Cegah Virus Radikal, BNPT Perkuat Moderasi Beragama Guru SMA/SMK se-DIY
loading...
A
A
A
JOGJA - Generasi Z dan generasi milenial antara usia 14-39 tahun menjadi generasi yang paling banyak terpapar virus radikal terorisme. Karena itulah, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) terus menjalin sinergi untuk melakukan penguatan moderasi beragama untuk mencegah p aham radikal terorisme di lingkungan sekolah.
Seperti di Jogjakarta sebagai kota pelajar, murid sekolah harus diberikan divaksinasi agar mereka kebal.
“Kami bekerja sama dengan stake holder terkait untuk memberikan vaksinasi berupa moderasi beragama. Dalam konteks ini kebijakan pentahelix yaitu melibatkan multipihak dalam penanggulangan radikal terorisme ini,” ujar Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Pol R Ahmad Nurwakhid, SE, MM dalam Sarasehan Penguatan Moderasi Beragama dan Pencegahan Radikalisme dan Ekstremisme di Kalangan Guru SMA/SMK di DIY dikutip, Jumat (30/9/2022).
Dia menjelaskan, kebijakan pentahelix dengan bersinergi dengan pihak pemerintah yaitu kementerian/lembaga/pemda. Kemudian komunitas masyarkaat kegamaan termasuk NU, dan Muhammmadiyah, media, dan civitas akademika, serta pelaku usaha. Para guru SMA/SMK atau sederajat di DIY ke depannya bisa memberikan imunitas kepada para murid-murid.
Menurutnya, hal-hal seperti ini harus terus digelorakan bersama karena guru atau penceramah itu berpotensi menjadi pintu masuk sekaligus pintu keluar radikalisme itu sendiri.
“Kalau gurunya sudah moderat dan kuat dalam membangun moderasi beragama, insya allah akan ditransformasikan kepada anak didiknya. Ini penting untuk memutuskan kaderisasi paham radikal terorisme,” terang Nurwakhid.
Jenderal yang ternyata pernah nyantri di Pondok Pesantren Al Mukmin, Ngruki Ini menegaskan bahwa virus radikal terorisme bisa mengena pada siapa saja. Karena itu bagi yang moderat harus diberikan vaksinasi ideologi supaya imun sehingga tidak terpapar.
Kemudian yang OTG yang sudah dengan ciri dan indikasi, seperti intoleran terhadap keragaman dan perbedaaan, anti pemerintah yang sah, anti pancasila, anti budaya, anti kearifan lokal, sudah takfiri dengan mengkafirkan orang lain dan negara ini, maka itu kita berikan kontra radikalisasi, termasuk kontra propaganda, dan kontra ideologi.
Sementara bagi mereka yang termasuk sudah radikal akut, kemudian bergabung dengan kelompok teror, kemudian unsur tindak dipidana sudah terpenuhi, maka akan dilakukan dengan preventif justice akan ditangkap dan diproses hukum yang menjadi ranah Densus 88 Antiteror Mabes Polri dibawah kooordinasi BNPT.
Dia menegaskan bahwa moderasi beragama itu bukan moderasi agama. Disebut moderasi beragama karena agama itu itu sendiri sudah moderat. Sebaliknya kalau gak moderat itu biasanya lupa beragama.
“Kenapa kita bicara moderasi beragama? Karena agama sejatinya wasathiyah, Tuhan menciptakan atau menjadikan agama untuk moderat yaitu di tengah-tengah, sehingga bisa rahmatan lil alamin, bisa menebar kasih sayang untuk semuanya. Tidak rahmatan lil islam, bukan rahmatan lil muslim, tapi semuanya,” tutur Nurwakhid.
Tapi, lanjutnya, agama dibajak oleh oknum umat beragama dengan memanipulasi, mendistorsi, dan mempolitisasi agama sehingga tidak lagi moderat. Tetapi dijadikan alat propaganda untuk menciptakan tujuan. itulah yang disebut radikalisme terorisme mengatasmakan agama.
Menurutnya, bicara terorisme harus mulai dari hilir. Aksi dan tindakan terorisme dalam kontek UU No 5 Tahun 2018 tentang tindak pidana terorisme, dinyatakan bahwa terroisme adalah tindakan atau perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, bisa fisik atau non fisik, termasuk verbal mengancam dengan kata-kata.
Kemudian menimblkan suasana teror dan rasa takut secara massif, menimbulkan korban jiwa, dan atau menimbulkan kehancuran faslilitas publik, linkungan hidupp, fasilitas internasional dan obyek vital. Dan dari motif itulah, yang mendorong pemerintah menetapkan separatis KKB di Papua sebagai organisasi terorisme karena memenuhi unsur sebagaimana Pasal 1 ayat 2 UU Nomor 5 Tahun 2018 tersebut.
Terorisme dijiwai ata dilatarbelakang radikalisme, dalam terminomogi asing, ekstremisme. Dapat dikatakan bahwa semua terorisme pasti ekstrem, meskipun mereka yang terpapar paham radikal atau ekstrem tidak otomatis jadi terorisme. Hal itu karena teroris bukan satu tujuan, tapi propaganda untuk mencapati tujuan.
“Terorisme yang dijiwai radikalisme sejatihnya gerakan politik kekuasaan dengan tujuan mengambil alih kekuasaan dan mendirikan negara agama menurut mereka. Melalui manipuluasi, distorsi, dan politisasi agama,” tegasnya.
Tapi terorisme yang dilatarbekalakgni radikalisme terkait dengan pemahaman dan cara beragama yang salah dan menyimpang dari oknum umat beragama, sehingga moderasi beragama sangat penting melawan semua itu. Supaya tidak salah dan terjebak dalam memahami agama.
Ia menegaskan bahwa terorisme fitnah bagi agama. Semua aksi terorisme yang dijiwai ekstremisme dan radikalisme mengatasnamakan agama adalah fitnah bagi agama dan musuh agama serta musuh negara. Karena jelas terorisme bertentangan dengan agama yang rahmatan lil alamian, mewajibkan dan menghormati pemimpin, akhlakul kharimah.
“Kala ini radikal terorisme atas nama agama dibiarkan akan menimbulkan konflik seperti di Timur Tengah dan Afrika. Lihat di Suriah, Irak, Libya, Yaman, yang hari ini masih terjadi perang saudara karena radikal terorisme atas nama agama,” pungkasnya.
Sebelumnya, Wakil Sekretaris PP Muhammadiyah Agung Danarto mengajak para peserta sarasehan untuk mensyukuri anugerah yang indah dari Tuhan Yang Maha Esa Allah SWT berupa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Kalau kita lihat nkri ini terdiri dari berbagai macam suku dan bangsa, bahasa, beraneka agama, sampai saat ini masih ayem tentrem damai. Senantiasa harus kita syukuri,” ungkapnya.
Sarasehan diikuti kurang lebih 150 guru dari SMA/SMK sederajat dari DIY. Mereka berasal dari sekolah negeri, swasta, sekolah elit, termasuk sekolah Kristen dan katolik.
Hadir juga sebagai narasumber Dekan Fisipol UGM M Najib Azca, Guru Besar Bidang Psikologi Agama Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Prof Sekar Ayu Aryani, Dosen Pemberdayaan Masyarakat Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta dan pengurus Aisyiyah Sri Roviana,Majelis Tarjih PP Muhammmadiyah Hamim Ilyas.
Seperti di Jogjakarta sebagai kota pelajar, murid sekolah harus diberikan divaksinasi agar mereka kebal.
“Kami bekerja sama dengan stake holder terkait untuk memberikan vaksinasi berupa moderasi beragama. Dalam konteks ini kebijakan pentahelix yaitu melibatkan multipihak dalam penanggulangan radikal terorisme ini,” ujar Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Pol R Ahmad Nurwakhid, SE, MM dalam Sarasehan Penguatan Moderasi Beragama dan Pencegahan Radikalisme dan Ekstremisme di Kalangan Guru SMA/SMK di DIY dikutip, Jumat (30/9/2022).
Dia menjelaskan, kebijakan pentahelix dengan bersinergi dengan pihak pemerintah yaitu kementerian/lembaga/pemda. Kemudian komunitas masyarkaat kegamaan termasuk NU, dan Muhammmadiyah, media, dan civitas akademika, serta pelaku usaha. Para guru SMA/SMK atau sederajat di DIY ke depannya bisa memberikan imunitas kepada para murid-murid.
Menurutnya, hal-hal seperti ini harus terus digelorakan bersama karena guru atau penceramah itu berpotensi menjadi pintu masuk sekaligus pintu keluar radikalisme itu sendiri.
“Kalau gurunya sudah moderat dan kuat dalam membangun moderasi beragama, insya allah akan ditransformasikan kepada anak didiknya. Ini penting untuk memutuskan kaderisasi paham radikal terorisme,” terang Nurwakhid.
Jenderal yang ternyata pernah nyantri di Pondok Pesantren Al Mukmin, Ngruki Ini menegaskan bahwa virus radikal terorisme bisa mengena pada siapa saja. Karena itu bagi yang moderat harus diberikan vaksinasi ideologi supaya imun sehingga tidak terpapar.
Kemudian yang OTG yang sudah dengan ciri dan indikasi, seperti intoleran terhadap keragaman dan perbedaaan, anti pemerintah yang sah, anti pancasila, anti budaya, anti kearifan lokal, sudah takfiri dengan mengkafirkan orang lain dan negara ini, maka itu kita berikan kontra radikalisasi, termasuk kontra propaganda, dan kontra ideologi.
Sementara bagi mereka yang termasuk sudah radikal akut, kemudian bergabung dengan kelompok teror, kemudian unsur tindak dipidana sudah terpenuhi, maka akan dilakukan dengan preventif justice akan ditangkap dan diproses hukum yang menjadi ranah Densus 88 Antiteror Mabes Polri dibawah kooordinasi BNPT.
Dia menegaskan bahwa moderasi beragama itu bukan moderasi agama. Disebut moderasi beragama karena agama itu itu sendiri sudah moderat. Sebaliknya kalau gak moderat itu biasanya lupa beragama.
“Kenapa kita bicara moderasi beragama? Karena agama sejatinya wasathiyah, Tuhan menciptakan atau menjadikan agama untuk moderat yaitu di tengah-tengah, sehingga bisa rahmatan lil alamin, bisa menebar kasih sayang untuk semuanya. Tidak rahmatan lil islam, bukan rahmatan lil muslim, tapi semuanya,” tutur Nurwakhid.
Tapi, lanjutnya, agama dibajak oleh oknum umat beragama dengan memanipulasi, mendistorsi, dan mempolitisasi agama sehingga tidak lagi moderat. Tetapi dijadikan alat propaganda untuk menciptakan tujuan. itulah yang disebut radikalisme terorisme mengatasmakan agama.
Menurutnya, bicara terorisme harus mulai dari hilir. Aksi dan tindakan terorisme dalam kontek UU No 5 Tahun 2018 tentang tindak pidana terorisme, dinyatakan bahwa terroisme adalah tindakan atau perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, bisa fisik atau non fisik, termasuk verbal mengancam dengan kata-kata.
Kemudian menimblkan suasana teror dan rasa takut secara massif, menimbulkan korban jiwa, dan atau menimbulkan kehancuran faslilitas publik, linkungan hidupp, fasilitas internasional dan obyek vital. Dan dari motif itulah, yang mendorong pemerintah menetapkan separatis KKB di Papua sebagai organisasi terorisme karena memenuhi unsur sebagaimana Pasal 1 ayat 2 UU Nomor 5 Tahun 2018 tersebut.
Terorisme dijiwai ata dilatarbelakang radikalisme, dalam terminomogi asing, ekstremisme. Dapat dikatakan bahwa semua terorisme pasti ekstrem, meskipun mereka yang terpapar paham radikal atau ekstrem tidak otomatis jadi terorisme. Hal itu karena teroris bukan satu tujuan, tapi propaganda untuk mencapati tujuan.
“Terorisme yang dijiwai radikalisme sejatihnya gerakan politik kekuasaan dengan tujuan mengambil alih kekuasaan dan mendirikan negara agama menurut mereka. Melalui manipuluasi, distorsi, dan politisasi agama,” tegasnya.
Tapi terorisme yang dilatarbekalakgni radikalisme terkait dengan pemahaman dan cara beragama yang salah dan menyimpang dari oknum umat beragama, sehingga moderasi beragama sangat penting melawan semua itu. Supaya tidak salah dan terjebak dalam memahami agama.
Ia menegaskan bahwa terorisme fitnah bagi agama. Semua aksi terorisme yang dijiwai ekstremisme dan radikalisme mengatasnamakan agama adalah fitnah bagi agama dan musuh agama serta musuh negara. Karena jelas terorisme bertentangan dengan agama yang rahmatan lil alamian, mewajibkan dan menghormati pemimpin, akhlakul kharimah.
“Kala ini radikal terorisme atas nama agama dibiarkan akan menimbulkan konflik seperti di Timur Tengah dan Afrika. Lihat di Suriah, Irak, Libya, Yaman, yang hari ini masih terjadi perang saudara karena radikal terorisme atas nama agama,” pungkasnya.
Sebelumnya, Wakil Sekretaris PP Muhammadiyah Agung Danarto mengajak para peserta sarasehan untuk mensyukuri anugerah yang indah dari Tuhan Yang Maha Esa Allah SWT berupa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Kalau kita lihat nkri ini terdiri dari berbagai macam suku dan bangsa, bahasa, beraneka agama, sampai saat ini masih ayem tentrem damai. Senantiasa harus kita syukuri,” ungkapnya.
Sarasehan diikuti kurang lebih 150 guru dari SMA/SMK sederajat dari DIY. Mereka berasal dari sekolah negeri, swasta, sekolah elit, termasuk sekolah Kristen dan katolik.
Hadir juga sebagai narasumber Dekan Fisipol UGM M Najib Azca, Guru Besar Bidang Psikologi Agama Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Prof Sekar Ayu Aryani, Dosen Pemberdayaan Masyarakat Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta dan pengurus Aisyiyah Sri Roviana,Majelis Tarjih PP Muhammmadiyah Hamim Ilyas.
(shf)