Curhat Warga Garut yang Belum Nikmati Listrik

Senin, 08 September 2014 - 17:12 WIB
Curhat Warga Garut yang Belum Nikmati Listrik
Curhat Warga Garut yang Belum Nikmati Listrik
A A A
GARUT - Indonesia sudah 69 tahun merdeka, tetapi masih ada warga negaranya yang belum menikmati listrik. Contohnya, 20 kepala keluarga (KK) di Kampung Bhayangkara, Desa Samudrajaya, Kecamatan Caringin, Kabupaten Garut, Jawa Barat.

Sebagian besar di antaranya terpaksa menggunakan lilin atau bahkan lampu cempor berbahan bakar minyak tanah sebagai alat penerangan. Hanya sebagian kecil warga yang memanfaatkan energi tenaga surya. Tentunya, teknologi energi dari sinar matahari ini dinikmati oleh warga yang masuk golongan ekonomi mampu.

Ke-20 KK di kampung yang berjalak puluhan kilometer dari pusat Kabupaten Garut ini berharap agar pemerintah dapat menyalurkan listrik untuk mereka. Bagaimanapun, energi listrik sangat diperlukan untuk kebutuhan hidup sehari-hari, terutama bagi kalangan pelajar yang memerlukan sarana penerangan untuk belajar di malam hari.

Seorang siswi kelas IV yang bersekolah di SDN Cimahi 03 Kecamatan Caringin, Febriyanti (9), mengaku tidak dapat belajar maksimal di malam hari.

"Tidak ada lampu listrik. Penerangan rumah kami menggunakan lampu minyak. Cahayanya sangat kurang kalau dipakai untuk belajar. Mata pusing membaca buku," tuturnya, Senin (8/9/2014).

Gadis cilik ini pun mengaku tidak mampu belajar dengan optimal di siang hari. Sebab, jarak sekolah yang cukup jauh, membuat dirinya baru bisa tiba di rumah beberapa jam selepas ia meninggalkan sekolah.

"Jam keluar sekolah sama yaitu sekitar jam 12.00 WIB. Namun saya baru bisa sampai rumah paling cepat biasanya pukul 14.00 WIB, paling lambat pukul 15.00 WIB. Itu disebabkan karena jarak ke sekolah cukup jauh dan saya harus berjalan kaki melintasi jalan setapak di kebun dan perbukitan. Nah, kalau baru sampai di rumah seringnya saya kelelahan. Karena itu saya sering tidak belajar di siang hari," ujarnya.

Mayoritas warga di kampung tersebut berprofesi sebagai buruh tani. Rata-rata warga miskin yang tinggal di kampung ini telah berusia senja.

"Itu sebabnya kenapa anak-anak kami yang muda atau lulus sekolah memilih bekerja ke kota. Hanya kami saja dan anak-anak usia sekolah yang masih tinggal dan menetap di kampung," kata Mak Ipon (63).

Berbeda dengan warga yang menggunakan lampu minyak, seorang warga yang tergolong mampu, Soman (42) mengatakan, untuk penerangan di rumahnya, ia dan keluarganya terpaksa harus membeli perangkat pengubah tenaga surya menjadi listrik terlebih dahulu.

"Kami membeli alat yang harganya Rp1.950.000. Akan tetapi, tidak banyak listrik yang dihasilkan dari alat ini. Hanya 100 watt saja," katanya.

Energi listrik yang dihasilkan alat ini, kata dia, hanya cukup digunakan untuk menyalakan satu bola lampu dan radio saja. Sementara, televisi, keluarganya di rumah tidak memilikinya. "Mau dinyalakan pakai apa?"

Alat pengubah energi matahari menjadi listrik ini terdiri dari panel-panel tenaga surya yang dipasangi di luar rumahnya. Panel-panel tersebut, kemudian disambungkan dengan sejumlah akumulator atau aki untuk menghasilkan energi listrik sederhana.

"Sumber listrik yang tersimpan di aki sangat terbatas. Pengisian energi dari pagi sampai sore. Aki yang kami punya hanya mampu menerangi satu lampu. Kalau mau dipindah ke radio, berarti lampu harus dimatikan dahulu," ujarnya.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.6106 seconds (0.1#10.140)