun kepedulian dan kesadaran juga empaty civitas akademika, juga karena karena hingga kini masih banyak terjadi kesalahpahaman terhadap penyandang down syndrome. Masyarakat seringkali memberikan stigma dan penyebutan yang kurang pas.
"Peringatan Hari Down Syndrome Sedunia ini bertujuan agar masyarakat lebih mengenal dan mengetahui seperti apa anak down syndrome itu, dan mengajak orang tua yang mempunyai anak berkebutuhan khusus untuk tidak malu dan bisa mengetahui bahwa anak tersebut benar-benar mampu berbuat seperti anak normal lainnya. Mereka bukan penderita, karena mereka tidak menderita," ungkapnya.
Mengutip dari Clinic for Children, Rektor mengungkapkan, dalam 17 tahun terakhir jumlah kelahiran down syndrome meningkat cukup pesat dengan perbandingan 1:700 dari kelahiran hidup. Saat ini jumlahnya masih belum diketahui pasti.
Di seluruh dunia jumlahnya mencapai 8 juta kasus. Sedangkan di Indonesia diperkirakan ada lebih dari 3 ribu kasus (3.75%). Di Surabaya sendiri diperkirakan mencapai 924 anak. Angka ini diperoleh dari perhitungan perbandingan kelahiran anak down syndrome dengan jumlah anak usia 0-18 tahun di Surabaya yang mencapai 659.328 anak.
“Pendidikan formal tidaklah cukup. Dengan inteligensi yang rendah anak down syndrome perlu dilatih terus menerus untuk bisa mandiri. Keikutsertaan komunitas dan civitas Unusa untuk mendampingi adalah salah satu langkah dalam membangun kepercayaan diri dan kemandirian. Saya kira masih sedikit perguruan tinggi yang peduli dan bahkan menerima anak down syndrome. Unusa adalah yang sedikit itu,” katanya.
Acara yang dikemas dalam bentuk talkshow ini menghadirkan para pakar dan praktisi antara lain dari Direktorat PKLK Kemendikbud, Praktisi, dan Akademisi. Mereka membahas masalah down syndrome dari berbagai sisi, pendidikan dan medis mulai dari kebijakan dan cara menanganinya.
Selain talkshow Unusa juga mengajak Persatuan Orang Tua Anak dengan Down Syndrome (POTADS) Surabaya, Lembaga Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, Yayasan Penyelengga Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, dan Komunitas Anak Berkebutuhan Khusus menggelar serangkaian Lomba Kreasi Okupasi, unjuk kreativitas penampilan dan unjuk produk hasil karya Anak Berkebutuhan Khusus.
Hari Down Syndrome Internasional merupakan hari istimewa bagi mereka yang menghadapi sindrom down di seluruh dunia. Hari itu diperingati setiap tahun dengan berbagai pelaksanaan aktivitas dan acara bagi meningkatkan kesedaran awam terhadap hak dan kesejahteraan kepada mereka yang mengalami penyakit ini.
Anak yang terkena down syndrome bukanlah sebuah kutukan dalam keluarga. Mereka hanya memiliki kelebihan satu kromosom (47 kromosom). Karena secara normal ada 46 kromosom dalam sel seseorang, yang diwariskan masing-masing 23 dari ayah dan ibu. Penderita down syndrome biasanya memiliki perkembangan lebih lambat, baik dari segi motorik, sosialisasi maupun kognisi. Penderita down syndrome memang terlambat dalam proses pertumbuhannya dibanding anak normal. Meski demikian banyak bukti yang menunjukkan bahwa penderita down syndrome bisa berprestasi dan hidup mandiri.
Kelainan yang berdampak pada keterbelakangan pertumbuhan fisik dan mental ini pertama kali dikenal pada tahun 1866 oleh Dr.John Longdon Down. Gejala yang muncul akibat down syndrome dapat bervariasi mulai dari yang tidak tampak sama sekali, tampak minimal sampai muncul tanda yang khas.
(msd)