Kisah Pohon Cengkeh Tertua di Dunia yang Selamat dari Pemusnahan Belanda

Sabtu, 11 Juli 2020 - 05:00 WIB
loading...
Kisah Pohon Cengkeh Tertua di Dunia yang Selamat dari Pemusnahan Belanda
Pohon Cengkeh Afo III, tiga dari pohon cengkeh tertua di dunia yang kini tersisa di lereng Gunung Gamalama tepatnya di Desa Air Tege-tege, Kelurahan Marikurubu, Kecamatan Ternate Tengah, Maluku Utara. Foto/SINDOnews/Hendri Irawan
A A A
Jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa di Ternate , Maluku Utara, pada abad 15 silam, para pedagang dari Tiongkok dan Arab sudah bolak balik ke Negeri Para Sultan itu. Tujuannya untuk membeli rempah-rempah terutama cengkeh (Syzygium aromaticum) dan pala (Myristica succadewa BL), yang kala itu harganya sangat mahal dan diminati di dunia.

Khusus cengkeh, ada jejak atau artefak buah pedas ini yang tersimpan di lereng Gunung Gamalama, Ternate, tepatnya di Desa Air Tege-tege, Kelurahan Marikurubu, Kecamatan Ternate Tengah, Provinsi Maluku Utara. Kawasan berupa bukit ini tempat bertahtanya Cengkeh Afo, yang diyakini sebagai pohon cengkeh tertua di dunia. (Baca juga: Menyusuri Jejak Presiden Pertama RI, Ir Soekarno di Kota Santri)
Kisah Pohon Cengkeh Tertua di Dunia yang Selamat dari Pemusnahan Belanda

Walau tidak ada catatan sejarah khusus yang menceritakan asal muasal pohon cengkeh di Ternate. Namun diperkirakan pohon cengkeh sudah ada jauh sebelum pedagang-pedagang Cina dan Arab singgah ke Ternate. Ini bisa dilihat dari pedagang Cina dan Arab yang telah memperdagangkan komoditas ini hingga ke Eropa. (Baca juga: RS Simpang, Perjalanan Penuh Wabah dan Penampung Korban Perang)

Menurut teori lain, cengkeh awalnya tidak dikenal oleh masyarakat Ternate, namun diperkenalkan oleh orang-orang Cina. Kata “cengkeh” berasal dari bahasa Cina, “zeng qi a“. Ini sejalan dengan kisah Kaisar Han pada abad keempat yang memerintahkan semua tamu kerajaan untuk mengunyah cengkeh sebelum bertamu agar mulutnya wangi.

Cengkeh saat itu adalah simbol kebangsawanan dan prestise, selain fungsi biologisnya sebagai pewangi, penyedap, dan pengawet. Catatan sejarah lain, pada 1.500 SM di era Babilonia, ditemukan sebuah bejana berisi cengkeh dalam sebuah rumah.

"Ini menunjukkan betapa tuanya jalur perdagangan cengkeh. Dan, cengkeh Afo adalah salah satu jejak sejarah cengkeh yang ada di Ternate. Malah, cengkeh Zanzibar (Afrika) itu bibitnya berasal dari Ternate. Pada 1770, bibit itu diselundupkan seorang warga Perancis ke Zanzibar," ujar Didit, penggiat Komunitas Rempah Ternate dalam suatu kesempatan memandu tim Jelajah Negeri Rempah mendaki bukit Cengkeh Afo.

Dalam bahasa Ternate, kata “Afo” memiliki arti “tua”. Ada pula versi lain yang mengatakan bahwa kata “Afo” berasal dari kata 'Alfalat', nama keluarga yang berhasil menyelamatkan pohon-pohon cengkeh saat eradikasi (pemusnahan) oleh Belanda, yang di abad ke-16 berkuasa dan memonopoli perdagangan cengkeh di Ternate.

Eradikasi dilakukan, lantaran mulai 1652 harga rempah-rempah di pasar internasional mengalami penurunan tajam. Untuk mendongkrak harganya, produksi dikurangi dan pohon-pohon cengkeh ditebang. Akan tetapi, lebatnya pepohonan di gunung Gamalama, apalagi lokasinya yang berada di ketinggian, memungkinkan ada pohon cengkeh yang luput dari upaya eradikasi Belanda. Terlebih masyarakat lokal sengaja menyembunyikan keberadaan pohon cengkeh jauh di dalam hutan bahkan di atas pegunungan.

Cerita pemusnahan cengkeh tersebut juga dicatat dalam "Kepulauan Rempah-rempah, Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950" karya Adnan Amal. Di mana, Belanda yang kala itu dengan kongsi dagangnya VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) menginstruksikan eradikasi pohon cengkeh di wilayah-wilayah yang kini masuk Provinsi Maluku Utara. Yang tidak dikenakan eradikasi hanyalah pohon-pohon cengkeh yang tumbuh di pulau Ambon dan Seram.

Untuk menjalankan rencana busuk tersebut, VOC berunding dengan Sultan Mandar Syah, penguasa Kesultanan Ternate masa itu. Pada 1652, sebuah perjanjian berhasil disepakati yang berisi klausula bahwa Mandar Syah mengizinkan VOC melakukan eradikasi pohon cengkih. Dan sebagai kompensasinya Mandar Syah menerima recognitie penningen (pembayaran untuk suatu pelayanan yang pasti) yang besarnya disepakati. Sementara rakyat pemilik pohon cengkeh yang ditebang memperoleh ganti rugi amat kecil.

Kebijakan eradikasi pohon cengkeh mempunyai akibat luas pada rakyat di pulau-pulau penghasil utama komoditas ini, seperti di Ternate, Moti, Makian, Bacan, dan Tidore. Di daerah-daerah ini mulai timbul apatisme. Para bobato (kepala desa) yang juga pemilik pohon-pohon cengkeh yang selama ini menjual hasilnya sendiri, ditugaskan berlayar dari pulau ke pulau mengawasi penebangan pohon-pohon cengkeh (hongi tochten). Mereka bisa disalahkan bila ada pohon cengkeh yang tidak ditebang.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1263 seconds (0.1#10.140)