Pesona Danau Kelimutu dan Legenda Perang Abadi
loading...
A
A
A
Pernah mendengar nama tempat wisata Danau Kelimutu? Danau Kelimutu terdiri dari tiga kawah danau yang letaknya berdampingan. Ketiganya berada di atas pucuk Gunung Kelimutu. Tiga danau yang ada di atas Gunung Kelimutu tersebut berada di Desa Pemo, Kecamatan Kalimutu, Kabupaten Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Dalam bahasa setempat (bahasa Lio), Kelimutu artinya gunung mendidih (keli=gunung, mutu=mendidih).
Unik dan menariknya, ketiga danau tersebut memiliki warna berbeda, yaitu warna biru tua, hijau dan merah kecokelatan. Untuk mencapai danau tersebut, pelancong bisa masuk melalui Kota Maumere atau Kota Ende, yang semuanya menggunakan transportasi darat dan akan berhenti di satu tempat bernama Moni.
Moni dilengkapi dengan rumah atau wisma untuk penginapan. Dari Moni, pelancong bergerak menuju puncak Kelimutu. Waktu yang ideal untuk ke puncak adalah jam 9 atau 10 pagi WIB. Karena kalau di bawah jam tersebut atau di atas jam 16 sore, kawah kerap ditutup kabut. (Baca: Gua Napalicin, Legenda Si Pahit Lidah yang Kesal dan Bergumam)
Berada di danau tiga warna-begtu biasa disebut-akan terasa pesona alamnya. Angin yang mengalir di pucuk gunung menerpa dedaun cemara yang tumbuh renggang memisahkan ketiga danau. Desau getar dedaun cemara ditingkah suara aneka satwa liar. Sejuk dan indah nian. Tapi ada juga perasaan ngeri ketika melihan buih putih bergerak di permukaan danau berwana hijau.
Ada riak seperti mendidih di dalam cekung kawah yang jauh di bawah sana. Bisa jadi karena gerak aliran angin yang tersedot ketika melewati cekung ruang kosong kawah hingga permukaan air berontak. Lebih terasa angker, ketika berdiri di tepi danau biru tua. Pagar pembatas tubuh seolah tak sanggup menghalau rasa takut. Kawah biru tua yang kita tatap jauh di bawah sekira 50-an meter.
Ketika kita berdiri di tepian atas pada posisi nyaris tegak lurus dengan tepi danau di bawahnya, kita tergoda untuk melemparkan batu ke kawah danau. Anehnya, batu yang dilempar tak akan sampai ke permukaan air. Tidak ada riak air yang gejolak akibat batu yang kita lempar.
Kata pemandu yang biasa menuntun pengujug, batu yang dilempar tidak sampai ke permukaan air karena grafitasi dinding kawah menariknya. Namun, lain pengetahuan para pemandu, lain pula cerita warga yang turun temurun secara lisan.
Kisah Danau Tiga Warna
Danau tiga warna atau danau Kelimutu memiliki cerita. Cerita ini diyakini kebenarnnya oleh warga setempat dan diwariskan lisan turun temurun. Syahdan, dahulu kala, di puncak Gunung Kelimutu hidup Konde Ratu beserta rakyatnya.
Di antara rakyatnya itu, ada dua orang yang memiliki ilmu. Pertama, bernama Ata Mbupu yang memiliki ilmu (putih) untuk menolong orang. Kedua, bernama Ata Polo yang memiliki ilmu hitam, tukang santet dan membunuh orang dengan ilmu sihirnya.
Sebetulnya, kedua orang ini bersahabat dan tunduk pada kekuasaan Konde Ratu. Hanya, karakter keduanya berbeda. Ata Mbupu berkarakter baik, suka melindungi orang lain dan tidak mencelakakan orang. Sebaliknya, Ata Polo, karena karakternya jahat, dia mencari ilmu hitam untuk mencelakakan orang lain.
Suatu ketika, Ata Mbupu ditdatangi sepasang putra-putri Ana Kalo (anak yatim piatu). Keduanya minta dijadikan anak angkat Ata Mbupu. Dengan senang hati, Ata Mbupu memelihara mereka dan mereka dipercaya untuk merawat ladang. Suatu hari, si jahat Ata Polo datang ke rumah Ata Mbupu memangsa anak yatim itu. Untung saja Ata Mbupu mencegahnya dengan bersiasat meminta Ata Polo menunggu hingga kedua anak yatim itu tumbuh dewasa.
Dan ketika kedua anak yatim memasuki masa remaja, dalam bahasa setempat menjadi Koo Fai dan Nuwa Muri, Ata Polo datang menagih janji untuk memangsa keduanya. Lagi-lagi, Ata Mbupu tidak menginginkan kedua anak itu menjadi mangsa temannya. Demi melindungi keduanya Ata Mbupu hendak mengungsi ke perut bumi bersama dengan kedua anak yatim itu. (Baca: Desa Jembrak, Tempat Pengikut Pangeran Diponegoro Syiarkan Islam)
Akan tetapi, si jahat pun tetap membuntuti ketiganya. Naas, baik Ata Polo maupun Ata Mbupu serta Koo Fai dan Nuwa Muri, tertelan bumi. Tempat mereka tertelan itu berubah jadi kawah. Tempat terkuburnya Ata Mbupu berubah jadi kawah dengan air berwarna biru tua. Di sampingnya ada danau warna hijau, tempat terkuburnya Koo Fai Nuwa Muri. Lalu, kawah dengan warna merah tua kecokelatan merupakan tempat tertelannya Ata Polo.
Oleh karena itu, bagi masyarakat yang ada di sekitar Gunung Kelimutu, ketiga danau itu disebut sesuai dengan cerita yang mereka dapat. Yaitu Tiwu (danau) Ata Mbupu yang berwarna biru tua, Tiwu Ata Polo yang berwarna merah tua, dan Tiwu Koo Fai Nuwa Muri yang berwarna hijau.
Menurut kepercayaan suku Lio, di tiga kawah itu bersemayam arwah orang-orang yang sudah meninggal. Tiwu Ata Mbupu dipercaya sebagai tempat berkumpulnya arwah-arwah para tetua adat yang sudah meninggal. Tiwu Koo Fai Nuwa Muri dipercaya sebagai tempat berkumpulnya arwah pemuda-pemudi yang sudah meninggal. Dan Tiwu Ata Polo, berisi arwah para tukang tenung, atau orang-orang jahat.
Menurut kesaksian para pemandu yang tiap harinya selalu ada di sana, perubahan warna paling sering terjadi di danau Ata Polo. Dari warna kehitaman bisa berubah jadi warna toska dan merah tua. Sedangkan Koo Fai Nuwa Muri pernah berwarna putih.
Bisa jadi, rasa ngeri dan angker muasalnya dari arwah-arwah sebagaimana diyakini masyarakat setempat. Namun, terlepas dari kisah berbau mitis magis itu, danau tiga warna Kelimutu sungguh memesona.
Unik dan menariknya, ketiga danau tersebut memiliki warna berbeda, yaitu warna biru tua, hijau dan merah kecokelatan. Untuk mencapai danau tersebut, pelancong bisa masuk melalui Kota Maumere atau Kota Ende, yang semuanya menggunakan transportasi darat dan akan berhenti di satu tempat bernama Moni.
Moni dilengkapi dengan rumah atau wisma untuk penginapan. Dari Moni, pelancong bergerak menuju puncak Kelimutu. Waktu yang ideal untuk ke puncak adalah jam 9 atau 10 pagi WIB. Karena kalau di bawah jam tersebut atau di atas jam 16 sore, kawah kerap ditutup kabut. (Baca: Gua Napalicin, Legenda Si Pahit Lidah yang Kesal dan Bergumam)
Berada di danau tiga warna-begtu biasa disebut-akan terasa pesona alamnya. Angin yang mengalir di pucuk gunung menerpa dedaun cemara yang tumbuh renggang memisahkan ketiga danau. Desau getar dedaun cemara ditingkah suara aneka satwa liar. Sejuk dan indah nian. Tapi ada juga perasaan ngeri ketika melihan buih putih bergerak di permukaan danau berwana hijau.
Ada riak seperti mendidih di dalam cekung kawah yang jauh di bawah sana. Bisa jadi karena gerak aliran angin yang tersedot ketika melewati cekung ruang kosong kawah hingga permukaan air berontak. Lebih terasa angker, ketika berdiri di tepi danau biru tua. Pagar pembatas tubuh seolah tak sanggup menghalau rasa takut. Kawah biru tua yang kita tatap jauh di bawah sekira 50-an meter.
Ketika kita berdiri di tepian atas pada posisi nyaris tegak lurus dengan tepi danau di bawahnya, kita tergoda untuk melemparkan batu ke kawah danau. Anehnya, batu yang dilempar tak akan sampai ke permukaan air. Tidak ada riak air yang gejolak akibat batu yang kita lempar.
Kata pemandu yang biasa menuntun pengujug, batu yang dilempar tidak sampai ke permukaan air karena grafitasi dinding kawah menariknya. Namun, lain pengetahuan para pemandu, lain pula cerita warga yang turun temurun secara lisan.
Kisah Danau Tiga Warna
Danau tiga warna atau danau Kelimutu memiliki cerita. Cerita ini diyakini kebenarnnya oleh warga setempat dan diwariskan lisan turun temurun. Syahdan, dahulu kala, di puncak Gunung Kelimutu hidup Konde Ratu beserta rakyatnya.
Di antara rakyatnya itu, ada dua orang yang memiliki ilmu. Pertama, bernama Ata Mbupu yang memiliki ilmu (putih) untuk menolong orang. Kedua, bernama Ata Polo yang memiliki ilmu hitam, tukang santet dan membunuh orang dengan ilmu sihirnya.
Sebetulnya, kedua orang ini bersahabat dan tunduk pada kekuasaan Konde Ratu. Hanya, karakter keduanya berbeda. Ata Mbupu berkarakter baik, suka melindungi orang lain dan tidak mencelakakan orang. Sebaliknya, Ata Polo, karena karakternya jahat, dia mencari ilmu hitam untuk mencelakakan orang lain.
Suatu ketika, Ata Mbupu ditdatangi sepasang putra-putri Ana Kalo (anak yatim piatu). Keduanya minta dijadikan anak angkat Ata Mbupu. Dengan senang hati, Ata Mbupu memelihara mereka dan mereka dipercaya untuk merawat ladang. Suatu hari, si jahat Ata Polo datang ke rumah Ata Mbupu memangsa anak yatim itu. Untung saja Ata Mbupu mencegahnya dengan bersiasat meminta Ata Polo menunggu hingga kedua anak yatim itu tumbuh dewasa.
Dan ketika kedua anak yatim memasuki masa remaja, dalam bahasa setempat menjadi Koo Fai dan Nuwa Muri, Ata Polo datang menagih janji untuk memangsa keduanya. Lagi-lagi, Ata Mbupu tidak menginginkan kedua anak itu menjadi mangsa temannya. Demi melindungi keduanya Ata Mbupu hendak mengungsi ke perut bumi bersama dengan kedua anak yatim itu. (Baca: Desa Jembrak, Tempat Pengikut Pangeran Diponegoro Syiarkan Islam)
Akan tetapi, si jahat pun tetap membuntuti ketiganya. Naas, baik Ata Polo maupun Ata Mbupu serta Koo Fai dan Nuwa Muri, tertelan bumi. Tempat mereka tertelan itu berubah jadi kawah. Tempat terkuburnya Ata Mbupu berubah jadi kawah dengan air berwarna biru tua. Di sampingnya ada danau warna hijau, tempat terkuburnya Koo Fai Nuwa Muri. Lalu, kawah dengan warna merah tua kecokelatan merupakan tempat tertelannya Ata Polo.
Oleh karena itu, bagi masyarakat yang ada di sekitar Gunung Kelimutu, ketiga danau itu disebut sesuai dengan cerita yang mereka dapat. Yaitu Tiwu (danau) Ata Mbupu yang berwarna biru tua, Tiwu Ata Polo yang berwarna merah tua, dan Tiwu Koo Fai Nuwa Muri yang berwarna hijau.
Menurut kepercayaan suku Lio, di tiga kawah itu bersemayam arwah orang-orang yang sudah meninggal. Tiwu Ata Mbupu dipercaya sebagai tempat berkumpulnya arwah-arwah para tetua adat yang sudah meninggal. Tiwu Koo Fai Nuwa Muri dipercaya sebagai tempat berkumpulnya arwah pemuda-pemudi yang sudah meninggal. Dan Tiwu Ata Polo, berisi arwah para tukang tenung, atau orang-orang jahat.
Menurut kesaksian para pemandu yang tiap harinya selalu ada di sana, perubahan warna paling sering terjadi di danau Ata Polo. Dari warna kehitaman bisa berubah jadi warna toska dan merah tua. Sedangkan Koo Fai Nuwa Muri pernah berwarna putih.
Bisa jadi, rasa ngeri dan angker muasalnya dari arwah-arwah sebagaimana diyakini masyarakat setempat. Namun, terlepas dari kisah berbau mitis magis itu, danau tiga warna Kelimutu sungguh memesona.
(don)