23 orang dikurung dalam kandang

Jum'at, 05 Oktober 2012 - 08:52 WIB
23 orang dikurung dalam kandang
23 orang dikurung dalam kandang
A A A
Pada masa paling purba, perangkat untuk membatasi gerak pasien gangguan jiwa berat (pasung) berupa baju pengekang. Baju dengan sabuk pengekang pada bagian leher itu dirancang khusus untuk mencegah pasien tidak melukai diri sendiri dan membahayakan jiwa orang lain. Oleh Philippe Pinel (1745-1826) seorang ahli kedokteran Perancis, kekangan itu dianggap tidak manusiawi dan cenderung membuat pasien berprilaku semakin membahayakan. Namun cara masyarakat Desa Gamping, Kecamatan Suruh, Kabupaten Trenggalek untuk mengatasi (pasung) pasien jiwa ternyata lebih tidak beradab.

Pasung itu bukan berupa belahan kayu keras yang menyisakan dua lubang sebagai ruang untuk “menjepit” dua kaki. Juga bukan rantai besi yang membelit anggota tubuh. Pasung ini berupa lonjoran bambu utuh yang tersusun rapi layaknya kandang. Bambu jenis petung yang ditemali dan didesain menjadi kotak persegi empat berjari jari (jeruji). Bambu yang konon memiliki serat terkuat di antara seluruh jenis pohon bambu yang ada di pulau Jawa.

Panjangnya sekitar satu meter dengan lebar menyamping kurang lebih dua meter. Tirai bambu itu berdiri di atas permukaan tanah sekitar setengah meter. Melihatnya akan teringat kandang anak ayam yang akrab di permukiman masyarakat desa. Mirip juga sebuah kerangkeng yang biasa digunakan untuk mengurung binatang buas yang membahayakan. Di sanalah Seno (45) warga Dusun Gandu, Desa Gamping, Kecamatan Suruh, Kabupaten Trenggalek menjalani hari-harinya.

Sejak tidak mampu mengendalikan kesadaran emosinya dan beberapa kali mengancam jiwa orang lain, pihak keluarga memutuskan menyekapnya di “rumah” pasungan. “Sudah sekitar 16 tahun berada di sana (pasungan),“ tutur tutur Saeran (67) kakak kandung Seno menjelaskan.

“Assalamualaikum. Assalamualaikum,“ seru Seno, begitu mendengar langkah kaki mendekat di sekitar “kediamannya”. Seorang laki-laki dengan rambut panjang awut-awutan tampak terjaga dari posisi rebahannya. Wajahnya tirus dengan hiasan kumis tebal melintang. Kumis yang tidak teratur dan mulai menutupi sebagian bibir bagian atas. Sepasang mata terlihat dari sela-sela jeruji bambu. Tatapannya lurus ke depan. Tatapan kosong serupa perjalanan yang tak bertujuan.

“Monggo, monggo pinarak (silahkan duduk red),“ tukasnya lagi.

Layaknya seorang tuan rumah, Seno mempersilahkan tamu yang bertandang. Pada tubuhnya tidak terlekat selembar kain pun. Perawakanya ceking. Tubuh yang kurus, berkulit pucat dan tampak tidak sehat. Maklumlah, sinar matahari tidak bisa sepenuhnya menyinari ruangan sempitnya.

Puluhan bahkan ratusan tali tambang dan lilitan kain yang berfungsi untuk mengikat bambu satu sama lain telah menghalangi sinar matahari untuk leluasa masuk ke dalam ruangan. Selain itu pada bagian atas dibuat atap berlapiskan asbes, dengan bagian terluar terdindingi anyaman bambu.

Atap dan dinding anyaman bambu itu yang melindungi “rumah pasungan” Seno dari tumpahan air hujan dan dinginya udara malam. Namun keberadaanya sekaligus membatasi gerak sinar matahari yang mencoba menjelajah ke dalamnya. Akibatnya pengap dan sedikit gelap.

“Semoga semuanya bisa hidup selamat,“ sambungnya lagi tanpa menjelaskan siapa yang dimaksud dari yang barusan diucapkanya.

Pada bagian punggung dan dadanya terlihat bilur-bilur merah. Bilur akibat terlalu lamanya bersentuhan dengan lonjoran bambu. Sebab, sempitnya ruangan hanya bisa memberi kesempatan lelaki yang belum pernah menikah itu untuk duduk dan rebahan. Maklum, tinggi ruangan yang terbatas tidak memberinya tempat untuk berdiri.

Untuk makan, minum dan tidur Seno melakukanya di sana. Begitu halnya dengan mandi dan buang hajat, juga dilakukan di tempat yang sama. Karenanya tidak ada bantal, kasur atau alas kain apapun untuk melapisi permukaan bambu.

“Kalau makan kita ulurkan melalui sela-sela ini (jeruji bambu). Sedangkan untuk mandi biasanya langsung kita guyurkan air dari atas dengan memakai ember. Kita berikan sabun dan dia akan sabunan sendiri,“ terang Saeran.

Pada bagian bawah, nampak permukaan tanah yang sengaja digali lebih rendah. Lobang rendah atau semacam kubangan kecil itu tersambung dengan galian lain yang dibuat memanjang. Konsepnya layaknya selokan untuk mengalirkan air dan kotoran.

“Kotoran buang air besarnya langsung mengalir ke tempat pembuangan yang berada di belakang rumah,“ jelas Saeran.

Yang lebih memprihatinkan, rumah pasungan itu berada dekat dengan kandang ternak. Tempat yang terasing dari permukiman warga. Beberapa ekor kambing dan sapi yang bersebelahan dekat itu telah menjadi “tetangga” tetap Seno. Secara tidak langsung, hilangnya akal dan ketidakberdayaan berinteraksi sosial dengan normal, telah mendudukkan Seno sejajar dengan hewan peliharaan.

Sejenak Seno terlihat melempar senyuman. Senyum sendiri yang diikuti mulut komat kamit bergumam tidak jelas. “Sebelum mengamuk, merusak dan sedikit-sedikit mengancam hendak mengamuk, gejalanya seperti itu (ngomong sendiri),“ tambah Saeran dengan tangan terarah ke rumah Seno.

Tidak ada penjelasan secara pasti bagaimana ichwal guncangan jiwa mengoyak ruang kesadaran Seno. Seno yang sebelumnya tekun bekerja sebagai buruh tani di ladang, mengaji di sejumlah pondok pesantren tiba-tiba bertabiat aneh. Bicaranya ngelantur tidak karuan. Tidak jelas apa yang diomongkan dan puncaknya kerap mengamuk.

Oleh pihak keluarga, lelaki yang nyaris tidak mengenal pendidikan formal tersebut di bawa ke semua tempat yang menjanjikan kesembuhan. Medis dan alternative, kata Saeran telah didatangi semuanya.
“Apa yang disarankan paramedis dan paranormal telah dituruti, tapi adik saya tidak juga sembuh. Sudah sembilan kali dibawa ke Rumah Sakit Jiwa Lawang. Namun sembuhnya hanya sebentar, kemudian kambuh lagi. Sampai hari ini tidak diketahui penyebab kenapa dia seperti itu, “pungkasnya.

Kondisi yang sama juga dialami penderita gangguan jiwa yang bernama Asman Budi (38) dan Suyati (47). Seperti halnya nasib Seno, dua orang yang juga satu dusun itu disekap dalam kerangkeng bambu serupa. Menurut Hariyadi (50) kerabat sekaligus perangkat desa setempat, Asman Budi sudah tujuh tahun menjalani hidup dalam pasungan. Seperti halnya alasan keluarga Seno, selain kerap mengamuk, Asman Budi juga sudah membahayakan jiwa orang lain. “Sebab pernah merusak rumah tetangga,“ tuturnya.

Budi dulunya seorang pemuda yang normal. Sebagaimana usia pemuda di kampungnya, ia juga membanting tulang. Budi bekerja sebagai kuli bangunan di Kota Tulungagung. Namun entah apa penyebabnya, Budi tiba-tiba terlihat murung dan lebih banyak menyendiri. Gejala kurang waras tersebut yang mendorong keluarganya memaksanya pulang dari tempat kerja.

“Kita tidak pernah tahu pasti. Namun kemungkinan besar karena kesedihan yang mendalam atas kematian ibunya. Sebab, gejala aneh itu muncul setelah ibunya meninggal dunia,“ jelasnya.

Ketidakjelasan penyebab gangguan jiwa juga terjadi pada Suyati. Ibu satu anak itu mendadak sering ngomel sendiri, mengamuk dan hendak membunuh setiap orang yang berada di dekatnya. Karena khawatir membahayakan keselamatan orang lain, Suyati pun disekap di dalam kerangkeng bambu.

“Sudah sekitar setahun setengah, cucu saya ini hidup di dalam kurungan. Daripada di luar membahayakan, lebih baik berada di sana (kurungan),“ terang Widji (60) nenek Suyati.

Kenapa warga Desa Gamping memilih tradisi memasung dengan menggunakan kerangkeng bambu? Semua keluarga pengidap gangguan jiwa mengatakan kurungan bambu lebih manusiawi dibanding model pasungan dengan menjepit kaki.

“Sebab dengan dikurung begini, yang sakit masih bisa bergerak. Sedangkan kalau dijepit itu bisa mengakibatkan kelumpuhan pada kaki,“ jelas Widji.

Dari penelusuran yang dilakukan LSM Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) Jawa Timur, jumlah penderita gangguan jiwa yang berada di wilayah Kecamatan Suruh sebanyak 23 jiwa. Nyaris seluruhnya hidup di dalam pasungan yang berbentuk kerangkeng bambu.

“Ini data sementara dan sangat mungkin bertambah. Memang ada yang tidak dipasung, tetapi hanya satu dua,“ ujar Koordinator DKR Jawa Timur Arif Witanto.

Di samping berbahaya buat orang lain, pemasungan lebih dikarenakan faktor ekonomi. Hampir semua keluarga pengidap gangguan jiwa memilih menyekap anggota keluarganya setelah tidak ada biaya lagi untuk berobat. Sebab sebagian besar dari mereka berlatar belakang ekonomi kurang mampu. Hal itu mengingat alam Kecamatan Suruh berupa pegunungan tandus yang kurang memberi dukungan terhadap kehidupan.

“Seperti Asman Budi itu pernah berobat ke dokter dengan biaya Rp325 ribu setiap minggu. Karena tidak ada biaya lagi maka sebagai solusi satu-satunya dipasung, “jelasnya.

Yang disesalkan Arif, sejauh ini tidak ada perhatian yang diberikan Pemkab Trenggalek. Pemkab terkesan membiarkan. Padahal kementrian kesehatan telah mengkampanyekan program Indonesia bebas dari pasungan dengan target tahun 2014.

“Harusnya jika ditangani serius, mereka ini masih bisa disembuhkan. Dan pembiayanya bisa langsung melalui Jamkesmas,“ pungkasnya.

Sementara Kepala Puskesmas Suruh dr Bambang kepada DKR mengatakan belum pernah menerima laporan terkait kasus pemasungan warga penderita gangguan jiwa. Karenanya dalam waktu dekat akan mengumpulkan seluruh tenaga medis. “Secepatnya akan kita tangani dengan berkoordinasi dengan dinas kesehatan,“ janji Bambang.

Dari data yang dihimpun di Kementrian Kesehatan, jumlah penderita gangguan berat di Indonesia sekitar 0,46 persen atau sekitar 1 juta jiwa lebih. Di luar ini, diperkirakan masih ada 11,6 persen dari total penduduk Indonesia atau 19 juta jiwa yang mengalami gangguan mental emosional, termasuk depresi. Untuk kasus pemasungan terbanyak berada di propinsi Jawa Tengah dengan jumlah 968 jiwa dan Propinsi Bali 200-an jiwa.
(azh)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 2.6057 seconds (0.1#10.140)