Tiap Tahun 12.000 Perceraian Terjadi di Jateng

Kamis, 30 April 2015 - 01:00 WIB
Tiap Tahun 12.000 Perceraian Terjadi di Jateng
Tiap Tahun 12.000 Perceraian Terjadi di Jateng
A A A
SEMARANG - Angka perceraian di Provinsi Jawa Tengah (Jateng) hingga saat ini masih cukup tinggi. Setidaknya, sekitar 12.000 kasus perceraian terjadi setiap tahunnya di provinsi tersebut.

Hal itu disampaikan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Arist Merdeka Sirait saat menggelar press conference di Semarang, Rabu (29/4/2015).

Menurut dia, akibat kasus perceraian yang tinggi itu, ribuan anak di Jateng kehilangan hak-hak pribadinya.

"Kalau dari 12.000 pasangan itu memiliki dua anak saja, setidaknya sudah 24.000 anak di Jawa Tengah ini yang kehilangan hak asuh orang tuanya. Dan ini tentu akan mempengaruhi tumbuh kembang serta masa depan si anak kelak," katanya.

Apalagi lanjut Sirait, masih banyak putusan pengadilan yang menetapkan bahwa hak asuh anak ada pada salah satu orang tua. Hal ini yang menjadi permasalahan karena anak akan kehilangan hak atas salah satu orang tuanya.

"Padahal dalam Pasal 14 dan 26 UU nomor 35 tahun 2015 tentang perlindungan anak menyebutkan jika meskipun putus perkawinan hak untuk membesarkan, mendidik, memberikan perhatian kepada anak dari orang tua tidak bisa dipisahkan. Karena itu hak yang melekat pada anak," pungkasnya.

Namun yang sering terjadi saat ini lanjut dia, akibat adanya putusan hakim yang memberikan hak asuh anak kepada salah satu orang tua menjadikan permasalahan yang pelik.

Dimana seringkali, pihak yang mendapatkan hak asuh tidak memperbolehkan pihak lain menjenguk si anak.

Yang banyak terjadi seperti itu, dimana salah satu pihak yang memiliki hak asuh anak melarang pihak lain datang," katanya.

Untuk itu lanjut, KPAI saat ini terus mengkampanyekan kepada hakim di seluruh pengadilan di Indonesia untuk memutuskan hak asuh anak korban perceraian dengan hak asuh bersama. Selain itu, pihak pengadilan juga harus menolak setiap gugatan hak asuh satu pihak.

"Kami selalu mengingatkan kepada pengadilan jika hak asuh satu pihak akan dapat berakibat tidak baik pada anak. Namun kami tidak dapat mengintervensi kewenangan hakim," sebutnya.

Salah satu orang yang merasakan dampak dari adanya hak asuh anak satu pihak adalah Aida Noplie Chandra, seorang ibu dengan dua orang anak.

Akibat perceraiannya dengan suami pada 2012 lalu, dirinya tidak dapat bertemu dengan salah satu anaknya, yakni Ritchi Anderson Tjin.

"Saat perceraian, majelis hakim PN Semarang memutuskan hak asuh anak ada pada kami berdua. Saat itu saya setuju karena memang anak-anak harus mendapatkan perhatian utuh dari kedua orang tuanya meskipun telah berpisah. Namun mantan suami saya saat itu tidak terima dan menyatakan banding," kata Aida yang juga hadir dalam acara tersebut.

Dalam sidang tingkat banding itu, hakim mengabulkan gugatan hak asuh terhadap Ritci kepada mantan suaminya. Setelah adanya keputusan itu, Aida sangat kesulitan untuk bertemu putra sulungnya tersebut.
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 2.7223 seconds (0.1#10.140)