Pendidikan dan Moderasi Beragama Perkuat Persatuan Bangsa
loading...
A
A
A
JAKARTA - Keberagaman telah menjadi ciri khas bangsa Indonesia yang diakui oleh seluruh penjuru dunia. Pluralisme telah membentuk kultur yang toleran dan mencintai sesama. Namun, saat ini kerap kali kita jumpai praktik-praktik intoleransi yang mencoreng nilai luhur dan kearifan lokal budaya bangsa ini.
Ketua PB Al-Washliyah, Mahmudi Affan Rangkuti menyatakan, perlu ada penguatan nilai-nilai agama dan kebangsaan yang fundamental khususnya dalam hal keberagaman sejak dini. Hak itu melalui aspek pendidikan dan moderasi beragama.
"Pendidikan dan melalui moderasi beragama inilah cara jitu disampaikan kepada masyarakat untuk selalu menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi itu sendiri," ujarnya, Selasa (4/1/2022).
Dia melanjutkan, hal tersebut perlu dilakukan sebagai upayauntuk mengembalikan karakter luhur bangsa dalam bingkai toleransi di negeri ini. Sehingga moderasi begarama perlu diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan.
"Moderasi beragama perlu untuk menjadi mata ajar di sekolah-sekolah. Ini memiliki banyak manfaat sebagai pengungkit sifat dan naluri kemanusiaan, rasa cinta, kasih dan sayang. Ini perlu dilakukan secara berkesinambungan mulai dari pendidikan dasar hingga tinggi," jelasnya.
Setelah selesai menempuh pendidikan, maka tinggal memperdalam kembali toleransi dan moderasi beragama. "Ini agar tidak hilang begitu saja misalnya akibat dari adanya budaya-budaya luar yang masuk yang bisa merusak budaya yang dimiliki bangsa ini," katanya.
Anggota Gugus Tugas Pemuka Lintas Agama BNPT RI ini menilai, maraknya kasus dan praktik intoleransi di negeri ini karena kurangnya memahami arti nilai keluhuran atas rasa cinta dan kasih sayang.
"Manusia adalah makhluk ciptaan Allah SWT yang paling sempurna karena memiliki akal dan pikiran yang berbasis cinta, kasih dan sayang. Maka perbuatan kepada manusia lainnya juga semestinya atas nama tersebut. Ini yang mesti ditanamkan agar pemahaman itu semakin kuat," ujarnya.
Mahmudi menjelaskan, dari sudut pandang ajaran Islam sejatinya toleransi adalah keniscayaan. Konseprahmatal lil ‘alamin, memiliki arti agama yang mengayomi seluruh alam. Islam selalu menawarkan dialog dan toleransi dalam bentuk saling menghormati bukan memaksa.
"Karena keragamaan umat manusia dalam beragama adalah kehendak Allah SWT. Menolak keragaman, maka sama halnya menolak kehendak Allah SWT. Maka titik temu dalam keragaman adalah toleransi dalam bentuk moderasi atau menjadi titik tengah," lanjutnya.
Selain itu, perlu peran tokoh agama, adat, dan masyarakat untuk bisa ikut terjun bersama mendorong moderasi beragama kepada umat atau pengikutnya.
"Saya pun yakin para pengikutnya dan simpatisannya itu juga akan melakukan hal yang sama seperti yang sudah dicontohkan para tokoh atau pemimpinnya itu tadi mengenai betapa pentingnya saling bertoleransi antas sesama umat dan juga masyarakat lainnya," ujar Wakil Ketua Komisi Pemberdayaan Ekonomi Umat Majelis Ulama Indonesia (KPEU MUI).
Dia optimistis pada 2022 ini bisa menjadi tahun toleransi dan moderasi beragama.
Ketua PB Al-Washliyah, Mahmudi Affan Rangkuti menyatakan, perlu ada penguatan nilai-nilai agama dan kebangsaan yang fundamental khususnya dalam hal keberagaman sejak dini. Hak itu melalui aspek pendidikan dan moderasi beragama.
"Pendidikan dan melalui moderasi beragama inilah cara jitu disampaikan kepada masyarakat untuk selalu menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi itu sendiri," ujarnya, Selasa (4/1/2022).
Dia melanjutkan, hal tersebut perlu dilakukan sebagai upayauntuk mengembalikan karakter luhur bangsa dalam bingkai toleransi di negeri ini. Sehingga moderasi begarama perlu diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan.
"Moderasi beragama perlu untuk menjadi mata ajar di sekolah-sekolah. Ini memiliki banyak manfaat sebagai pengungkit sifat dan naluri kemanusiaan, rasa cinta, kasih dan sayang. Ini perlu dilakukan secara berkesinambungan mulai dari pendidikan dasar hingga tinggi," jelasnya.
Setelah selesai menempuh pendidikan, maka tinggal memperdalam kembali toleransi dan moderasi beragama. "Ini agar tidak hilang begitu saja misalnya akibat dari adanya budaya-budaya luar yang masuk yang bisa merusak budaya yang dimiliki bangsa ini," katanya.
Anggota Gugus Tugas Pemuka Lintas Agama BNPT RI ini menilai, maraknya kasus dan praktik intoleransi di negeri ini karena kurangnya memahami arti nilai keluhuran atas rasa cinta dan kasih sayang.
"Manusia adalah makhluk ciptaan Allah SWT yang paling sempurna karena memiliki akal dan pikiran yang berbasis cinta, kasih dan sayang. Maka perbuatan kepada manusia lainnya juga semestinya atas nama tersebut. Ini yang mesti ditanamkan agar pemahaman itu semakin kuat," ujarnya.
Mahmudi menjelaskan, dari sudut pandang ajaran Islam sejatinya toleransi adalah keniscayaan. Konseprahmatal lil ‘alamin, memiliki arti agama yang mengayomi seluruh alam. Islam selalu menawarkan dialog dan toleransi dalam bentuk saling menghormati bukan memaksa.
"Karena keragamaan umat manusia dalam beragama adalah kehendak Allah SWT. Menolak keragaman, maka sama halnya menolak kehendak Allah SWT. Maka titik temu dalam keragaman adalah toleransi dalam bentuk moderasi atau menjadi titik tengah," lanjutnya.
Selain itu, perlu peran tokoh agama, adat, dan masyarakat untuk bisa ikut terjun bersama mendorong moderasi beragama kepada umat atau pengikutnya.
"Saya pun yakin para pengikutnya dan simpatisannya itu juga akan melakukan hal yang sama seperti yang sudah dicontohkan para tokoh atau pemimpinnya itu tadi mengenai betapa pentingnya saling bertoleransi antas sesama umat dan juga masyarakat lainnya," ujar Wakil Ketua Komisi Pemberdayaan Ekonomi Umat Majelis Ulama Indonesia (KPEU MUI).
Dia optimistis pada 2022 ini bisa menjadi tahun toleransi dan moderasi beragama.
(shf)