Dilarang Berhadapan, Stop Akta Notaris/PPAT
A
A
A
PANDEMI virus Corona atau Covid-19 sampai dengan April 2020 ini belum juga berhenti penyebarannya di negeri tercinta kita, Indonesia, doa dan harapannya tentunya pandemi virus ini dapat segera berakhir sebelum Ramadhan pada tahun ini.
Penyebaran Covid-19 yang terus terjadi tentunya berimbas ke segala lini kehidupan baik dari aspek sosial dengan mulai diterapkan kebijakan untuk jaga jarak dan mengurangi sentuhan fisik (social distancing dan physical distancing). Perekonomian juga mulai terganggu dan juga dalam aspek hukum baik dari dimulainya pelaksanaan peradilanmelalui metode dalam jaringan (daring) secara menyeluruh baik dalam perkara perdata maupun pidana.
Namun patut diperhatikan, aspek hukum tidak hanya dalam nuansa peradilan semata. Aspek hukum lainnya terutama dalam hal perjanjian ataupun pembuatan akta otentik juga sekarang menjadi dilema.Dengan adanya kebijakan pemerintah yang mengharuskan pembatasan sosial berskala besar dengan kebijakan utamanya untuk jaga jarak (social distancing) dan mengurangi sentuhan fisik (physical distancing) sehingga memaksa untuk kita bekerja di rumah agar penyebaran virus Covid-19 juga tidak menyebar makin luas.
Kebijakan pemerintah dengan lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) disatu sisi merupakan kebijakan yang ditunggu agar penyebaran virus Covid-19 segera mereda di Indonesia, tetapi hal ini berdampak kepada lahirnya permasalah hal yang baru.
Salah satunya dalam bidang hukum berkenaan dengan pembuatan akta otentik oleh Notaris ataupun pejabat lainnya yaitu Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), di mana pembuatan akta autentik harus dibuat atau di hadapan Notaris/PPAT (Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
Tentunya sangat jelas yang membuat akta autentik adalah Notaris/PPAT sesuai kewenangannya yang mengharuskan para pihak mau tidak mau berhadapan dan bertemu langsung dengan Notaris/PPAT.
Jika pun diwakilkan yang mewakili juga tetap harus bertemu langsung, hal ini tentunya tidak dimungkinkan karena akan menentang kebijakan pemerintah, walaupun mungkin juga masih ada yang melakukan pertemuan secara langsung dengan prosedur kesehatan yang ketat untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Namun bagaimana jika proses pembuatan akta autentik ternyata dialihkan melalui tatap muka daring, yang dalam kondisi saat ini hal tersbut sudah menjadi hal yang umum.
Hhal ini juga sudah terjadi dalam praktek peradilan melalui e-court dan e-litigation dengan dasar hukum peraturan internal di Mahkamah Agung, tetapi jika dilaksanakan dalam pembuatan akta autentik juga akan menimbulkan permasalahan hukum yang baru karena belum ada aturannya.
Melihat kondisi saat ini, tentunya pilihan untuk pembuatan akta autentik oleh Notaris/PPAT dapat dilakukan secara daring. Di mana prosedurnya juga harus ketat dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum sehingga perlu ada peraturan yang mengatur tentang pembuatan akta autentik oleh Notaris dan PPAT untuk melindungi pihak-pihak yang berproses dalam hal ini.
Alasan lain mengapa perlu ada peraturan untuk pelaksanaan pembuatan akta autentik secara daring, tentunya hal ini untuk mencegah adanya tuntutan hak dari pihak lain terhadap produk akta yang mungkin dibuat secara daring dalam kondisi saat ini. Namun, tidak ada aturan hukum yang mengaturnya, berdampak muncul permasalahan hukum baru kepada Notaris ataupun PPAT serta legailitas dari akta autentik yang diterbitkan tersebut.
Hikmah dari kondisi merebaknya Covid-19 dalam perkembangan ilmu hukum tentunya dapat dijadikan nilai yang positif dalam kemajuan hukum di Indonesia.Sebagaimana doktrin ilmu hukum yang menyatakan “hukum adalah hal yang statis di dalam era yang dinamis” sehingga hukum harus dinamis dengan kondisi kekinian dan menjawab kebutuhan manusia sebagai penggunanya.
Andrie Irawan
Dosen Fakultas Hukum Universitas Cokroaminoto Yogyakarta
Managing SAPA Law House
Penyebaran Covid-19 yang terus terjadi tentunya berimbas ke segala lini kehidupan baik dari aspek sosial dengan mulai diterapkan kebijakan untuk jaga jarak dan mengurangi sentuhan fisik (social distancing dan physical distancing). Perekonomian juga mulai terganggu dan juga dalam aspek hukum baik dari dimulainya pelaksanaan peradilanmelalui metode dalam jaringan (daring) secara menyeluruh baik dalam perkara perdata maupun pidana.
Namun patut diperhatikan, aspek hukum tidak hanya dalam nuansa peradilan semata. Aspek hukum lainnya terutama dalam hal perjanjian ataupun pembuatan akta otentik juga sekarang menjadi dilema.Dengan adanya kebijakan pemerintah yang mengharuskan pembatasan sosial berskala besar dengan kebijakan utamanya untuk jaga jarak (social distancing) dan mengurangi sentuhan fisik (physical distancing) sehingga memaksa untuk kita bekerja di rumah agar penyebaran virus Covid-19 juga tidak menyebar makin luas.
Kebijakan pemerintah dengan lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) disatu sisi merupakan kebijakan yang ditunggu agar penyebaran virus Covid-19 segera mereda di Indonesia, tetapi hal ini berdampak kepada lahirnya permasalah hal yang baru.
Salah satunya dalam bidang hukum berkenaan dengan pembuatan akta otentik oleh Notaris ataupun pejabat lainnya yaitu Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), di mana pembuatan akta autentik harus dibuat atau di hadapan Notaris/PPAT (Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
Tentunya sangat jelas yang membuat akta autentik adalah Notaris/PPAT sesuai kewenangannya yang mengharuskan para pihak mau tidak mau berhadapan dan bertemu langsung dengan Notaris/PPAT.
Jika pun diwakilkan yang mewakili juga tetap harus bertemu langsung, hal ini tentunya tidak dimungkinkan karena akan menentang kebijakan pemerintah, walaupun mungkin juga masih ada yang melakukan pertemuan secara langsung dengan prosedur kesehatan yang ketat untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Namun bagaimana jika proses pembuatan akta autentik ternyata dialihkan melalui tatap muka daring, yang dalam kondisi saat ini hal tersbut sudah menjadi hal yang umum.
Hhal ini juga sudah terjadi dalam praktek peradilan melalui e-court dan e-litigation dengan dasar hukum peraturan internal di Mahkamah Agung, tetapi jika dilaksanakan dalam pembuatan akta autentik juga akan menimbulkan permasalahan hukum yang baru karena belum ada aturannya.
Melihat kondisi saat ini, tentunya pilihan untuk pembuatan akta autentik oleh Notaris/PPAT dapat dilakukan secara daring. Di mana prosedurnya juga harus ketat dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum sehingga perlu ada peraturan yang mengatur tentang pembuatan akta autentik oleh Notaris dan PPAT untuk melindungi pihak-pihak yang berproses dalam hal ini.
Alasan lain mengapa perlu ada peraturan untuk pelaksanaan pembuatan akta autentik secara daring, tentunya hal ini untuk mencegah adanya tuntutan hak dari pihak lain terhadap produk akta yang mungkin dibuat secara daring dalam kondisi saat ini. Namun, tidak ada aturan hukum yang mengaturnya, berdampak muncul permasalahan hukum baru kepada Notaris ataupun PPAT serta legailitas dari akta autentik yang diterbitkan tersebut.
Hikmah dari kondisi merebaknya Covid-19 dalam perkembangan ilmu hukum tentunya dapat dijadikan nilai yang positif dalam kemajuan hukum di Indonesia.Sebagaimana doktrin ilmu hukum yang menyatakan “hukum adalah hal yang statis di dalam era yang dinamis” sehingga hukum harus dinamis dengan kondisi kekinian dan menjawab kebutuhan manusia sebagai penggunanya.
Andrie Irawan
Dosen Fakultas Hukum Universitas Cokroaminoto Yogyakarta
Managing SAPA Law House
(nun)